Gondo Mayit

124 15 24
                                    

"ini dimana?"

Tama menatap sekelilingnya dengan bingung, seingatnya dia tadi sedang di ruang tamu, membahas proker baru dengan teman-temanya. Tapi, kenapa sekarang ia berada di tengah jalan, dalam keadaan gelap seperti ini.

Dari kejauhan terlihat setitik cahaya yang perlahan-lahan semakin dekat dengan tempatnya berdiri. Cahaya itu terlihat seperti api. Tama terus melihatnya, sampai matanya dapat menangkap sesosok pria yang amat dikenalnya.

'mas Bagas?' batinnya bingung.

Ia pun segera menyembunyikan dirinya kebelakang pohon yang ada didekatnya. Helaan nafas lega, keluar darinya setelah melihat Bagas berjalan melewatinya.

"Apa yang akan dilakukan mas Bagas malam-malam begini?"

Ia pun berjalan pelan, mengikuti Bagas, Tama dapat melihat Bagas yang berhenti di depan gapura wetan, kepala pria itu terlihat menoleh ke kanan dan ke kiri, seolah-olah sedang memastikan sesuatu. Setelah dirasa aman, pria itu berjalan masuk ke dalam hutan.

Tama berlari ke arah gapura, dia tertinggal lumayan jauh dari Bagas, karena dia tadi memastikan jarak mereka agar tidak terlalu dekat. Dia terdiam di depan gapura, dalam hati, ia sedikit ragu untuk mengikuti Bagas masuk ke dalam sana.

"Ck, persetan.. dari pada penasaran" putusnya sembari melangkah masuk.

Baru saja kakinya melewati garis pembatas, antara gapura dan hutan. Indra penciumannya sudah disambut dengan harum dupa dan juga bunga melati, wanginya sangat menyengat, membuatnya mual detik itu juga.

Huekk

Kosong, tidak ada apapun yang keluar dari mulutnya, hanya saja kepalanya terasa sedikit pening. Setelah cukup beristirahat, Tama kembali melanjutkan langkahnya untuk mengikuti Bagas, yang entah sudah sampai mana, ia sendiri tidak tahu. Tama hanya akan mengikuti instingnya.

Kakinya terus melangkah menyusuri jalan setapak yang dipenuhi dengan tumbuhan liar, dari kejauhan Tama dapat melihat pohon beringin yang sangat besar, terlihat berbeda dari yang lain, seolah-olah berusaha menunjukkan eksistensinya. Terlihat besar, gelap, dan menyeramkan.

Dia berjalan menuju pohon itu, selangkah, dua langkah, semakin dekat, semakin  gelap dan juga dingin. Bulu kuduknya meremang, kakinya sedikit gemetar. Sampai, pada langkah terakhir sebelum ia sampai di tempat pohon itu. Tama terjatuh, karena tidak lagi sanggup menopang tubuhnya. Matanya bergetar, ketika melihat puluhan pocong dalam posisi sujud, menghadap ke arah pohon, mengelilingi pohon, seakan-akan mereka sedang menyembah pohon beringin itu.

Ditengah-tengah ketakutannya, terdengar suara gamelan yang sangat keras. Tama menunduk memejamkan matanya. Suara nyanyian-nyanyian dalam bahasa Jawa turut serta mengiringi gamelan itu. Terdengar merdu dan juga mistis secara bersamaan. Ia mendongak, mencari sumber suara yang ternyata berasal dari bawah pohon beringin itu. Disana terlihat ramai, dengan pemusik dan juga penarinya. Terlihat sedang berpesta, tanpa memperdulikan para pocong yang mengelilinginya.

Tama tetap pada posisi saat ia terjatuh, dalam posisi duduk bersimpuh dengan kepala menunduk, ia tidak memiliki tenaga hanya sekedar untuk berlari. Ia juga tidak berani mendongakkan kepalanya. Suara gamelan itu, perlahan-lahan mulai menghilang. Suasana disekitarnya seketika berubah sunyi, dengan suhu udara yang bertambah dingin. Tama yang penasaranpun memberanikan diri mendongakkan kepalanya...

"Neng kene wae karo aku yo cah bagus"

.....

Jleb

"Tam!!!!!"

Banu reflek berteriak setelah Tama melemparkan kapak ke arah mereka, untung saja mereka cepat menghindar, hingga kapak itu menancap mengenai tembok kayu, rumah ini.

Tulang Wangi, Neng Kene Wae Karo AkuTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang