Bab 13 : Ragu

10 3 5
                                    

Ketika jam istirahat tiba, mereka berempat pergi ke kantin untuk membeli makanan. Sejak tadi pagi, baik Sagara dan kedua anaknya yang lain, tidak Tamara berikan bekal seperti biasanya. Mereka hanya diberikan uang senilai seratus ribu rupiah bagi masing-masing orang.

Sekarang mereka sudah mendapatkan makanan yang mereka pesan setelah berdesak-desakan dengan lautan manusia.

"Anjay, mari kita makan!" Kevan mengambil sendok dan mulai memasukkan makanan ke dalam mulut, sepertinya anak itu benar-benar kelaparan.

"Kayak anak kelaparan aja," ujar Savalas.

Kevan mengangkat bahu tanpa berhenti mengunyah. "Ya emang, sih. Gue tadi pagi belum sempet sarapan apa-apa," jawabnya setelah menelan makanannya. "Makanya sekarang gue laper banget."

Savalas tak terlalu peduli. Ia mengaduk makanan di mangkuknya sebelum mengambil sesuap. "Kebiasaan banget lo gak sarapan."

Kevan mendesah, tapi tetap melanjutkan makanannya. "Gak sempet, weh. Bangun kesiangan tadi," ujarnya, sedikit cemberut. "Mana ada tugas yang belum gue selesain semalem, jadi tadi pagi buru-buru deh."

Savalas mengangguk, tanda berakhirnya percakapan. Mereka makan dalam diam untuk beberapa saat sebelum Kevan kembali membuka percakapan.

"Eh, lo ada PR Matematika buat besok, kan?" tanya Kevan di sela-sela suapannya.

Savalas menggeleng pelan. "Belum gue kerjain. Nanti malem gue coba."

Kevan mendengus kecil. "Gue udah nyicil tadi malem, tapi ya gitu deh. Gak yakin bener semua."

"Hm."

Kevan hanya mengangguk seraya mengambil gigitan terakhir dari makanannya. Setelah itu, ia bersandar di kursinya dengan napas lega. "Akhirnya... kenyang juga."

Setelah beberapa menit berlalu, Sagara yang duduk di sebelah mereka sudah selesai dengan makanannya. Ia membersihkan tangannya dengan tisu, lalu ikut nimbrung dalam obrolan Kevan dan Savalas.

"Eh, Val," panggil Sagara seraya menyandarkan tubuhnya di kursi. "Gimana kelanjutan novel lo? Udah sampai mana?"

Savalas yang sedang meneguk air minum langsung menghentikan gerakannya sejenak, kemudian menghela napas berat.

"Gak tahu deh, Bang," jawabnya, terdengar sedikit lesu. "Gue ngerasa tulisan gue biasa aja. Kayak gak ada yang menarik. Jadi agak stuck."

Kevan yang duduk di seberang menatap Savalas dengan heran. "Kok lo bilang biasa aja? Bukannya lo udah lumayan banyak progress-nya?"

Savalas mengangkat bahu, lalu menatap meja kosong di depannya. "Iya, sih. Udah beberapa bab, tapi setiap gue baca ulang, selalu aja ada yang kurang. Ceritanya kayak datar, gak ada yang bikin gue puas."

Sagara menyandarkan tangannya di meja, menatap Savalas dengan tajam. "Tapi kan proses nulis emang gitu. Lo gak bisa langsung puas dari awal. Yang penting terus maju. Banyak penulis juga ngalamin hal yang sama."

Savalas mengangguk pelan, meski raut wajahnya masih muram. "Iya, gue ngerti itu, Bang. Tapi entah kenapa, gue ngerasa kayak novel ini gak bakal diterbitin. Gue baca karya orang lain, selalu lebih bagus, lebih hidup. Gue gak yakin sama jalan cerita yang gue tulis."

Kevan mendesah, lalu menyikut pelan Savalas. "Ya lo jangan bandingin karya lo sama orang lain terus. Gimana mau puas kalau perbandingannya karya orang. Gue yakin lo punya gaya lo sendiri. Lo suka nulis karena itu kan hobi lo?"

Savalas terdiam sejenak, merenungkan kata-kata Kevan. "Iya, hobi gue. Tapi kadang mikir juga, apa gue harus seriusin ini? Maksud gue, buat jadi penulis beneran, ngirim naskah ke penerbit."

Another Side Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang