Omah Turu

103 16 3
                                    

"niki pun badhe magrib, nopo di kubur ènjing mawon mas, (ini sudah mau maghrib, apa dikubur besok saja mas)?"

Tama berdiri di tengah-tengah Bagas, dan seorang lelaki bernama Udin. Kepalanya menoleh bergantian berusaha mencerna apa yang sedang mereka bicarakan, walau pada akhirnya dia tetap tidak mengerti.

"Iyo wes Din, rapopo di seleh neng omah turu ae, (ya sudah Din, tidak apa-apa, ditaruh di rumah tidur saja)"

"Nggeh mas" jawab Udin sembari berjalan ke arah sekumpulan bapak-bapak yang sedang mengurusi jenazah.

Bagas menatap ke arah Tama yang terlihat kebingungan, pemuda itu terkekeh, tangannya menepuk bahu Tama, mengajaknya untuk pergi.

"Kamu bingung ya Tam?, mas panggil Tama aja ya, biar kelihatan lebih akrab"

Tama mengangguk, "iya mas"

"Dikampung ini, masih belum ada listrik, kamu tahu itu kan?"

Tama mengangguk

"Berhubung ini sudah hampir maghrib, kami tidak bisa langsung menguburkan jenazah mbah Tri, biasanya jenazah akan di taruh di tempat terbuka, yang hanya memiliki atap dan cagak/tiang yang berjumlah 4. Tempat itu bernama omah turu" -Bagas menatap lekat ke arah Tama, memastikan bahwa pemuda itu memahami apa yang ia sampaikan- "nah disini, saya ingin meminta tolong kepada kamu dan teman-temanmu untuk ikut nunggoni/menunggui jenazah di sana bersama para warga".

Tama mengangguk ragu, ini adalah tugas pertama mereka, tidak mungkin kan ia menolaknya, apalagi yang meminta adalah mas Bagas yang notabennya adalah kepala Dusun disini.

"Iya mas, nanti saya sampaikan ke teman-teman"

"Ya sudah, ini sudah hampir petang, saya antar kembali ke basecamp, sekalian kita berangkat dari sana"

.

.

.

"La iyo mas, sek sedino awak dewe neng kene, wes di sambut ambek berita duka, (masih sehari kita disini, sudah disambut dengan berita duka)"

"Sttt lambemu Dan, (mulutmu Dan)"

Mereka berlima, duduk melingkar di atas kloso pandan (tikar yang terbuat dari anyaman daun pandan, biasanya tikar itu digunakan untuk membungkus jenazah yang akan diantarkan ke pemakaman). Yang di gelar di depan omah turu. Mereka juga membuat api unggun kecil-kecilan guna menghangatkan badan. Para warga sedang sibuk mengurusi keperluan pemakaman besok, dan meminta mereka untuk menunggu jenazah bersama mas Bagas.

Sedari tadi, Tama hanya menghadap ke depan, sebisa mungkin dia menghindari untuk menoleh ke belakang, karena tepat dibelakang mereka bersemayam jenazah pak Tri yang dibungkus kain jarik, diletakkan di bagian tengah omah turu.

Seperti yang di jelaskan mas Bagas, rumah ini berbentuk pondok sederhana, yang hanya memiliki atap dan 4 tiang sebagai penyangganya. Tidak ada dinding, sebagai pembatas jenazah. Jadi, setiap orang yang melewati rumah ini, akan bisa melihat jenazah dengan sangat jelas walaupun dari kejauhan.

"Ling, antarkan aku.."

"Kemana?"

"Aku lapar, kebetulan aku menyimpan beberapa makanan di basecamp, antarkan aku mengambilnya"

Danu yang mendengar kata makanan segera berdiri, dan dengan senang hati menawarkan dirinya untuk menemani Kevin.

"Sama aku aja ayok, kebetulan aku juga lapar" ucap Danu disertai cengiran konyol khas nya.

Kevin mengangguk setuju, merekapun segera berjalan meninggalkan omah turu.

"Tam, kamu kenapa?"

Tama menoleh ke arah Lingga, "aku nggak kenapa-napa kok Ling"

Lingga hanya mengangguk, ia melirik ke arah omah turu. Matanya melotot ketika ada seekor kucing hitam, berdiri tepat di bagian perut pak Tri.

"Hus, huss"

Banu dan Tama reflek menoleh ke arah Lingga yang tiba-tiba bangkit dan berjalan ke arah omah turu.

"Ada apa Ling?" Banu bertanya heran ketika melihat Lingga mengibas-ibaskan tangannya di depan perut jenazah.

"Kalian kenapa diam disitu?, cepat bantu aku mengusir kucing hitam ini"

Degg

Tama menoleh ke arah Banu, begitu pula sebaliknya.

Di sisi lain

"Sepi banget ya Nu"

Danu mengangguk mendengar ucapan Kavin, selain karena gelap, mereka memang tidak bertemu seorangpun selama perjalanan.

"Tapi kan mereka memang sedang sibuk mempersiapkan pemakaman Vin, jadi wajar saja" bantahnya yang dibalas anggukan oleh Kavin.

"Ehh, Dan... Lihat deh.. itu.. Tama kan?"

Danu menoleh ke arah tempat yang ditunjuk oleh Kevin, matanya melotot ketika melihat sosok sang sahabat berada di tengah area makam. Ia dengan cepat menarik tangan Kevin untuk pergi meninggalkan sosok itu.

"Lho, Dan.. kita nggak nyamperin Tama?"

"Kamu nggak waras apa gimana?, jelas-jelas Tama sedang berada di omah turu"

"Maksudmu yang kita liat tadi.. han"

Danu segera membungkam mulut Kevin sebelum pemuda itu mengatakan hal yang aneh-aneh.

"Ojo ngawor, anggap aja kita salah lihat"

Kevin mengangguk, mereka segera berjalan cepat ke arah basecamp.

****

"Aku baru tahu, kalau ada keranda yang ditutupi kain hitam"

Banu menatap tajam ke arah Lingga, bisa-bisanya temannya mengucapkan hal itu dengan suara yang lumayan keras.

"Setiap tempat memiliki tradisinya sendiri, jika tidak bisa menghormati, setidaknya diam, saya rasa itu lebih baik"

Sahut sebuah suara di belakang mereka. Disana David berdiri lengkap dengan pakaian berdukanya.

Lingga mengangguk kaku mendengar teguran itu.

"Maaf mas"

"Eling eling sira menungsa, jaler estri enom lan tuwa, saben dina pada elinga, kapan-kapan nompo timbalan, timbalane kang maha suci, gelem ora gelem bakale mati, disalini penganggon putih, yen wis budal ora bisa mulih, tumpakane kereta jawa, roda papat rupa menungsa, jujugane omah gua, tanpa bantal tanpa klasa, omahe raono lawange, turu dewe raono kancane, ditutupi anjang anjang, diuruki disiram kembang, tonggo- tonggo pada nyawang, tangise kaya wong nembang. ( Ingat ingat semua manusia, pria wanita muda dan tua, setiap hari coba ingatlah, kapan kapan menerima panggilan, panggilan dari yang maha suci, mau tidak mau pasti mati, dipakaikan pakaian putih (kain kafan), kalau sudah pergi (meninggal dunia) tidak bisa kembali, kendaraannya kereta jawa (keranda), tujuannya kuburan, tanpa alas kepala tanpa tikar atau alas tidur, rumahnya tidak ada pintu, tidur sendiri tidak ada teman menemani, ditutupi rangka (kayu, besi, kawat), ditimbun disiram bunga, para tetangga mengamati, tangisnya seperti orang bernyanyi)."

Mereka menoleh ketika mendengar, Bagas melantunkan nyanyian berbahasa jawa, diikuti oleh seluruh pelayat. Suara gema yang dihasilkan, mampu membuat 5 orang penduduk baru dusun itu, merinding ketakutan, entah kenapa nyanyian itu, terdengar seperti sebuah mantra ditelinga mereka.

Lingga mendekat ke arah Kavin, hendak membisikkan apa yang sedang dipikirkannya. Namun, hal itu segera di cegah oleh Tama. Ketua kelompok itu hanya tidak mau, para penduduk merasa tidak dihargai oleh mereka.

Tulang Wangi, Neng Kene Wae Karo AkuTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang