Perang Santet

5 0 0
                                    

Sampai malam hari pun tiba, mereka tidak dapat menemukan ayam hitam yang dimaksud oleh Kuncoro.

“Bodoh, mencari ayam saja tidak becus.” Meneer Wilhelm yang berdiri di dekat sebuah meja berisi Fonograf.

Mereka tidak bisa berkata-kata, hanya menerima sumpah serapah dari majikannya.

“Baiklah, kalau begitu saya memulai upacara pembersihan terlebih dahulu,” ujarnya Kuncoro.

Mereka pun langsung melakukan ritual pembersihan sambil berkeliling rumah, Kuncoro membawa tempat perapian, tungku kecil yang berisi bara kemenyan untuk ditiupkan asapnya seluruh ruangan rumah. Meneer Wilhelm hanya menyaksikan pembersihan bersama istrinya, setelah selesai Kuncoro hanya duduk di depan altar persembahan, dengan menyilangkan kakinya, dia menaruh perapian itu, sambil memejamkan mata Kuncoro mulai membaca mantra,  istri Meneer Wilhelm yang melihat itu merasa merinding, dia tidak berani kembali ke kamarnya dan hanya bersembunyi di samping suaminya. Mereka yang menyaksikan atraksi dari dukun Kuncoro terheran-heran karena sedikit banyaknya Elizabeth tidak percaya.

**

Di lain tempat, di rumah Ratih Simbah duduk dengan posisi yang sama seperti Kuncoro, kini keduanya saling berhadapan sementara Ratih hanya membantu Simbah dari belakang, dengan memberikan sesajen. Ratih juga lah yang sengaja membunuh semua ayam hitam yang ingin dibeli oleh Meneer Wilhelm untuk ritual ini.

“Mbah ini Kerisnya,” ujar Ratih yang memberikan keris yang telah dikalungi bunga melati.

Simbah pun menyambut dan membuka sarung keris tersebut, lalu menghadapkannya kepada kepala seperti tanda penghormatan kepada keris, tidak lama keris itu mulai ditusukkan kepada boneka yang terbuat dari pelepah pisang, tepat di bagian perutnya yang mengakibatkan Kuncoro muntah darah secara tiba-tiba.

“Uhuk, uhuk,” Kuncoro batuk yang sangat kuat hingga mengeluarkan darah.

“Ki Kuncoro...,” ujar Bagong yang kaget melihat Kuncoro muntah darah.

“Saya takut...,” ujar istrinya Elizabeth.

“Apa ini maksudnya?” Tanya Meneer Wilhelm.

“Diam...,” sentak Kuncoro yang menahan sesak di dadanya, kini perang santet antara Mbah sriatun dan Kuncoro tengah berlangsung, belum juga sempat membalas, sosok wanita berambut panjang itu muncul dengan diiringi angin kencang yang masuk hingga membuka seluruh pintu yang ada di rumah Meneer Wilhelm.

Gadis berambut panjang dengan wajah yang sangat pucat itu mengatakan, “hentikan Kuncoro.”

“Siapa kamu?” Tanya Kuncoro kepada gadis itu.

“Aku Ratri, aku pemilik rumah ini dan aku pemilik perkebunan ini, mereka masuk ke dalam daftar balas dendamku...,” ujar wanita berambut panjang yang merupakan jelmaan dari Ratri.

Pakde Yanto yang tadinya duduk, melihat sosok itu dia bangkit dengan kaki yang gemetaran, “Ratri...,” ujar Pakde ketakutan.

“Bagus kamu mengenaliku Yanto,” lalu sosok itu hilang seperti hembusan angin, dengan suara ketawa yang melengking segera Kuncoro langsung merapikan altar yang dia susun tadi, dia tidak ingin melawan sosok yang bernama Ratri atau siapapun yang ada di belakangnya, karena dia tahu pagar gaib yang dia buat lagi bisa tembus untuk melukainya. Bagaimana kalau dia teruskan.

“Loh Ki Kenapa Ki...,” tanya Bagong.

“Alah urus dewe Meneer mu...,” ujar Kuncoro yang terus merapikan meja sesajen, tidak lama Meneer Wilhelm mengeluarkan sebuah pistol berjenis snaphaunce yang dia simpan di belakang bajunya, kemudian menembak Kuncoro dari belakang.

Duuarrr!!!!! suara tembakan itu melengking tajam dari dalam rumah Meneer Wilhelm, dari situ juga Pakde Yanto berusaha untuk menghindar terus-menerus agar tidak berurusan dengan Meneer Wilhelm. Beberapa hari mereka tampak tenang, tidak diganggu dengan sosok yang dikirimkan oleh Ratri dan hari-hari berikutnya Ratri hanya fokus kepada keberadaan tuan Han dan keluarganya, terkadang Ratri juga mengirimkan sesuatu ke rumah Simbok hanya untuk membantu perekonomian Darso walau, tidak banyak setidaknya itu cukup membantu untuk membesarkan Satrio putranya.

Masa sekarang.

Akhirnya Ratih benar-benar melepaskan istri tuan Han dan anak-anaknya, membiarkan mereka kembali ke kampung halaman, sementara tuan Han di rumah, selama itu pula Ratih diberi wewenang oleh Cipo untuk menjaga rumah nya dan memasak makanan untuk tuan Han walau sebenarnya pembantu di rumah mereka bukan hanya Ratih tapi, Cipo percaya kepada Ratih, Cipo meminta langsung kepadanya akan membantunya merawat suaminya.

“Ratih tolong ya, masakan suami saya, uruslah dia,” ujar Cipo yang datang ke rumah Ratih bersama anak-anaknya.

Ratih di situ hanya tertunduk diam, memikirkan apa Cipo ini terlalu Naif atau bagaimana, apa dia tidak cemburu akan kehadirannya dalam rumah tangga mereka.

“Lihat bagaimana nanti Ci,” ujar Ratih.

“Kalau kamu merasa tidak nyaman, kamu bisa bersihkan dan memasak setelah Tuan pergi,” ujar Cipo membujuknya, Ratih hanya mengangguk mengiyakan apa yang Cipo katakan. Selepas itu mereka pun berpamitan karena kapal mereka telah menanti keberangkatannya.

Awalnya memang seperti biasa Ratih datang agak kesiangan, selesai berberes rumah dia lanjut memasak dan menyiapkannya di meja makan, ditutupinya dengan penutup makanan, setelah selesai Ratih pulang karena dia tahu jam pulang tuan dari toko, sebisa mungkin dia tidak ingin bertemu dengan tuan Han. Namun, berbeda dengan Ratih karena beberapa hari dia tidak sempat menemui Ratih, akhirnya disengaja hari itu tidak berangkat bekerja dan menunggu Ratih di rumahnya. Gadis cantik kemayu itu yang mengenakan selendang, datang dengan membawa beberapa rantang makanan yang sebelumnya telah dia masak di ruma, mungkin rasanya lebih enak memasak di rumah dan membawakan lauk-pauk ke rumah tuan Han saja sehingga ,singkat waktunya untuk berada di rumah tuan Han.

Melihat kondisi rumah yang sepi tanpa curiga Ratih pun masuk ke dalamnya, dia meletakkan rantang yang dia bawa ke meja makan, lalu membuka selendangnya dan membuka jendela rumah namun, tanpa disangka tuan Han yang mendekatnya dari belakang.

“Ratih aku mmenunggumu...,” bisik lelaki itu kepadanya dengan kedua tangan memegang pundak gadis berbaju kebaya janur.

Mata Ratih berkaca-kaca, seakan-akan membenci lelaki yang dulu sempat dia cintai itu.

“Tuan tidak bisa memperlakukan aku seperti ini,” ujar Ratih menjauhkan badannya dari tuan Han.

“Kenapa?” tanya Tuan Han yang melepaskan tangannya dari pundak Ratih.

“Istrimu sedang hamil tuan dan kau ingin menghianatinya?” Tanya Ratih dengan berbalik badan.

“Dia tidak akan tahu selama kamu tidak membicarakannya,” sikap tuan Han membuat Ratih tersadar inilah dia Han Tjie Sien yang dulu di kenalnya, yang pintar merayu.

“Tidak, saya tidak mau melakukan itu,” ucapan Ratih yang kemudian mengambil selendangnya untuk segera pergi dari rumah tuan Han.

“Ratih, Ratih..., kamu tidak bisa memperlakukan aku seperti ini, aku tergila-gila kepadamu,” ucap tuan Han yang menahan Ratih untuk pergi.

Dengan senyuman yang licik Ratih pun menolehkan lagi dan berkata, “ apa kamu mencintaiku tuan?” tanya Ratih dengan nada mendikte, “apa kamu mau menceraikan istrimu untukku,” lanjut Ratih. “Apa kau mau meninggalkan anak-anakmu untukku?” jawab Ratih dengan lantang mengatakan itu di depan tuan Han. “Sampai kamu bisa menjawabnya, aku bersedia bersamamu...,” ucap Ratih yang akhirnya memilih pergi dari tempat tuan Han. Perasaannya memang bercampur aduk, satu sisi dia juga tidak tega kepada Cipo, dia ingat dengan akan pesan Simbah yang meminta untuk tidak menyakiti Cipo dan anak-anaknya walaupun, karma itu berlaku, mbah hanya mengingatkan fokus sakit hatinya kepada tuan Han yang memang tidak bisa cinta dan tulus kepada satu hati.

**pengumuman**

Terimakasih telah membaca karya horor misteri pertama saya, berhubung karya saya dengan judul DENDAM NYI RATRI akan segera cetak, jadi yang mau kelanjutannya silahkan membeli buku krya cetaknya secara online atau bisa PO di instagramnya SamuderaPrinting. Terimakasih

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Oct 01, 2024 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

Dendam nyi RatriTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang