Bab 2

729 8 0
                                    

Pandangan gue masih kabur ketika gue mencoba berdiri. Kepala gue masih berdenyut keras, bekas dari pukulan yang gue terima sebelumnya. Perlahan gue menggerakkan tangan, mencoba menyentuh dahi yang terasa sakit, tapi gue terhenti ketika jari gue menyentuh sesuatu yang nggak seharusnya ada di tubuh gue.

Gue melihat ke bawah dan jantung gue serasa berhenti.

Apa yang gue lihat benar-benar nggak masuk akal. Tubuh gue... dibalut seragam wanita. Rok pendek berwarna abu-abu yang seharusnya dipakai murid cewek, sekarang membungkus pinggang gue. Kemeja putih dengan pita merah di lehernya menggantikan seragam sekolah yang biasa gue pakai. Gue terpaku, nggak tahu harus bereaksi gimana.

"Kok... bisa begini?" gumam gue dengan suara gemetar. Tangan gue bergetar hebat ketika menyentuh rok itu, berharap ini cuma mimpi buruk. Tapi kenyataannya keras. Seragam itu nyata. Badan gue terasa lemas, sementara rasa takut dan bingung mulai menyelimuti pikiran gue.

Di mana gue? Siapa yang melakukan ini ke gue?

Gue bangkit pelan-pelan, mencoba menstabilkan diri. Ruangan ini... bukan tempat yang gue kenal. Gue melihat sekeliling, dindingnya kusam dan terlihat tua, seperti ruangan yang udah lama nggak dipakai. Ada sebuah jendela kecil di sudut ruangan, tapi tirainya tebal, menyembunyikan cahaya dari luar. Hanya ada satu pintu di sisi ruangan, tapi terkunci rapat.

"Hei! Ada orang di luar?!" Gue berteriak, mencoba memanggil siapa pun yang bisa mendengar. Suara gue menggema di dalam ruangan, tapi nggak ada jawaban. Rasa panik mulai naik, gue berjalan ke arah pintu, memukulnya dengan keras. "Lepasin gue! Siapa pun lo! Ini nggak lucu!"

Tapi tetap nggak ada balasan.

Gue terhuyung ke belakang, menabrak sebuah meja kecil di tengah ruangan. Cermin besar tergantung di atasnya. Ketika gue melihat ke arah cermin itu, gue hampir nggak mengenali diri gue sendiri. Sosok di cermin itu... cewek.

Gue berkedip beberapa kali, berharap penglihatan gue salah. Tapi nggak. Itu tetap gue, tapi dengan seragam wanita. Rambut gue yang biasanya rapi sekarang dibiarkan tergerai ke belakang, dan wajah gue terlihat lebih lembut. Pakaian cewek ini... ngebuat penampilan gue berubah drastis.

"Nggak mungkin... ini bukan gue..." bisik gue pelan. Gue mundur beberapa langkah, mencoba menjauh dari cermin itu. Ada rasa takut yang nggak bisa gue jelasin. Kenapa seseorang harus melakukan ini ke gue?

Saat gue masih mencoba memahami situasi ini, suara langkah kaki terdengar dari luar ruangan. Pintu terbuka perlahan, dan seorang pria dengan topeng masuk. Wajahnya nggak kelihatan jelas karena cahaya remang-remang, tapi posturnya besar dan mengintimidasi.

"Senang kamu akhirnya bangun," suaranya dingin dan penuh ejekan.

"Siapa lo? Apa maunya lo dari gue?" Gue berdiri tegang, siap menghadapi apa pun yang akan terjadi.

Pria itu hanya tertawa kecil, lalu mendekat dengan langkah perlahan. "Gue cuma pesuruh. Tapi orang yang punya urusan sama lo... dia pengen lo tetap kayak gini." Dia menunjuk ke arah tubuh gue dengan tatapan menghina. "Mereka pengen lo... jadi Adela."

Nama itu terasa asing dan salah. "Apa maksud lo? Gue Andra, bukan Adela!" teriak gue, mencoba melawan rasa takut yang semakin menggerogoti gue.

Pria itu menggeleng, seolah nggak peduli dengan protes gue. "Lo sekarang Adela. Dan lo akan terus jadi Adela kalau nggak mau sesuatu yang buruk terjadi."

Gue merasa mual. Pikiran gue berputar cepat, berusaha mencerna apa yang barusan dia katakan. "Lo nggak bisa paksa gue. Gue nggak akan nurut sama permainan lo!"

Pria itu mendekat lebih jauh, sekarang berdiri hanya beberapa langkah dari gue. "Oh, lo nggak punya pilihan, Andra... atau Adela. Kalau lo nggak nurut, gue punya sesuatu yang bisa menghancurkan hidup lo."

Dengan tenang, dia mengeluarkan sebuah ponsel dan memperlihatkan layar yang berisi foto-foto gue dalam seragam wanita ini. Ada juga video, di mana gue terlihat seperti... menikmati semua ini. Sial, gue bahkan nggak tahu kapan video itu diambil!

"Lo suka foto-foto ini?" dia mengejek. "Kalau lo nggak mau mereka menyebar ke seluruh sekolah, lo akan ngelakuin apa yang gue minta."

Gue merasa seperti dipukul oleh kenyataan yang paling kejam. Mereka memegang bukti yang bisa menghancurkan gue sepenuhnya. Semua orang di sekolah udah nganggep gue pembuat masalah, tapi kalau foto-foto ini tersebar, gue tahu hidup gue akan berakhir. Gue nggak akan bisa keluar dari stigma ini. Mereka akan percaya kalau semua ini kemauan gue sendiri.

"Gue..." Suara gue terdengar gemetar. "Kenapa lo ngelakuin ini?"

Pria itu nggak memberikan jawaban langsung. Sebaliknya, dia berbalik menuju pintu. "Lo akan tahu nanti. Tapi untuk sekarang, nikmati dulu peran lo sebagai Adela. Gue akan kembali untuk memastikan lo udah siap buat langkah selanjutnya."

Dia keluar dan menutup pintu dengan keras, meninggalkan gue dalam kesunyian yang menyakitkan. Rasa takut dan marah mengalir deras dalam diri gue. Gue nggak bisa percaya ini terjadi. Semua ini terlalu gila, terlalu kejam. Tapi nyatanya, sekarang gue terjebak dalam permainan yang gue nggak tahu gimana cara keluar.

Gue duduk di lantai, menggenggam kepala gue dengan frustrasi. Ponsel gue nggak ada, nggak ada cara buat minta bantuan. Gue terjebak di ruangan ini, dengan pakaian yang bukan milik gue, dan ancaman yang terus membayangi gue.

Jam demi jam berlalu. Gue nggak tahu berapa lama gue terjebak di tempat ini, tapi akhirnya pintu terbuka lagi. Kali ini, seorang wanita masuk. Wajahnya juga tersembunyi di balik topeng, tapi posturnya lebih ramping dan suaranya lebih lembut dari pria sebelumnya.

"Adela," panggilnya dengan nada tenang. "Kamu sudah siap?"

Gue menatapnya dengan penuh kebencian. "Gue bukan Adela. Gue nggak tahu apa maunya lo semua, tapi lo nggak bisa paksa gue."

Wanita itu tersenyum samar di balik topengnya. "Kami nggak perlu paksa kamu. Pada akhirnya, kamu akan mengakui sendiri... bahwa ini yang kamu mau."

Kata-kata itu terasa seperti tusukan tajam di hati gue. Gue nggak tahu apa rencana mereka selanjutnya, tapi satu hal yang pasti: gue harus menemukan cara buat keluar dari sini sebelum semuanya makin buruk.

Tapi di dalam hati kecil gue, ada suara kecil yang mulai meragukan segalanya. Apa mungkin mereka benar? Apa mungkin, dalam satu sudut terdalam diri gue, gue memang menginginkan ini?

Suara itu, sekecil apapun, semakin membuat gue takut.

Gue harus keluar dari sini. Sebelum segalanya terlambat.

Perubahan yang di Paksakan!!(Tsf)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang