16.The Truth

134 14 1
                                    

Greesel terbangun lebih awal, merasakan hangat sinar matahari yang menyelinap masuk melalui tirai jendela. Dia merasa segar dan bersemangat, namun kebiasaannya untuk mengecek ponsel segera mengingatkannya pada dunia di luar kamar villa ini. Dengan pelan, dia meraih ponselnya yang tergeletak di meja.

"Ah, aku matikan semalam," gumamnya, merasa sedikit cemas. Begitu dia menyalakan ponsel, jantungnya berdegup kencang melihat notifikasi yang berdatangan. Puluhan chat dan beberapa panggilan tak terjawab dari Cynthia menghampiri mata Greesel, membuatnya merasa seperti terjebak dalam gelombang rasa bersalah.

"Duh, Gimana ini?" pikirnya, rasa panik mulai merayap. Dia tahu Cynthia pasti khawatir, dan pesan-pesan itu pasti berisi pertanyaan yang menggugah rasa bersalah di dalam hatinya. Greesel berusaha menenangkan diri, tapi sulit untuk tidak merasa tertekan.

Sambil mengusap wajahnya, dia berpikir tentang apa yang akan dia katakan kepada Cynthia. Apakah harus jujur tentang kehadiran Michelle? Atau lebih baik dia berdiam diri dan mencari cara untuk meredakan situasi ini?

Ketika ia berusaha menenangkan pikirannya, dia mendengar suara berisik di sampingnya. Michelle mulai terbangun, menggeser-geser selimut. "Pagi, Greesel," sapanya dengan suara serak, senyum manis menghiasi wajahnya. "Apa yang terjadi?"

Greesel menghela napas panjang. "Pagi, Michelle. Aku baru saja mengecek ponsel. Ada banyak pesan dari Cynthia."

Michelle langsung merubah ekspresi wajahnya, dari bahagia menjadi serius. Ia menggigit bibir bawahnya, sedikit ketakutan terlukis di wajahnya. "Jadi gimana?" Tanya Michelle kemudian.

Belum sempat Greesel menjawab, ponselnya bergetar lagi, menambah rasa panik dalam dirinya. "Belum. Aku masih bingung harus bagaimana," jawabnya pelan, sambil mengalihkan pandangannya dari Michelle ke ponsel yang bergetar.

"Cynthia pasti merasa khawatir," kata Michelle lembut, mencoba menenangkan Greesel. 

Greesel mengangguk, merasakan berat di dadanya. "Aku tahu, tapi aku tidak ingin menyakiti hati siapapun," ujarnya dengan suara bergetar. Dia merasa terjebak antara cinta dan tanggung jawab.

Michelle mendekat, menggenggam tangan Greesel. "Apapun yang terjadi, aku di sini untuk kamu."

Hati Greesel sedikit tenang mendengar perkataan itu, tetapi keraguan tetap menggelayuti pikirannya. "Baiklah, aku akan menjawabnya. Semoga bisa menyelesaikan semuanya."

Setelah mengumpulkan keberanian, Greesel mulai mengetik balasan untuk Cynthia, merasa setiap ketikan di layar ponselnya adalah keputusan yang akan mengubah segalanya.

Greesel mengetik balasan singkat kepada Cynthia, "Aku ke rumah kamu ya," sebelum menekan kirim. Setelah itu, dia dan Michelle bersiap-siap, mengemas barang-barang mereka dengan cepat.

Saat mereka berjalan menuju stasiun bus, Greesel merasa cemas, langkahnya berat. "Aku benar-benar tidak tahu bagaimana cara menjelaskannya," keluhnya.

Michelle merasakan ketegangan Greesel. "Tenang saja, Greesel. Kita bisa menghadapinya bersama. Yang penting adalah kejujuran," katanya sambil menggenggam tangan Greesel, memberikan dorongan semangat.

Di dalam bus, Greesel terus memikirkan semua kemungkinan, sementara Michelle duduk di sampingnya, berusaha menenangkannya dengan mengingatkan momen-momen indah yang mereka habiskan bersama. "Ingat, apapun yang terjadi, aku di sini untukmu," bisiknya, membuat Greesel sedikit merasa lega.

Namun, rasa takut masih membayangi pikirannya saat bus mulai melaju, meninggalkan villa yang menyimpan banyak kenangan manis.

***

Sesampainya di stasiun, Greesel segera menuju ke mobilnya dengan langkah cepat. Hatinya berdebar, campuran antara cemas dan bersemangat. "Ayo, kita antar kamu pulang dulu," katanya kepada Michelle, berusaha terdengar tenang meski dalam hati bergejolak.

Campus YouthTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang