Bab 3

1K 7 0
                                    

Waktu berlalu dengan lambat, dan gue terjebak dalam ruang sempit ini, merasakan setiap detik dengan penuh kekhawatiran dan ketidakpastian. Ketika malam menyelimuti tempat ini, suasana semakin mencekam. Gue duduk di sudut ruangan, berusaha untuk tidak panik meskipun ketakutan dan kebingungan melanda gue. Setiap suara dari luar membuat gue terlonjak, setiap gemericik yang gue dengar membuat jantung gue berdegup lebih cepat.

Pintu terbuka lagi, kali ini lebih cepat dari sebelumnya. Wanita yang sama masuk, masih dengan topeng menutupi wajahnya, tapi kali ini dia membawa sesuatu di tangannya—sebuah kotak kecil. Dia menaruh kotak itu di atas meja dan melihat gue dengan tatapan kosong.

"Ada apa?" tanya gue, mencoba untuk tetap tenang meskipun suaranya gemetar. "Apa yang lo bawa?"

Wanita itu tidak segera menjawab. Dia duduk di kursi di samping meja dan membuka kotak tersebut dengan hati-hati. Di dalamnya, ada beberapa barang yang tampaknya berhubungan dengan seragam yang gue pakai—perhiasan, sepatu hak tinggi, dan beberapa aksesoris wanita lainnya.

"Ini untuk kamu," katanya dengan suara lembut tapi dingin. "Kami ingin memastikan bahwa kamu benar-benar siap untuk peranmu sebagai Adela."

Gue menatap barang-barang itu dengan penuh kebencian. "Lo nggak bisa terus-terusan kayak gini. Gue nggak akan pakai semua ini. Gue bukan Adela!"

Wanita itu mengangkat alis, tidak tampak terpengaruh oleh protes gue. "Kami sudah mengatur semuanya dengan baik. Semua ini adalah bagian dari rencana kami. Kamu akan segera mengerti."

Gue merasa marah dan frustrasi. "Rencana apa? Kenapa kalian terus memaksa gue melakukan ini?"

Wanita itu berdiri dan mendekati gue, mengambil salah satu aksesori dari kotak dan menatap gue dengan penuh arti. "Kamu akan tahu jawabannya ketika waktunya tiba. Tapi untuk saat ini, kamu perlu beradaptasi dengan peranmu."

Dia mulai mengeluarkan beberapa barang dari kotak dan mulai menata di meja, seolah-olah dia sedang mempersiapkan sesuatu yang sangat penting. Gue mencoba untuk menahan diri, tetapi rasa penasaran dan ketakutan menggeliat di dalam diri gue. Setiap kali dia bergerak, suara langkahnya di lantai menambah rasa cemas gue.

Gue mencoba untuk bertindak tenang, berharap ada kesempatan untuk melarikan diri atau setidaknya mencari cara untuk meminta bantuan. Tapi saat gue berusaha, wanita itu tiba-tiba berdiri dan meraih tangan gue, menarik gue ke depan.

"Ayo, kita pergi. Waktunya sudah tiba."

Gue terkejut dan melawan, tetapi dia lebih kuat dari yang gue kira. Dengan cepat, dia membawa gue keluar dari ruangan gelap itu. Gue bisa merasakan udara dingin malam menerpa wajah gue ketika kami berjalan melalui koridor gelap yang tidak dikenal. Gue berusaha untuk mencari petunjuk tentang di mana gue berada, tetapi semua yang gue lihat hanyalah dinding-dinding beton yang monoton.

Akhirnya, kami sampai di sebuah ruangan lain yang lebih terang. Ada beberapa lampu yang menggantung dari langit-langit, memberikan cahaya yang redup. Di tengah ruangan, ada sebuah meja rias dengan cermin besar dan kursi yang menghadap ke cermin. Di samping meja, ada beberapa pakaian dan aksesori yang tampaknya dirancang khusus untuk membuat gue terlihat seperti wanita.

Wanita itu menyuruh gue duduk di kursi di depan meja rias. "Kamu perlu bersiap. Ini adalah bagian penting dari proses."

Gue duduk dengan enggan, merasakan beratnya situasi ini semakin mendalam. Gue melihat ke cermin dan merasakan hati gue berdegup cepat. Bayangan di cermin itu adalah sesuatu yang membuat gue merasa sangat tidak nyaman—gue terlihat sangat berbeda dari diri gue yang sebenarnya.

Wanita itu mulai mengoleskan beberapa produk ke wajah gue. "Ini untuk memastikan bahwa kamu terlihat sempurna untuk penampilanmu," katanya dengan nada yang penuh penekanan.

Gue merasa tidak nyaman dengan setiap sentuhan. "Lo nggak bisa terus-terusan kayak gini. Gue tahu ini semua cuma permainan."

Wanita itu tersenyum sinis. "Permainan atau tidak, ini adalah realita kamu sekarang. Kamu harus menyesuaikan diri."

Saat dia selesai dengan riasan, dia mengambil beberapa pakaian dari meja dan mulai menggantikan pakaian gue dengan pakaian wanita yang baru. Gue merasakan setiap gesekan kain terhadap kulit gue, dan setiap sentuhan membuat gue semakin marah. Tetapi gue tahu gue tidak punya pilihan lain.

Ketika semuanya selesai, wanita itu berdiri di belakang gue, memeriksa hasil kerjanya di cermin. "Bagaimana menurutmu? Apakah kamu sudah siap untuk menghadapi dunia luar?"

Gue menatap cermin dengan tatapan kosong. Penampilan gue sangat berbeda dari biasanya. Gue sekarang mengenakan gaun berwarna merah muda dengan aksen renda, sepatu hak tinggi, dan rambut gue diatur dengan gaya feminin. Gue merasa seperti gue tidak lagi menjadi diri gue sendiri, tetapi seorang wanita yang dipaksakan dalam sebuah peran yang tidak gue inginkan.

Wanita itu menepuk bahu gue dengan lembut. "Kamu harus siap menghadapi apa pun yang akan datang. Ini adalah bagian dari pembuktian bahwa kamu benar-benar bisa berperan sebagai Adela."

Gue mencoba menahan tangisan. "Apa yang akan terjadi selanjutnya?"

Wanita itu menghela napas, seolah-olah dia merasa kasihan pada gue. "Kamu akan menghadapi tantangan besar, dan keputusan kamu akan menentukan apa yang akan terjadi selanjutnya. Tapi ingat, jika kamu gagal, konsekuensinya akan sangat buruk."

Gue merasa seakan semua harapan gue hancur. "Apa yang harus gue lakukan?"

Wanita itu tersenyum samar, tidak memberikan jawaban langsung. "Kamu akan tahu ketika saatnya tiba. Sekarang, bersiaplah."

Dia meninggalkan gue sendirian di ruangan itu. Gue berdiri di depan cermin, menatap diri gue dengan rasa putus asa. Gue tahu gue harus mencari cara untuk keluar dari sini, tetapi situasinya semakin rumit dan gelap. Gue merasa seperti terjebak dalam labirin yang tidak ada jalannya.

Setiap menit berlalu terasa seperti tahun. Gue memikirkan semua kemungkinan, mencari celah untuk melarikan diri, tapi rasa putus asa dan ketidakpastian semakin membebani gue. Gue tahu gue harus berpikir jernih dan mencari jalan keluar sebelum semuanya terlambat.

Gue terus berusaha tenang, sambil mengamati setiap detail di ruangan itu. Setiap barang, setiap perabot, bisa menjadi petunjuk atau alat untuk melarikan diri. Gue harus tetap waspada dan memanfaatkan setiap kesempatan yang ada.

Saat malam semakin larut, gue merasa semakin kelelahan dan tertekan. Tapi gue tidak boleh menyerah. Gue harus menemukan cara untuk melarikan diri dan menghentikan permainan ini sebelum semuanya menjadi lebih buruk.

Dalam keadaan penuh ketidakpastian dan ancaman yang semakin mengintai, gue tahu satu hal—gue harus tetap berjuang, apa pun yang terjadi. Sebelum gue benar-benar kehilangan segalanya, gue harus mencari cara untuk membebaskan diri dari belenggu ini dan mengembalikan hidup gue ke jalur yang benar.

Perubahan yang di Paksakan!!(Tsf)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang