"Selamat siang, Tuan Wang."
Suara familiar itu menyapanya. Kali ini nadanya terdengar penuh dengan formalitas, bukan suara serak khas orang yang baru bangun tidur, atau nada ceria ketika menyambut seseorang.
"Selamat siang, Tuan Xiao," balasnya berusaha ramah juga.
Lidahnya hampir mengatakan Nyonya Wang. Ia harus mulai membiasakan diri lagi untuk hal-hal remeh seperti ini. Orang di hadapannya sudah bukan lagi nyonya-nya. Setidaknya sejak sebulan yang lalu.
Tuan Wang melirik tangan kiri lawan bicaranya. Sudah tidak ada cincin nikah yang ia sematkan di jari manisnya. Hanya ia saja yang diam-diam masih mengenakannya, sehingga tangan kirinya disembunyikan di dalam kantong tuksedo miliknya.
"Kurasa Anda mengenali lukisan ini," katanya Tuan Xiao dengan tenang.
"Saya merasa sangat familiar ketika melihatnya. Saya bisa membayangkan masuk ke dalam lukisan ini," jawab Tuan Wang.
"Masuk ke dalam lukisan? Saya rasa imajinasi Anda dalam menghayati lukisan ini luarbiasa. Tapi sayangnya kita tahu itu tidak mungkin terjadi."
Tuan Wang menghela napas. Perasaannya campur aduk. Sosok di depannya pernah menjadi sangat manis, entah mengapa sekarang menjadi begitu getir.
"Aku tahu itu. Omong-omong, pameran ini sepertinya berlangsung sesuai dengan harapan Anda, selamat."
"Terimakasih. Ini semua juga tidak lepas dari bantuan Anda. Silakan berkeliling, maaf tidak bisa menemani Anda secara khusus."
Sosok itu berbalik dan kembali membaur pada keramaian galeri seni. Meninggalkan pria dengan nametag bertuliskan Wáng Yī-bó itu sendiri di sana.
Ia sangat ingin mengejar sosok itu, menggenggam tangannya, lalu membawanya pulang.
Setidaknya ada sosok lain di rumahnya. Ada yang mengisi keheningan rumah dalam lukisan itu. Ada yang menyiram bunga-bunga di halaman belakang rumahnya sambil menyanyikan lagu entah apa itu. Ada yang masih menonton televisi ketika ia berkutat dengan laptopnya di rumah. Ada yang menunggunya sampai ketiduran di sofa ketika ia pulang larut malam. Dan tentunya ada yang mengisi sisi lain ranjangnya dan membuat ruangan menjadi sedikit lebih hangat karena kehadirannya.
Setidaknya, ada alasannya untuk tinggal di rumah. Ada keindahan yang bisa ia amati dalam diamnya.
Tapi itu percuma, seperti yang sudah dikatakan mantan pasangannya.
Setelah sidang perceraian, Wang Yibo masih berusaha percaya bahwa mereka berpisah dengan baik-baik. Tetapi kesedihan itu datang seperti sengatan yang membuat rasa sakitnya membengkak. Awalnya tidak terasa apa-apa, tapi semakin lama rasanya semakin jelas dan menyakitkan. Bahkan setelah berhari-hari, Wang Yibo masih belum terbiasa dengan rasa sakitnya dan mencoba bertopeng di depan semua orang.
Wang Yibo memutuskan untuk pulang. Ia sudah tahu bahwa mantan pasangannya baik-baik saja tanpanya, seharusnya itu cukup untuk meredakan sedikit rasa rindunya. Ia tidak bisa lebih egois lagi dengan meminta rujuk karena Xiao Zhan akan lebih bahagia jika tak menjadi pasangannya. Ia harus cukup tahu diri untuk tidak mengusik kehidupan pribadinya lagi.
Jalanan kota sedang lenggang. Wang Yibo menginjak pedal gas mobilnya sedikit lebih dalam daripada biasanya. Ia berusaha mengkompensasi perasaannya yang tak karuan dengan mengendarai mobilnya sedikit lebih kencang. Fokusnya terpecah dan membuatnya gagal menginjak rem pada saat yang tepat.
Wang Yibo tertabrak oleh kendaraan besar dan kesadarannya memudar dengan cepat. Hatinya sakit, tubuhnya sakit, tapi rasa itu semua berganti menjadi kebas. Ia tak bisa menahan nyawanya lagi.
Apa aku sudah mati?
"Bo?! Wang Yibo!"
Wang Yibo mendengar suara itu. Ia membuka matanya pelan. Yang dilihatnya hanyalah warna putih. Selanjutnya ia mendengar suara 'pip-pip' dengan tempo yang konstan.
Ia merasakan udara memasuki paru-parunya, dan keluar dengan embusan yang tenang.
Ia masih hidup. Ia selamat dari kecelakaan mengerikan itu. Ia melirik ke arah sumber suara yang memanggilnya dengan panik.
"Xiao Zha—h..."
Seorang pria manis menggenggam tangannya, menatapnya dengan penuh kekhawatiran. Ia melirik tangan kiri pria itu, dan ia menemukan bahwa cincin di jari manisnya masih tersemat dengan baik.
"Jangan banyak bergerak, kata dokter kau harus beristirahat penuh minimal selama tiga hari," omel sosok manis itu.
Wang Yibo tersenyum lemah. Lebih baik ia mengikuti sarannya, selagi Xiao Zhan berada di sampingnya.
"Kau jatuh pingsan di tengah presentasi-mu. Semua orang panik dan teman-temanmu meneleponku. Kau benar-benar butuh istirahat, Yibo."
Apa? Pingsan? Kecelakaan sehebat itu hanya dianggap pingsan biasa oleh Xiao Zhan?
Wang Yibo yang mendengarnya jadi bingung. Apa maksudnya semua ini? Ia bahkan sudah di ambang kematian. Ia melirik ke arah jam dinding dan kalender yang tergantung di sana.
Ini mustahil, batinnya.
Ini adalah kejadian saat ia pingsan pada meeting bersama klien dan manajer lainnya. Ia melirik kartu ID kantornya.
Manajer Wang. Bukan Direktur Personalia Wang.
Ia kembali ke tahun ketiga pernikahannya. Tahun penuh masalah yang selalu diabaikannya.
Skandal dengan klien, rumor dan gosip kantor, serta orang-orang yang menganggap remeh Xiao Zhan benar-benar tepat di depan matanya. Semua itu ia biarkan begitu saja karena menganggap Xiao Zhan-nya bisa selalu melindungi diri sendiri, dan tidak peduli soal rumor tentang Yibo juga.
Mungkin inilah tahun di mana Xiao Zhan mulai jengah dengan pernikahan mereka.
Wang Yibo menggenggam tangan Xiao Zhan sedikit lebih erat.
Izinkan aku memperbaiki ini semua, katanya bertekad dalam hati.
KAMU SEDANG MEMBACA
Reconnect
RomanceSetelah lima tahun pernikahan yang hambar, Xiao Zhan akhirnya mengajukan gugatan cerai kepada Wang Yibo. Seperti yang sudah ia duga, Wang Yibo menyetujuinya dengan mudah. "Kupikir kau akan lebih bahagia tanpaku," pikir keduanya. Sejak saat itu, Wang...