14. I Can't

169 18 0
                                    

Setelah meninggalkan rumah Michelle, Greesel merasa lelah dan bingung. Ia berjalan menuju kostan dengan langkah berat, pikirannya penuh dengan perasaan campur aduk. Setiap detik terasa lambat, wajah Cynthia dan kata-kata Michelle terus menghantuinya.

Sesampainya di kost, Greesel langsung mengunci pintu. Ia melemparkan tasnya ke sudut ruangan dan jatuh ke tempat tidur. Suasana di dalam kamar terasa sepi, menambah ketegangan di hatinya. Ia tahu harus fokus pada tugas dan proyek startup yang sedang dikerjakan, tetapi pikirannya terus melayang.

Setelah beberapa saat, ia membuka laptopnya. "Ayo, Greesel, fokus!" ucapnya pada diri sendiri. Tapi begitu dokumen terbuka, semua kenangan bersama Michelle muncul. "Kenapa sih harus ada semua drama ini?" gerutunya frustrasi. Ia tahu harus setia pada Cynthia, tapi perasaannya untuk Michelle terus mengganggu.

Ia meraih ponselnya, berharap bisa mengalihkan perhatian. Tapi setiap postingan di media sosial hanya mengingatkannya pada Cynthia dan Michelle. Rasa bersalah menyelinap di hatinya. "Kenapa semuanya jadi rumit gini?" pikirnya, mengusap wajahnya dengan frustrasi.

Setelah berjuang selama beberapa saat, Greesel menutup laptopnya lagi. "Ini ngga adil," keluhnya. Ia tahu harus berbicara dengan Cynthia, tetapi perasaannya untuk Michelle bikin semuanya semakin rumit.

Malam itu, Greesel tidak bisa tidur. Pikirannya berputar antara rasa cinta dan tanggung jawab. Ia merindukan saat-saat damai, sebelum semua kerumitan ini mulai datang. Dalam kegelapan kamar, ia berjanji pada dirinya untuk mencari jalan keluar.

***

Pagi pun datang dengan kepala berat. Greesel berusaha memaksakan diri untuk fokus. Setelah mandi dan menyiapkan sarapan, ia duduk di meja belajar. Tapi, saat dokumen terbuka, pikirannya melayang lagi. Kenangan manis bersama Michelle menghantui pikirannya, menggoyahkan tekadnya untuk berkomitmen pada Cynthia.

Tak lama, ponselnya bergetar. Pesan dari Cynthia masuk, "Kapan kamu bisa datang ke rumah? Aku ingin kita bicara." Greesel menatap pesan itu cemas. Dia tahu pertemuan ini penting, tapi terasa berat.

Dia membalas singkat, "Aku akan ke sana sore ini." Setelah mengirim pesan, Greesel mencoba berkonsentrasi, tetapi pikiran tentang Michelle terus mengganggu.

Sore itu, saat bersiap menuju rumah Cynthia, perasaannya campur aduk. Ia mengenakan pakaian rapi, berusaha terlihat baik, tapi jantungnya berdebar-debar membayangkan percakapan yang akan terjadi.

Sesampainya di rumah Cynthia, Greesel disambut senyum hangat meski mata gadis itu tampak lelah. "Sayang! Makasih udah datang," ucap Cynthia, menggenggam tangan Greesel erat.

"Gimana perasaanmu hari ini?" tanya Greesel, berusaha tenang.

"Lebih baik, tapi aku ingin kita bahas beberapa hal. Tentang kita... dan tentang Michelle," kata Cynthia, sedikit gugup.

Greesel menahan napas. "Oke, apa yang mau kamu bicarakan?" tanyanya hati-hati.

Cynthia menatap Greesel penuh harap. "Kamu udah ngga cinta sama Michelle lagi, kan?"

Greesel merasa jantungnya berdegup kencang. "Tentu saja ngga, Sayang. Aku udah move on," jawabnya, berusaha meyakinkan Cynthia. "Yang ada di pikiranku cuma kamu. Aku fokus untuk kita."

Cynthia tersenyum, tapi Greesel bisa melihat keraguan di matanya. "Kamu yakin? Karena aku ngga mau ada yang ngerepotin hubungan kita lagi."

"Iya, aku janji," Greesel berbohong, merasakan beban di dadanya. "Michelle itu masa lalu. Aku cuma mau sama kamu sekarang dan ke depan."

Cynthia tampak lebih lega, tetapi Greesel merasakan ketidaknyamanan. Ia berusaha mengabaikan perasaan bersalah yang menyergap. Ia ingin Cynthia merasa aman dan dicintai, tapi ia juga tahu perasaannya untuk Michelle belum sepenuhnya hilang.

Campus YouthTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang