Bab 2 : Momen Hangat

7 5 6
                                    

13.30

Siang hari itu, ruang tamu dipenuhi gelak tawa Kevan yang tak henti-hentinya menertawakan mereka bertiga. Setelah mendengar keluhan dari Sagara, Kevan sontak tertawa terbahak-bahak. Tak jarang, pemuda itu mengeluh sakit perut akibat tawa yang tak bisa ia hentikan.

Lihatlah sekarang. Kevan masih tertawa, berusaha menghentikan gelak tawa yang membuat ekspresi mereka bertiga menjadi masam.

"Aduh, Ya Allah. Ngakak gak kuat gue," ucap Kevan menyeka air matanya.

Sagara memutarkan kedua bola matanya, menanggapi Kevan dengan nada yang malas. "Puas lo ngetawain kita."

"Ahahaha, ya puas, dong!" sahut Kevan dengan cepat. Tawa Kevan masih terdengar sedikit, ia merapatkan bibirnya sejenak agar tidak kembali tertawa. "Habisnya, sih. Kalian kenapa ngide buat nyolong mangga? Udah tahu bakal dikejar, masih aja naikin tangga."

"Tahu tuh, Savalas yang ngide. Gue gak nyolong, malah ikut dijewer Mama," ketus Sagara dengan sengaja menyindir orang di sebelahnya.

Sementara itu, Savalas hanya mendelik tajam. Hei, dia hanya memberikan ide, tidak mengharapkan Shaga untuk langsung mengambil tangga.

Ia terlalu malas untuk membela diri. Pemuda itu kembali menikmati makanan ringan yang sengaja Kevan taruh di atas meja.

"Hei, gak garing apa kalian? Gabut aku, nyalain TV dong. Cari hiburan, kek." Shaga menguap. Ia menutup mulutnya dengan tangan, lantas memberikan tatapan bosan.

Kevan mengangguk. Ia langsung berdiri dan mengambil remote TV tanpa banyak bicara. Dia menekan tombol power, dan layar TV pun menyala.

Kebetulan, saluran yang muncul adalah berita kriminal. Seorang reporter dengan nada serius sedang melaporkan kejadian pencurian dan pemerkosaan yang terjadi di sebuah wilayah. Potongan video rekaman CCTV ditampilkan, memperlihatkan seseorang yang terlihat mencurigakan di sekitar TKP.

"Kasus makin parah ya, udah berani aja mereka," gumam Sagara, suaranya terdengar lebih berat dari biasanya. Dia menatap TV dengan serius, seperti menganalisis setiap detail yang disampaikan berita itu.

"Orang kayak gitu pantes nya dihukum berat." Savalas menambahkan dengan nada datar, masih menatap lurus ke layar. "Tapi biasanya cuma dapet potongan hukuman atau malah kabur."

Kevan yang duduk kembali di kursinya, tersenyum tipis tanpa alasan jelas. "Iya, hukum kadang gak jelas. Korban yang lebih sering menderita."

Shaga menghela napas, matanya masih setengah tertutup karena mengantuk.

"Kadang aku ngerasa dunia ini udah gila, tapi kenapa beritanya selalu gitu-gitu aja ya? Gak ada yang beres," ujarnya dengan nada setengah malas.

"Lo mau nunggu berita yang kayak gimana, Bang?" Savalas menyahut dengan nada sarkastis. "Kalo gak begini, beritanya paling soal gosip selebriti. Sama aja gak penting."

Shaga mengangkat bahu, tak peduli. "Seenggaknya lebih ringan dari berita kriminal kayak gini. Gak nambah beban pikiran."

Kevan hanya mengangguk pelan, tampak berusaha setuju, meskipun sebenarnya dia lebih memilih diam dalam situasi ini. Beberapa detik kemudian, dia kembali meraih remote dan mulai mengganti saluran, mencari sesuatu yang lebih ringan seperti yang diinginkan Shaga.

Begitu channel di ubah, saluran menayangkan film horor yang memperlihatkan suasana malam di sebuah rumah tua. Hujan deras mengguyur, dan petir sesekali menyambar, menerangi wajah karakter yang tampak ketakutan. Suara musik latar yang menegangkan mulai mengisi ruangan.

Shaga menguap lagi, tapi kali ini matanya terbuka lebar.

"Eh, film apa ini? Kayaknya seru deh," ucap Shaga, semangatnya tiba-tiba muncul.

Another Side Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang