20. Menyerah

137 15 0
                                    

"Michelle ayo sarapan!" Teriak Marsha dari lantai bawah. Kini keluarga mereka sedang lengkap, kedua orang tuanya dapat cuti hari ini dan besok. Michelle turun kebawah dan mendapati kedua orang tuanya telah duduk di depan meja makan. Selama beberapa minggu terakhir Michelle menghabiskan hari hari nya dengan belajar dan menangisi Greesel. Namun hari ini ia merasa sedikit bahagia akhirnya keluarga kecilnya bisa berkumpul di meja makan lagi. Sejak ia kecil, Orang tua Michelle sangat cinta pada pekerjaan nya. Oleh karena itu sendirian di rumah sudah jadi kesehariannya.

Michelle duduk di hadapan kedua orang tuanya. Ayah dan Ibunya mentap Michelle dengan senyum kerinduan. Michelle merasa hangat di hati melihat senyum kedua orang tuanya. Momen sederhana ini membuatnya menyadari betapa berartinya kebersamaan mereka. "Wah..Mama masak apa pagi ini?" tanya Michelle sambil menatap meja yang dipenuhi berbagai hidangan lezat.

"Pancake kesukaanmu!" jawab Marsha ceria, mengangkat piring besar berisi pancake fluffy yang menggiurkan. "Dan ada buah-buahan segar juga."

Zean tersenyum menambahkan, "Kita harus memanfaatkan waktu ini sebaik mungkin. Jadi, apa rencana kamu hari ini, Michelle?"

Michelle terdiam sejenak, memikirkan kesedihannya tentang Greesel, pujaan hatinya yang telah mencampakkannya. Namun, melihat wajah penuh kasih orang tuanya, ia merasa dorongan untuk berbagi. "Aku...Mungkin kita bisa melakukan sesuatu bersama?"

"Mama setuju!" sahut Marsha. "Apa pun yang kamu inginkan Sayang, kita bisa melakukannya bersama."

Mereka bertiga mulai berbicara dan tertawa, merencanakan hari yang penuh keceriaan. Perlahan, Michelle merasa beban di hatinya mulai menghilang, dan harapan baru tumbuh di dalam dirinya. Meskipun pikirannya masih terbang ke arah Greesel, kehangatan keluarganya memberinya kekuatan untuk melangkah maju.

Zean tersenyum lebar, lalu berkata, "Bagaimana kalau kita pergi ke Funland? Sudah lama kita tidak bersenang-senang bersama. Ada banyak wahana yang seru dan makanan enak di sana."

Mata Michelle langsung berbinar. "Funland? Itu ide yang bagus, Pah! Aku sudah lama ingin pergi ke sana lagi sama kalian!"

Marsha mengangguk setuju. "Kita bisa bermain permainan, makan popcorn, dan menikmati waktu bersama. Itu pasti bisa membuatmu merasa lebih baik, Michelle."

Michelle merasa semangatnya kembali. "Ayo kita berangkat sekarang! Aku sudah tidak sabar!"

Marsha dan Zean tersenyum melihat putri semata wayang nya itu bersemangat. Meskipun sudah berumur 19 tahun, gadis itu tetaplah putri kecil mereka yang manja. Mereka berharap Michelle tetap bisa hidup tenang dengan cinta.

***

Setelah sarapan, mereka bersiap-siap dan segera meluncur menuju Funland. Dalam perjalanan, Michelle mulai melupakan kesedihannya dan membayangkan semua keseruan yang menantinya. Bersama keluarganya, ia merasa bisa melewati segala kesulitan.

Saat dalam perjalanan, Marsha tiba-tiba berkata, "Bagaimana kalau kita ajak sahabatmu, Cathleen, dan kakaknya, Thefano? Mereka pasti senang diajak!"

Michelle langsung bersemangat. "Iya! Cathy pasti akan suka! Aku akan menghubunginya sekarang juga!"

Zean mengangguk setuju. "Semakin banyak, semakin seru! Ayo, kita buat hari ini jadi hari yang tak terlupakan."

Michelle segera mengirim pesan kepada Cathleen, dan tak lama kemudian, Cathleen setuju. "Dia dan Thefano bisa datang! Mereka akan menunggu di depan Funland." Karena rumah Cathleen lebih dekat ke tempat itu.

Dengan perasaan ceria, mereka melanjutkan perjalanan. Ketika tiba di Funland, Michelle melihat Cathleen dan Thefano sudah menunggu dengan senyum lebar.

"Hey! Kita siap bersenang-senang!" teriak Cathleen, melambaikan tangan.

Mereka pun masuk kedalam taman ria itu. Saat Michelle sedang membeli tiket, Cathleen membisikkan sesuatu pada Thefano.

"Kakak jangan buat Michie sampai nggak nyaman, awas aja." Setelah itu Cathleen berjalan di depan bersama Michelle. Thefano hanya diam dan mengikuti kedua gadis itu dari belakang.

***

Michelle merasa hatinya dipenuhi kebahagiaan. Hari ini akan menjadi hari yang penuh keceriaan, dan bersama sahabat serta keluarganya, ia merasa siap menghadapi apa pun.

Hari itu, Michelle seakan bisa melupakan Greesel untuk sesaat. Taman hiburan dipenuhi tawa dan kegembiraan, menjadikannya tempat yang sempurna untuk bersenang-senang. Setelah berjam-jam bermain wahana, mereka pun duduk di restoran cepat saji, menunggu pesanan.

Saat menunggu, Michelle merasa perlu mencuci tangan. Ia pergi ke berjalan ke wastafel dengan santai dan tersenyum ketika menatap wajah cantiknya di cermin. Thefano menatap kepergian Michelle, kemudian menyusul gadis itu. Saat sedang fokus pada tangannya, tiba-tiba, Thefano muncul di sebelahnya, mencuci tangan dengan santai.

"Michie," kata Thefano, "aku tahu kenapa Greesel tinggalin kamu."

Dengan malas, Michelle menjawab, "Ya, karena Kak Cynthia. Apalagi emang?"

Thefano menghela napas, menampakkan ekspresi serius. "Tapi kamu nggak tahu kan apa yang sebenarnya terjadi sama Kak Cynthia?"

Michelle terhenti. Kata-kata Thefano menarik perhatiannya. "Apa?" tanyanya, penasaran.

"Kak Cynthia bakal meninggal dalam beberapa bulan lagi. Ia menderita penyakit ginjal kronis. Jadi sekarang, Greesel memilih untuk membahagiakan kekasihnya itu di sisa hidupnya. Jadi, menyerah lah saja, Michie. Jangan ganggu mereka. Kasihan Kak Cynthia. Kata dokter Gita, dia hancur banget waktu tahu kamu sama Greesel jalan ke pantai," jelas Thefano panjang lebar.

Kata-kata itu mengguncang hati Michelle. Ia merasa campur aduk antara sakit hati karena kehilangan Greesel dan empati terhadap Kak Cynthia.

"Jadi... itu alasan Greesel pergi?" Michelle akhirnya bertanya, suaranya nyaris bergetar.

Thefano mengangguk perlahan. "Aku tahu ini sulit untukmu. Tapi pikirkan juga perasaan Kak Cynthia. Dia sangat mencintai Greesel, dan sekarang dia sedang berjuang. Greesel juga mencintai kak Cynthia tapi kamu mengusiknya."

Michelle merasakan dadanya sesak. Air mata mengancam di ujung matanya, tapi ia berusaha menahan diri. "Aku tidak tahu. Tidak ada yang memberitahuku..."

Thefano melanjutkan dengan lembut, "Kamu punya hak untuk merasa sakit hati, tetapi berjuanglah untuk dirimu sendiri juga. Jangan biarkan dirimu terjebak dalam rasa sakit ini. Fokuslah pada kebahagiaanmu. Kamu cantik, banyak yang lebih baik dari Greesel yang menginginkan mu. Aku sendiri contohnya."

Michelle menatap Thefano, melihat ketulusan dalam matanya. Meskipun hatinya hancur, ia tahu bahwa ia harus berusaha untuk melanjutkan hidup. "Makasih, kak. Aku... aku akan mencoba."

Thefano tertawa lalu mengacak-acak rambut Michelle. " Kamu punya sisi baik juga ya. Aku kira kamu bakal nunggu Cynthia meninggal dan rebut Greesel lagi."

Michelle memberikan cubitan pada perut Thefano lalu meninggalkan pria itu dengan kesal.

Disamping itu, Michelle merasa saat untuk menyerah pada Greesel sudah di depan mata. Greesel bukan satu-satunnya manusia di dunia ini. Ia harus belajar membuka hati pada orang baru.

Setelah beberapa saat, Michelle kembali ke meja, di mana Cathleen dan Marsha sudah menunggu dengan makanan. Meskipun beban di hatinya masih ada, Michelle berusaha tersenyum dan menikmati momen bersama teman-teman dan keluarganya. Hari itu, setidaknya, ia berusaha untuk melupakan sejenak kesedihannya.

*****
To Be Continue


Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.
Campus YouthTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang