Bab 30 : Benang Kusut

4 3 6
                                    

Tamara berbaring di atas kasur, tubuhnya menghadap kiri, mencoba mencari kenyamanan di tengah kekacauan pikiran yang baru saja terjadi. Ruangan gelap gulita setelah listrik mendadak padam, menambah kesunyian yang menyelimuti. Suara perdebatan yang tadi menggelegar masih terngiang-ngiang di telinganya, meski kini berganti dengan keheningan yang menekan.

Dia memejamkan mata, berusaha meredam emosinya. Beberapa menit berlalu, dan dalam sunyi itu, terdengar bunyi klik. Listrik kembali menyala, lampu-lampu menerangi ruangan dengan cahaya lembut.

Sepertinya genset rumah akhirnya berfungsi, menyambungkan kembali aliran listrik yang tadi padam. Tamara tak bergeming, tetap diam dalam posisinya, membiarkan sinar lampu menghapus bayangan kegelapan di ruangan, tapi tidak di hatinya.

Seseorang mengetuk pintu dari luar.

"Tamara..." Suara itu terdengar pelan, namun cukup jelas di antara suasana yang kembali terang.

Tamara tidak menjawab, masih terhanyut dalam perasaannya sendiri.

Devian yang tak mendengar jawaban dari balik pintu, menghela napas pendek sebelum memutar gagangnya. Pintu terbuka perlahan, dan cahaya lampu menyinari Tamara yang masih terbaring membelakanginya, diam, seolah terlelap. Devian berhenti di ambang pintu, memperhatikan sosok istrinya.

Dia menghela napas berat, rasa pusing yang menghimpit kepalanya sejak kemarin makin terasa menusuk. Dengan tangan lelah, ia memijat pelipisnya, mencoba mengusir rasa sakit itu. Tanpa sepatah kata, Devian melangkah mendekat, duduk di tepi ranjang, hanya beberapa sentimeter dari tubuh Tamara.

Tatapannya jatuh pada istrinya yang terpejam damai, atau setidaknya terlihat begitu. Ia hanya duduk di sana, tak mengucap apa pun. Dalam diam, ia menatap Tamara dengan sorot mata yang dalam, campuran antara kekhawatiran, kelelahan, dan rasa sayang yang masih tersisa di balik segala kekacauan.

Setelah beberapa saat, Devian berdiri. Ia mengambil bantal dan gulingnya, berniat tidur di sofa malam ini. Sebelum benar-benar pergi, langkahnya terhenti di ambang pintu. Sekali lagi, ia memandangi postur tubuh Tamara, punggungnya yang membelakanginya seolah menegaskan jarak yang kian melebar di antara mereka.

Dengan pelan, Devian mematikan lampu, membiarkan ruangan kembali tenggelam dalam kegelapan.

Kenapa ini terjadi lagi pada rumah tanggaku? Batin Devian membuang napas berat.

Ia melangkahkan kaki menuju sofa. Tak berselang lama, Devian merebahkan kepalanya di sofa, tatapannya masih kosong menatap langit-langit. Pikirannya kembali melayang pada masalah lain yang terus menghantuinya.

Anak bungsunya itu, yang belakangan semakin sulit ditebak. Rasa khawatir Devian pada anaknya tak pernah pergi, terutama sejak kejadian penusukan terhadap Tamara.

Wajah pucat Savalas waktu itu, tubuhnya yang gemetar dan tak bisa bicara, masih terpatri jelas di benaknya. Devian menutup matanya, seakan berusaha mengusir bayangan itu, tapi ia tahu tak mungkin.

Savalas tak pernah benar-benar terbuka tentang apa yang dia rasakan. Anak itu selalu memendam semuanya, sama seperti Tamara. Devian merasa terpojok di antara keduanya, tak tahu bagaimana caranya menembus dinding yang mereka bangun.

Apa yang sebenarnya terjadi di kepala anaknya? Dia merasa gagal sebagai ayah karena tak bisa membantu Savalas melewati trauma itu. Anak itu masih begitu muda, tapi sudah dibebani oleh hal-hal yang seharusnya tak pernah ia alami.

"Kenapa harus terjadi sama kita?" gumam Devian lirih, suaranya penuh kelelahan.

Pikirannya berputar pada semua momen di mana ia melihat Savalas tersudut, seperti terkurung oleh rasa takut dan cemas yang terus menghantuinya. Apalagi setelah kejadian di rumah sakit, saat Savalas mengalami serangan panik.

Another Side Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang