(1). Pertemuan Takdir.

108 9 1
                                    

"Assalamu'alaikum."

Sapaan salam dengan intonasi lembut itu membuat A'iza spontan mengelap ujung matanya yang berair. Kepalanya ia dongakan demi menatap siapa yang mengucapkan salam kepadanya barusan. Laki-laki? Kening A'iza berkerut ketika menyadari bawah yang mengucapkan salam kepadanya barusan adalah seorang laki-laki. Dan kini laki-laki itu tengah berdiri di sampingnya sambil menatap ke arah lain.

"Wa'alaikumussalam." Jawab A'iza dengan wajah kebingungan. "Ada yang bisa saya bantu?" Tanyanya kemudian.

Kepala laki-laki itu terlihat menggeleng pelan. Lalu tak lama laki-laki menyodorkan sebatang coklat dan seuntai tasbih kepada A'iza. Yang membuat kening A'iza semakin berkerut dalam.

Dengan pandangan yang tetap sama memandang ke arah pelantaran mesjid, laki-laki itu mengucapkan beberapa kata yang mampu menjawab salah satu dari dua pertanyaan yang kini bersarang di otak A'iza.

"Kata ibu saya, ketika perempuan sedang bersedih mood nya akan kembali setelah mengonsumsi makanan manis. Dan kebetulan juga saya bawa coklat. Niatnya untuk ibu saya, tapi karena kamu lebih membutuhkan dan sepertinya memang coklat ini adalah rezeki untuk kamu yang Allah titipkan pada saya jadi coklat ini untuk kamu. Ambillah."

"Eh tidak usah. Saya lagi gak sedih kok." Tolak A'iza tak enak hati.

"Jangan berbohong. Tidak baik. Dari wajah kamu saja sudah terlihat kalau kamu sedang bersedih." Jawab laki-laki itu.

Merasa tertangkap basah, akhirnya dengan perasaan gugup A'iza mengambil sebatang coklat dan meninggalkan seuntai tasbih di tangan laki-laki itu.

"Tasbihnya kenapa tidak di ambil?" Tanya laki-laki itu ketika menyadari A'iza tidak mengambil tasbih yang ia berikan.

"Eh? Bukannya itu punya kamu?"

"Iya. Tapi saya ingin memberikannya pada kamu. Selain coklat, berdzikir kepada Allah juga bisa membuat perasaan menjadi lebih baik. Jadi tasbih ini untuk kamu."

"Lalu kalau tasbih punya kamu, kamu berikan sama saya kamu nanti bertasbih pakai apa?" Tanya A'iza.

"Saya punya dua tasbih. Kalau satu saya berikan sama kamu, saya masih punya satu lagi." Jawab laki-laki itu.

"Oh gitu." A'iza mengulurkan tangannya kembali untuk mengambil tasbih kayu yang ada di tangan laki-laki itu.

"Terimakasih coklat dan tasbihnya. Semoga coklat dan tasbihnya jadi ladang pahala untuk kamu." Ujar A'iza setelahnya.

"Aamiin. Kalau gitu saya pamit dulu."

"Sebentar. Saya boleh bertanya sama kamu?"

"Boleh. Mau bertanya apa?"

"Nama kamu siapa? Dan kenapa kamu gak natap wajah saya ketika kita sedang berbicara?"

Sejak tadi hanya A'iza lah yang memandang ke arah laki-laki itu, namun laki-laki itu sama sekali tidak balik memandangnya. Sedari awal laki-laki itu hanya menatap pelantaran mesjid dan berdiri sedikit menyerong membelakangi dirinya.

"Nama saya Qaid. Kalau masalah kenapa saya tidak menatap wajah kamu, bukankah sebaik-baiknya laki-laki adalah laki-laki yang mampu menundukkan pandangannya terhadap lawan jenisnya yang tidak halal baginya."

Jawaban terakhir laki-laki yang ternyata bernama Qaid itu mampu menyentil hati dan harga diri A'iza yang selama ini tidak pernah menundukkan pandangannya pada lawan jenisnya.

"Benar juga." Jawab A'iza sembari menganggukkan kepalanya.

"Ada pertanyaan lagi?" Tanya Qaid.

"Tidak. Sudah cukup. Tapi kamu tidak mau bertanya siapa nama saya?" Tanya A'iza balik.

Berseminya Cinta Di Bawah Kubah Mesjid.Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang