Pernahkah kalian merasa ketidak beruntungan dalam hal keluarga maupun pertemanan?
Cerita ini adalah kisah seorang gadis yang kehilangan peran kedua orang tua dan mendapatkan perlakuan tidak baik disekolah, yang membuat gadis itu sangat takut untuk...
Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.
♡ 𝓗𝓪𝓹𝓹𝔂 𝓡𝓮𝓪𝓭𝓲𝓷𝓰 ♡
"Cukup mah!" Suara itu mampu membuat Bu Anne diam.
"Ada apa ini?" Tanya Valen mulai berjalan menghampiri kamar Liam yang berisik akan keributan.
Degg
Terkejutnya Valen saat melihat keadaan adiknya yang kacau, Valen lantas berlari menghampiri adiknya. Bu Anne dan ayah Agra yang melihatnya lantas pergi dari ruangan membiarkan mereka berdua.
"Lo kenapa?" Tanya Valen khawatir dengan keadaan adiknya
Liam tak menjawab pertanyaan dari Valen, ia masih sibuk bermain drum dengan penuh amarah di kamarnya.
"Gue tau lo marah, tapi lo nggak bisa kayak gini terus. Gue nggak pernah lihat lo sekacau ini." Ucap Valen dengan merangkul pundak adiknya.
"Cukup bang, kenapa lo selalu baik ke gue?! Gue nggak pantas dapet perlakuan baik kayak gini. Gue udah bikin lo celaka." Ucap Liam mengalihkan pandangan, menahan kesedihannya.
"Itu kejadian udah lama, gue baik-baik aja kan?.. lo gak usah nyalahin diri sendiri" Ucap Valen tersenyum tipis
"Seharusnya gue yang minta maaf sama lo, gue belum bisa jadi abang yang baik. Gue belum bisa jagain lo dari amarah mamah dan ayah" Sambung Valen
"Gue pantes kok dibenci.." Ucap Liam dengan wajah yang datar
"Sebenarnya lo kenapa? Papah pukulin lo lagi?" Tanya Valen yang khawatir dan melihat kondisi tubuh Liam, memastikan tak ada luka.
"Sebenarnya lo kenapa? Sampe gak mau cerita sama gue" -batin Valen
"Gue nggak tau apa yang terjadi, tapi gue nggak bakal ninggalin lo. Kita udah sama-sama dari kecil, dan gue selalu dukung lo. Kalau ada masalah, ceritain ke gue" Ucap Valen sembari menepuk-nepuk pundak Liam
Liam terdiam sejenak, lalu menghela napas berat
"Iya bang, gue bakal cerita kok kalau ada masalah" Ucap Liam mulai tersenyum agar abangnya tak khawatir dengannya.
"Ya udah, coba cerita ke gue. Gue nggak akan nge-judge lo, Apa pun itu." Ucap Valen yang ingin tau apa penyebab dari kekacauan ini.
"Gue pengen cerita sama lo, tapi gue takut buat hal ini jadi rumit. Tapi gue gak bisa tutupin lagi" -batin Liam
Dengan suara rendah.
"Vanea..." Ucap sepatah Liam
"Vanea? Apa hubungannya sama Vanea? Lo kenal?" Tanya Valen
Mencoba menahan emosi yang sudah menumpuk.
"Lo nggak tau, bang. Lo nggak pernah tau. Gue udah suka sama Vanea dari lama. Tapi gue diem aja, karena gue takut... takut kalau dia nggak ngerasa yang sama. Dan sekarang, dia malah sama lo." Jawab Liam mengeluarkan semua yang ia pendam.
Degg
Valen terdiam, mencerna semua perkataan adiknya dengan perlahan. Ia menghela napas panjang. Ia masih tak percaya bahwa mereka menyukai perempuan yang sama.
"gue nggak tau, gue nggak tau kalau lo suka sama Vanea. Kalau gue tau dari awal, gue pasti nggak akan..." Ucap Valen menyesal
"Gue beneran minta maaf, gue nggak pernah bermaksud nyakitin lo. Gue nggak akan pernah ngelakuin ini kalau gue tau perasaan lo." Sambung Valen penuh penyesalan karena ia tau perasaan adiknya sekarang.
Liam masih kecewa, tapi mulai mereda.
"Tapi sekarang udah terlambat, bang. Gue cuma... nggak tau harus gimana lagi. Gue cuma marah sama diri gue sendiri." Ucap Liam datar
Valen mulai merangkul Liam.
"Lo nggak perlu ngalahin diri sendiri.. gue yang akan ngalah. Gue bakal pergi dan lo bisa deketin Vanea" Ucap Valen karena menurut Valen, kebahagian adiknya adalah prioritas buatnya.
Mendengar perkataan abangnya Liam lantas menunduk, berusaha menahan air mata
"Jangan bang, Vanea butuh lo. Dia bahagia sama lo, jangan buat dia sedih. Dan lo harus perjuangin kebahagian yang udah ditakdirin buat lo, lo nggak perlu mikirin gue." Ucap Liam
"Bisa lo beri gue waktu, gue butuh waktu sendiri" Sambung Liam menepis rangkulan tangan Valen.
Valen berdiri, memberi ruang untuk Liam. Dia menepuk bahu adiknya dengan lembut, lalu keluar dari kamar. Liam duduk diam, perasaannya masih campur aduk, tapi pelan-pelan mulai merasa sedikit lega karena telah mengucapkan semua yang ia pendam.