Bab 15 : Putus Asa

5 3 1
                                    

Setelah kembali ke kantornya, Devian duduk di kursi besar di belakang meja kerjanya. Ia menghela napas berat, merasakan tekanan di kepalanya semakin kuat.

Tangannya bergerak memijat pelipis, mencoba meredakan pusing yang mulai datang. Pandangannya kosong menatap berkas-berkas pekerjaan yang menumpuk, meski pikirannya tetap memikirkan Tamara.

Thunder yang sedang berdiri tak jauh dari situ, memperhatikan perubahan di wajah Devian. Ia mendekat dengan ekspresi serius dan bertanya. "Bagaimana kondisi Nyonya sekarang, Bos? Saya lihat Anda kelihatan cukup tertekan."

Devian menoleh perlahan, lalu menghela napas lagi sebelum menjawab. "Penyakit bawaannya, Thunder. Asmanya yang sudah lama tidak kambuh, tiba-tiba kambuh lagi hari ini. Ditambah lagi, dia kena GERD yang membuat asmanya semakin parah. Untung ada ibu mertua yang menemani di rumah."

Thunder mengangguk, namun ia bisa merasakan beban yang lebih berat dari sekadar kesehatan Tamara. "Saya ikut prihatin, Bos. Kalau butuh bantuan atau waktu lebih lama untuk urusan keluarga, saya bisa atur beberapa hal di sini."

Devian tersenyum lelah, lalu berdiri dari kursinya. Ia berjalan perlahan ke arah jendela kantornya, menatap ke luar. Jalanan di bawah sana penuh dengan mobil dan motor yang bergerak tanpa henti, mencerminkan hiruk-pikuk kehidupannya selama ini.

"Aku ingin cepat-cepat lengser dari jabatan CEO, Thunder. Sebenarnya aku sudah lama berpikir soal itu. Rasanya aku banyak melewatkan momen penting sebagai suami dan seorang ayah."

Thunder menatap bosnya dengan serius, mencoba memahami lebih dalam maksud dari kata-kata itu. "Kenapa Bos tidak membicarakan hal itu dengan keluarga?"

Devian menggeleng, matanya masih fokus pada jalanan di luar. "Aku tahu, keluarga pasti mendukung. Tapi, selama ini aku terlalu fokus pada pekerjaan, sampai-sampai banyak momen yang aku abaikan."

"Saat Tamara butuh aku, aku sering tidak ada di sana. Saat anak-anak tumbuh besar, aku lebih sering ada di kantor daripada di rumah."

Ia menghela napas panjang, merasa semakin terbebani oleh kesadaran itu. "Tadi saat Tamara sakit, aku sadar. Apa gunanya semua ini kalau aku tidak bisa ada untuk orang-orang yang aku sayangi? Aku sudah melewati banyak momen penting."

Thunder terdiam, tak ingin memotong curhat Devian. Ia tahu bahwa kata-kata itu datang dari lubuk hati yang penuh penyesalan.

Devian melanjutkan dengan suara yang lebih pelan, seakan berbicara pada dirinya sendiri. "Ada satu lagi, Thunder. Anna. Dia sudah bertemu dengan istriku.

Thunder mengernyitkan alis, tidak terlalu paham sepenuhnya. "Maksud Anda, Anna yang di—"

"Ya, dia." Devian memotong dengan cepat. "Tapi Tamara belum tahu bahwa Anna adalah orang yang bertanggung jawab atas kematian janin-janinnya."

Thunder terdiam lebih lama. Ia tidak tahu bagaimana menanggapi kenyataan berat itu.

Devian memejamkan mata sejenak, merasa semakin lelah dengan pikiran-pikiran yang terus menghantuinya. "Aku takut, Thunder. Takut kalau Tamara tahu, semuanya akan berubah. Trauma itu bisa datang lagi, dan aku tidak tahu apa yang akan terjadi selanjutnya."

Thunder akhirnya bersuara, penuh kehati-hatian. "Itu pasti berat, Bos. Tapi mungkin lebih baik jika Anda terbuka dengan Nyonya, daripada semuanya terungkap dengan cara yang tidak terduga."

Devian mengangguk perlahan, tapi tetap menatap jalanan di luar, matanya tampak kosong. "Aku tahu, tapi aku tidak siap."

Devian masih menatap keluar jendela, matanya sedikit berair ketika mengingat kembali trauma besar yang dialami Tamara. Suaranya melemah ketika ia melanjutkan. "Trauma istriku itu besar, Thunder. Sangat besar. Kehilangan kedua janinnya membuatnya merasa hancur."

Another Side Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang