"bu, niki wonten mahasiswa kang badhe KKN ten mriki, mohon di bimbing nggeh bu, (bu, ini ada mahasiswa yang akan KKN di sini, mohon di bimbing ya bu)"
Tama menatap bergantian ke arah Bagas dan juga wanita tua yang bernama Kinanti, wanita tua yang hidup sendiri, memiliki 2 rumah, yang salah satunya akan menjadi tempat tinggal mereka.
"Nggeh, mas Bagus, kulo nggeh seneng wonten seng ngrencangi, (iya mas bagus/tampan, saya ya bahagia ada yang menemani).
Bagas menoleh, lagi dan lagi matanya menatap lekat ke arah Tama.
"Mulai sekarang, tempat ini akan menjadi tempat tinggal kalian, ingat kabeh nggen mesti ono seng duwe, pamit ojo grusak-grusuk koyok wong raduwe totokromo, (semua tempat pasti mempunyai pemiliknya, izin, jangan grusak-grusuk, seperti orang yang tidak memiliki tata krama)" -Mas Bagus berucap dingin, dan berjalan meninggalkan mereka tanpa sepatah katapun.
Tama menatap bingung, ia menoleh ke arah Banu yang juga terdiam.
"Artinya apa mas?"
Banu menggeleng, dan segera mengajak rekan-rekannya masuk dan membereskan barang mereka.
Bu Kinanti menatap tajam ke 5 mahasiswa itu, bibirnya mengeluarkan seringaian yang entah apa maksudnya.
.
.
.
"Tam, jangan bicara aneh-aneh"
Tama menoleh ke arah Banu, "maksudmu apa mas?"
"Itu, tadi kamu bertanya tentang gamelan. Gamelan apa yang kamu maksud?, apakah diantara kalian ada yang mendengarnya juga?" -Banu menatap mereka semua bertanya.
"Enggak mas" -Lingga menyahut sembari mengeluarkan pakaian dari dalam tas.
"Kamu Dan?"
Danu menggeleng, "ndak", ia kemudian menoleh ke arah Tama.
"Mungkin bener kata mas Bagas Tam, kamu salah dengar kali"Tama diam, enggan memperpanjang masalah. Ia kemudian pamit untuk ke kamar mandi.
"Lapo le, (ngapain nak)?"
Tama menoleh ada seorang kakek tua yang datang menyapanya, mungkin kakek itu melihatnya yang tengah kebingungan.
"Saya sedang mencari kamar mandi pak, tadi saya sudah mencari di dalam rumah, ternyata tidak ada kamar mandi"
Kakek tua itu tersenyum, "disini kalau mau mandi, ya kesungai le. Tapi kalau mau membuang hajat, jangan disana karena itu sumber kehidupan kami. Kalian gali tanah saja, setelah selesai pendam, tutup lagi dengan tanah"
Tama tertegun, sebisa mungkin ia menyembunyikan raut wajahnya, takut menyinggung kakek tua itu. "Baiklah pak, sebaiknya saya segera ke sungai sebelum senja tiba, terimakasih ya pak" ucapnya yang dibalas anggukan.
Tama segera berjalan menyusuri jalan setapak yang tampak sepi, langit bewarna kelabu, tetapi tidak dengan hujan, hanya mendung. Kakinya melangkah dengan pelan menyusuri jalan sungai yang lumayan menurun, hanya butuh satu menit untuk sampai disungai yang tadi mereka lewati.
Sepi, sejauh ia berjalan tidak ada seorang pun warga yang Tama temui, yang lebih mengherankan lagi, ia tidak pernah melihat anak kecil dan juga remaja di dusun ini. Aneh sekali pikirnya, ini bukan pertama kalinya dia pergi kesebuah desa. Bahkan, Tama beberapa kali pergi ke Batu, tepatnya di desa Junrejo, tempat asal Danu. Disana, ia masih melihat banyaknya anak kecil yang bermain di luar bersama-sama.
Srekk
Tama menaruh handuk dan juga pakaian gantinya di atas tembok pendek yang sepertinya digunakan warga untuk mencuci. Matanya mengedar ke sekitar sungai.
KAMU SEDANG MEMBACA
Tulang Wangi, Neng Kene Wae Karo Aku
Horror"Mas bagus, neng kene wae, kancani aku" Kakinya bergetar hebat mendengar bisikan bernada lirih itu, Tama terus berlari mencoba mencari jalan keluar, dari desa terkutuk itu. Jantungnya berpacu cepat, pandangannya mulai kehilangan fokus. Ia tidak meng...