Bab 19 : Penyusupan

3 3 6
                                    

Rafael berdiri di dekat pagar tinggi, matanya menelusuri rumah mewah Devian dan Tamara. Rumah ini tidak hanya besar dan megah, tapi juga dijaga ketat. Kamera pengawas, penjaga di gerbang depan, dan patroli yang rutin membuat segalanya tampak mustahil bagi orang biasa. Tapi Rafael bukan orang biasa.

Mengeluarkan ponsel, ia mengecek ulang rencana. "Oke, waktu patroli bergeser tiga menit lagi," gumamnya pelan. Ia mengaktifkan jammer di tangannya, alat kecil yang mampu memutus sinyal kamera selama beberapa menit tanpa memicu alarm.

Setelah beberapa detik, ia bergerak ke sisi samping, memanfaatkan bayangan dari pepohonan besar. Tidak ada kamera yang mengarah langsung ke sana, hanya pagar besi tinggi dan semak-semak yang menutupinya. Rafael dengan cekatan memanjat, lalu mendarat tanpa suara di balik semak. Tangan terlatihnya merapikan pakaian sebelum berjalan dengan tenang menuju pintu samping.

Tak lama, pria itu mendekati pintu samping rumah, mengeluarkan alat pembuka kunci elektronik. Pintu yang biasa dilalui oleh para staf terbuka dalam hitungan detik. Ia masuk dengan tenang, tanpa sedikit pun suara. Di depannya, lorong menuju dapur sepi.

Dengan langkah hati-hati, Rafael memeriksa setiap sudut, memantau penjaga di dalam. Ia menempelkan alat penyadap kecil di dinding dekat tangga, mengaktifkannya.

"Jadi Tamara ada di lantai dua." Rafael bergumam pelan, mendengar suara dari alat penyadap.

Ia bergerak menuju tangga. Saat langkahnya semakin dekat ke ruang tamu, ia mendengar suara.

"Siapa di situ?"

Rafael langsung berhenti di balik dinding, merapatkan tubuhnya. Itu suara salah satu penjaga. Matanya menatap tajam ke arah cermin besar di dinding yang memantulkan bayangan samar. Penjaga itu terlihat semakin mendekat. Dengan tenang, Rafael menunggu. Penjaga berhenti sejenak, lalu kembali berpatroli ke arah depan.

Setelah situasi tenang, Rafael mendekati tangga, bersiap menuju lantai dua di mana Tamara berada tanpa meninggalkan jejak yang mencurigakan.

Saat ia bergerak lebih dalam, langkahnya terhenti ketika pintu salah satu ruangan terbuka, dan di sanalah Tamara berdiri.

Tamara memandang Rafael dengan mata terbelalak, namun bukan dengan rasa takut yang biasa dimiliki orang biasa. Dalam detik-detik sunyi itu, ada sesuatu di dalam diri Tamara yang terbangun—insting yang lama terkubur, naluri untuk bertahan dan menghadapi ancaman.

"Siapa kamu?" Suara Tamara terdengar tajam dan tegas, meskipun ada keraguan di baliknya.

Rafael tak langsung menjawab. Wajahnya menunjukkan keterkejutan yang cepat menghilang, lalu berganti menjadi senyuman menyeringai. Ia mendekati Tamara perlahan, menikmati ketegangan yang mulai mengalir di ruangan itu. Dengan satu gerakan cepat, ia menggamit dagu Tamara, memaksa wanita itu mendongak dan menatapnya langsung.

"Kamu lebih cantik dari yang kudengar," gumam Rafael. Suaranya rendah namun jelas, penuh dengan kesan meremehkan.

Tamara mencoba melawan, tangannya ingin melepaskan cengkeraman Rafael dari dagunya, tapi cengkeraman pria itu terlalu kuat. Matanya menatap tajam, tidak terintimidasi, tapi juga tidak bisa menghindar.

Rafael menelusuri wajah Tamara dengan tatapan dingin, menyerap setiap detail. "Aku sudah melihat banyak wanita, tapi ada sesuatu tentang dirimu," katanya lagi, suaranya terdengar seolah-olah ia sedang berbicara pada dirinya sendiri. Ia mendekatkan wajahnya, membuat jarak mereka semakin tipis. "Kamu tidak hanya cantik. Ada kekuatan di sana."

Tamara merasa darahnya berdesir, antara marah dan tersinggung, namun tubuhnya membeku sejenak. Ada sesuatu dari cara Rafael menatapnya. Bukan sekadar ancaman fisik, tapi sesuatu yang lebih dalam, sesuatu yang bermain dengan pikirannya.

Another Side Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang