Kematian misterius

2 0 0
                                    

Keesokan paginya Cipo memanggil Mbah Sriatun untuk, memijat dan merelakskan badan-badannya yang seakan kaku, karena kejadian tempo hari. Seperti biasa Ratri bekerja dari memasak hingga membersihkan rumah lalu dilanjut menyuapi anak-anaknya Cipo, Ratih cukup prihatin akan kejadian yang menimpa oleh Chao, anak itu pun ditanya tidak bisa menjawab, apa yang terjadi seingatnya. Dia hanya bermimpi kemudian dia terbangun dan mendapati matanya telah terluka, kini dia harus mengenakan penutup mata dan tidak berani bermain keluar rumah, karena takut diejek oleh orang-orang.

“Chao ayo makan mbak Ratih suapin,” ujar Ratih yang menghampiri Chao yang berdiri di depan pintu rumahnya.

“Tidak mau makan,” ujar Chao menghalau suapan tangan dari Ratih.

Tapi, kemudian Chao perlahan berjalan seperti ada yang menuntunnya, berjalan pelan menuju jalan besar depan rumahnya walau tidak begitu ramai, jalan depan rumah akses menuju pusat pemerintahan. Dimana banyak kereta kuda yang berlalu lalang, dengan perasaan heran Ratih melanjutkan menyuapi ading Chao yaitu Dong, membiarkan Chao yang berjalan sendirian, pikir Ratih mungkin Chao hendak bermain di halaman rumahnya tapi, anak itu terus berjalan dan luput dari pandangan Ratih, untungnya seorang pegawai tuan Han melihat Chao tengah menyeberang ke jalan. Dia pun berlari memanggil Chao tapi, anak itu tidak mendengar dia terus melangkah melaju hingga, hampir tertabrak oleh kereta kuda yang sedang melintas, dengan sigap pegawai tuan Han menangkap tubuh Chao, lelaki itu menggendongnya dan membawa masuk kembali Chao ke rumahnya.

“Mbak...,” panggil lelaki itu kepada Ratih.

“Iya Mas,” sahut Ratih.

“Ini Koko Chao jalan sendirian,” ujar lelaki yang memang diperintah oleh tuan Han untuk mengambil buku catatan penjualan yang tertinggal.

“Terimakasih ya Mas,” ujar Ratih yang kemudian mengambil Chao dari gendongan lelaki itu.

“Lain kali kalau mau jalan ajak Mbak Ratih,” ucap Ratih Chao dengan polosnya berkata, “iya Mbak.”

“Ada apa Ratih?” Tanya Cipo yang baru selesai dipijat Mbah.

“Ini tadi Chao jalan-jalan sendiri,” ucap Ratih.

“Iya Nyonya. Untung saya tadi lihat,” ucap pegawai lelaki itu.

“Iya sudah kamu ada urusan apa?” Tanya lagi Cipo kepada pegawai yang di panggil Sunar.

“Saya disuruh tuan Han untuk, ambil buku catatan penjualan yang tertinggal di kamar,” jelasnya lagi.

“Tunggu sebentar.” Cipo yang masuk ke dalam rumahnya untuk mengambilkan, apa yang diminta tuan Han.

“Ini.” Cipo menyerahkan beberapa buku yang diberikan kepada Sunar.

“Iya Ci, saya pamit dulu.” Cipo memberi aba-aba dengan tangannya untuk Sunar segera pergi, dia masih mengenakan kain jarik, duduk di kursi teras di rumahnya sambil memperhatikan, Ratih menyuapi anak-anaknya.

“Ratih kemarin Tuan bicara apa?” Tanya Cipo kepada Ratih.

“Tidak ada Nyonya,” jawab Ratih tidak lama Mbah memanggil Cipo.

“Nyonya air rendamannya sudah siap,” ujar mbah yang menghampiri Cipo.

“Ratih, kamu jagain anak-anak ya,” perintah Cipo.

“Iya Nyonya,” sahut Ratih yang kemudian melanjutkan menyuapi anak-anak.

Mbah Sriatun memang sering menjadi panggilan para Meneer dan saudagar-saudagar yang ingin pijat tradisional, selain ahli memijat mbah Sriatun juga merupakan seorang dukun beranak yang kerap kali menjadi dokter persalinan, mau anak pribumi atau anak para Meneer kolonial Belanda. Khusus untuk Cipo, mbah Sriatun selalu memijat dan melakukan terapi relaksasi sampai sore hari.

Dendam nyi RatriTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang