Dusun Etan Kali

129 16 2
                                    

Dinginya udara menembus bagian terluar kulit merasuk ke dalam tulang, menimbulkan rasa nyilu yang lumayan terasa. Bibir gemetar sebagai afeksi pertahanan tubuh yang diserang oleh udara dibawah suhu normal pada umumnya. Daun-daun tampak basah, tertutup embun pagi yang bersiap menjadi air akibat dari terpaan hangat sang mentari pagi.

Langit yang semula gelap, perlahan mulai berganti ketika matahari tampak malu-malu muncul dari arah timur tempat ini. Tempat ini, merupakan perbatasan paling timur di daerah Jawa. Tidak heran jika waktu pagi disini akan terasa lebih cepat dari daerah lainnya.

5 orang pemuda telah berpakaian rapi, dengan almamater kebanggaan mereka, berdiri tegap, bersiap melaksanakan tugas penting sebagai seorang mahasiswa. Senyum bangga menghiasi wajah tampan mereka.

"Kalian sudah siap?"

Mereka mengangguk mendengar pertanyaan dari David.

"Baiklah" -David menoleh ke arah 5 orang warga yang sedang duduk di atas motor- "mereka yang akan mengantar kalian ke dusun itu, maafkan saya tidak dapat menemani kalian, karena masih ada pekerjaan yang harus saya urus" jelasnya sembari menunjuk ke 5 orang tadi.

"Tidak apa-apa mas, justru kami yang harusnya meminta maaf, karena sudah merepotkan" sahut Tama tidak enak.

David tertawa, "ndak papa mas, ndak merepotkan, saya malah senang karena rumah jadi ramai" balasnya penuh arti.

Tama mengangguk canggung, "terimakasih mas" ucapnya yang dibalas anggukan.

"Sebaiknya kalian segera berangkat, pesan saya fokus apa yang ada didepan kalian, jangan menoleh ke arah lain. Hutan disana masih tergolong liar, takutnya ada hewan buas yang mengintai"

Mereka mengangguk, kecuali Banu. Entah kenapa, ia merasa ada maksud lain dari perkataan pria muda itu.

Merekapun bergegas untuk menaiki motor, Tama mendapat tumpangan seorang lelaki muda yang bernama Bagas.

"Ini jalan satu-satunya ke dusun ya mas? - Tama bertanya setelah berhasil mendudukkan dirinya diatas motor.

Bagas tersenyum, "iya mas, maklum, desa kami cukup terpencil" jawabnya sembari menghidupkan motor. Motor yang ditumpangi Tama mulai melaju diikuti motor-motor yang lain.

Grepp

Tama mendekap erat perut Bagas tatkala motor mereka baru saja melintasi jalan cukup menanjak.
Pantas saja mobil tidak bisa lewat. Jalan yang mereka lewati benar-benar jalan setapak, persis ketika kita berada di hutan liar. Jangan lupakan medan tanah yang harus mereka lewati lumayan menanjak naik.

"Pegangan wae mas, ndak papa, memang jalannya agak naik"

Tama mengangguk, matanya tetap fokus ke arah depan seperti apa yang disampaikan oleh David tadi. Tangannya sesekali melirik jam tangannya, perjalanan kali ini terasa begitu lama. Dengan medan yang lumayan sulit.

Semakin memasuki hutan, semakin gelap dan dingin, disebabkan matahari yang terhalang masuk oleh dedaunan dan ranting pohon. Pantas saja, kemaren David menyuruh mereka untuk menginap. Bayangkan akan semenggerikan apa tempat ini ketika malam tiba.

Ditengah perjalanan, Tama mendengar suara musik yang cukup familiar karena Danu yang sering mengajaknya menonton wayang. Suara tabuhan gendang, dan juga pukulan gong, sayup-sayup tertangkap di indra pendengarannya. Suaranya terdengar jauh. Membuatnya berfikir bahwa itu suara hajatan salah satu warga dusun yang akan mereka tempati.

Seiring dengan motornya yang melaju, suara itu terdengar semakin kencang, bahkan Tama dapat mendengar sorakan yang mengiringi tabuhan gamelan itu. Karena hal itulah, Tama bertambah yakin, bahwa suara itu, berasal dari dusun yang akan mereka tempati.

Tulang Wangi, Neng Kene Wae Karo AkuTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang