"Gue nggak tahu kenapa hidup gue bisa serumit ini," gumam gue sambil menatap langit dari jendela kelas. Di luar, matahari bersinar terang, tapi buat gue, semuanya terasa gelap. Di sekolah ini, nama gue terkenal bukan karena prestasi atau hal-hal yang membanggakan. Sebaliknya, setiap kali ada masalah, entah kenapa nama gue selalu terseret. Hari ini pun nggak berbeda. Ada gosip baru yang menyebar cepat, dan seperti biasa, gue lagi-lagi jadi kambing hitamnya.
"Woi, Andra!" teriak salah satu temen sekelas gue, Reza. Suaranya selalu mengganggu, penuh ejekan. "Dengar-dengar lo kemarin ketahuan nyolong di kantin, ya? Hebat banget lo, udah ganteng, tapi kelakuan sampah!"
Gue menghela napas panjang. Ini bukan pertama kalinya Reza bikin gosip tentang gue. "Gue nggak nyolong apa-apa," jawab gue pelan, meskipun gue tahu, dia nggak akan percaya.
"Hahaha, alasan lo klasik, bro!" Tawa Reza pecah diikuti oleh teman-temannya yang lain. "Cuma tinggal tunggu waktu, Andra. Kepala sekolah aja nggak bisa nolong lo terus-terusan!"
Teriakan dan tawa mereka mengisi ruangan kelas, sementara gue cuma bisa diam. Nggak ada gunanya ngelawan. Mereka nggak bakal denger penjelasan gue. Di sekolah ini, semua omongan seolah jadi fakta yang nggak bisa diperdebatkan. Semuanya percaya sama gosip, bukan sama kebenaran.
Kenapa gue nggak diusir dari sekolah ini? Paman gue, Pak Bima, adalah kepala sekolah. Itu alasan utama kenapa gue masih bertahan. Tapi meskipun begitu, bukan berarti paman bisa ngelindungin gue terus-terusan. Waktu itu, dia bilang dengan tegas, "Untuk kali ini kamu mungkin masih selamat, Andra. Tapi kalau kamu kena masalah lagi, nggak tau Paman bisa bantu kamu atau nggak."
Gue tahu dia serius. Meskipun paman selalu ngelindungin gue, dia juga punya batasan. Dan gue nggak bisa terus-terusan bergantung sama dia.
Hari itu, setelah semua hinaan dari Reza dan gengnya, gue mencoba untuk tetap tenang. Gue nggak mau nambah masalah. "Sabar, Andra," bisik gue ke diri sendiri. "Nggak ada gunanya ngeladenin mereka."
Bel berbunyi. Semua murid berhamburan keluar dari kelas, termasuk gue. Gue melangkah pelan menuju kantin, berharap bisa menikmati sedikit ketenangan. Tapi, ketenangan itu nggak pernah ada buat gue.
Di kantin, gue ketemu sama salah satu guru, Bu Rina. Dia tersenyum ramah. "Andra, gimana kabar kamu?"
Gue angkat bahu, mencoba tersenyum walaupun terasa berat. "Baik, Bu. Cuma... ya, biasa, masalah lagi."
Bu Rina mengangguk. "Saya tahu. Tapi kamu harus tetap kuat. Jangan biarkan mereka merusak hidup kamu."
Gue menghargai nasihatnya, tapi kadang, kata-kata seperti itu nggak cukup buat ngubah keadaan. "Terima kasih, Bu," jawab gue singkat sebelum melanjutkan langkah gue.
Saat itu, gue nggak sadar bahwa hidup gue akan berubah total setelah kedatangan seorang murid baru di sekolah ini.
***
Hari itu, tepat setelah jam istirahat, seorang gadis masuk ke kelas gue. Rambutnya panjang, hitam, dan wajahnya cantik. Gue nggak bisa mengalihkan pandangan dari dia. Guru kelas, Pak Arman, mengenalkannya pada kami. "Anak-anak, ini murid baru kita, Alena. Dia baru pindah ke sini. Saya harap kalian bisa membantu dia menyesuaikan diri."
Alena tersenyum tipis, memperkenalkan dirinya dengan suara lembut. "Hai, saya Alena. Senang bisa bergabung di sini."
Suara bisik-bisik mulai terdengar di sekitar gue. Semua cowok di kelas gue jelas tertarik sama Alena, tapi gue? Gue cuma terdiam. Ada sesuatu tentang dia yang membuat gue merasa... beda.
"Alena, kamu bisa duduk di bangku kosong di sebelah Andra," kata Pak Arman, menunjuk ke arah gue.
Gue tersentak sedikit. "Eh, gue?" Gue nggak nyangka bakal satu bangku sama murid baru ini. Alena berjalan mendekat dan duduk di samping gue.
"Hai, Andra," sapa Alena sambil tersenyum.
"Hai," jawab gue pelan. Gue nggak tahu harus ngomong apa. Dalam hati, gue bersyukur bisa duduk di samping dia, tapi gue juga sadar, ini bisa jadi masalah baru buat gue. Semua mata di kelas sekarang tertuju ke arah kami, dan gue bisa merasakan kecemburuan dari beberapa temen sekelas.
Gue mencoba fokus ke pelajaran, tapi nggak bisa. Pikiran gue terus tertuju ke Alena. Gue belum pernah ketemu cewek kayak dia sebelumnya. Ada sesuatu yang bikin gue ngerasa nyaman sekaligus canggung saat berada di dekatnya.
Saat jam pelajaran selesai, Alena menatap gue. "Andra, boleh tanya sesuatu?"
Gue mengangguk. "Boleh, apa?"
"Kamu... nggak kayak yang mereka bilang, kan?"
Pertanyaan itu bikin gue terdiam. Jadi, Alena udah denger gosip tentang gue? Gue menatapnya, mencoba membaca ekspresi di wajahnya. "Mereka bilang apa tentang gue?"
Alena terlihat ragu sejenak, tapi akhirnya dia menjawab. "Mereka bilang kamu sering terlibat masalah. Tapi... aku nggak percaya gosip. Aku pengen denger langsung dari kamu."
Gue merasa terkejut sekaligus lega. Ini pertama kalinya ada orang yang nggak langsung percaya sama gosip. Gue tersenyum tipis. "Mereka salah. Gue bukan orang kayak yang mereka pikirin. Gue cuma... selalu jadi sasaran gosip."
Alena mengangguk pelan. "Aku ngerti. Aku juga pernah ngalamin hal yang mirip di sekolah sebelumnya. Orang-orang sering terlalu cepat menilai tanpa tahu kebenarannya."
Gue menatap Alena lebih dalam. Ada sesuatu dalam tatapannya yang membuat gue merasa... dia benar-benar tulus. "Terima kasih," jawab gue pelan.
Setelah perbincangan itu, gue merasa sedikit lebih baik. Mungkin, dengan adanya Alena di sekolah ini, hidup gue nggak akan seburuk yang gue pikirkan. Tapi gue juga tahu, masalah di sekolah ini belum selesai. Gosip dan fitnah selalu mengintai gue, dan entah kapan masalah besar berikutnya akan datang.
***
Malam harinya, gue pulang lebih lambat dari biasanya. Ada tugas yang harus gue selesaikan di perpustakaan, jadi gue terpaksa tinggal lebih lama di sekolah. Jalanan sudah sepi ketika gue keluar dari gerbang sekolah. Gue melangkah cepat, berharap bisa segera sampai rumah dan istirahat.
Tapi tiba-tiba, langkah gue terhenti. Di depan gue, ada beberapa orang berdiri, menutupi jalan. Mereka semua pakai hoodie, dan wajahnya nggak kelihatan jelas.
"Hai, Andra," salah satu dari mereka bicara dengan nada mengejek. "Malam-malam gini, lo masih di luar? Nggak takut ketemu orang-orang jahat?"
Gue merasa ada yang nggak beres. "Apa maunya lo?" tanya gue, mencoba bersikap tenang, meskipun jantung gue berdebar kencang.
Mereka tertawa kecil. "Cuma pengen ngobrol santai, kok. Nggak usah takut."
Gue mencoba mundur, tapi tiba-tiba seseorang dari belakang menghantam kepala gue dengan keras. Pandangan gue langsung kabur, dan sebelum gue sempat berpikir lebih jauh, semuanya gelap.
Gue nggak tahu berapa lama gue pingsan, tapi ketika gue sadar, gue berada di tempat yang asing. Gue terbaring di lantai dingin, dan tubuh gue terasa lemas. Gue mencoba bangkit, tapi kepala gue masih terasa berat. Perlahan-lahan, gue mulai menyadari sesuatu yang aneh... gue nggak pakai seragam sekolah gue lagi.
Gue kaget bukan main saat gue melihat ke arah tubuh gue. Gue sekarang memakai... seragam wanita.
Dan itulah awal dari semua mimpi buruk yang sesungguhnya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Perubahan yang di Paksakan!!(Tsf)
Novela JuvenilCerita ini menjelaskan seorang murid yang di jauhi oleh teman temanya karena dia selalu terkena kasus,hari itu Ada Seorang Perempuan Yang Mendatanginya.