Bab 12 : Siapa Dia?

5 3 5
                                    

Keesokan harinya, ketika mobil berhenti di depan gerbang sekolah, pintu belakang perlahan terbuka. Sagara turun lebih dulu, wajahnya tenang, meskipun tatapan dari beberapa siswa di sekitar sudah mulai terasa.

Shaga dan Savalas mengikuti, semuanya menjaga jarak dengan sopan satu sama lain. Sang sopir keluar sebentar, membungkukkan kepala sebagai tanda hormat pada keluarga itu.

"Terima kasih, Pak." Sagara mengangguk singkat, membalas penghormatan sang sopir dengan sopan.

Setelah itu, dia melangkah masuk gerbang dengan adik-adiknya mengikuti di belakang, berjalan tenang seakan tak ada yang memperhatikan mereka. Namun, jelas terlihat beberapa murid lain yang berdiri di sekitar pintu gerbang menoleh, berbisik pelan di antara mereka.

"Kenapa sih? Pake diliatin segala," bisik Shaga, sedikit canggung.

"Cuek aja. Anggap mereka monyet," jawab Sagara dengan santai.

"Waduh, gak monyet juga kali, Bang," gumam Shaga menimpali jawaban Sagara.

Saat mereka memasuki kelas, suasana berubah. Kevan yang duduk di kursinya, sudah menunggu dengan senyum jahil yang terpasang di wajahnya. Tanpa ragu, dia langsung berdiri dan menghampiri Savalas yang posisinya paling dekat dengannya. Tangan Kevan dengan cepat merangkul bahu Savalas, menariknya sedikit lebih dekat.

"Eh, Savalas! Serius deh, enak banget ya kalian diantar jemput sama sopir." Kevan menggoda dengan nada jahil. "Jadi kayak anak-anak pejabat gitu, loh. Udah gitu, tinggal jalan sambil disambut tatapan kagum. Wih, keren banget."

Savalas hanya melirik Kevan sekilas, matanya setengah tertutup seakan tak terlalu peduli.

"Apaan coba? Gitu doang," sahut Savalas menepis tangan Kevan yang merangkulnya.

Kevan tertawa kecil, tak berhenti begitu saja. "C'mon, man! Nanti sore dijemput lagi kan? Aduh, gue iri banget. Beda lah sama gue yang tiap hari rebutan tempat di bus sekolah."

Sagara hanya melirik mereka sebentar dari sudut matanya, tapi tak mengatakan apa-apa. Dia terlalu sibuk mengeluarkan buku-bukunya, tak terganggu dengan candaan Kevan yang sudah biasa ia dengar.

"Makanya sewa sopir," celetuk Savalas tak terlalu peduli dengan keluhan Kevan. Di sampingnya, Shaga baru saja menyimpan tas dan duduk di bangku.

Ia menguap dan meregangkan otot-ototnya, siap untuk mencari posisi ternyaman untuk tidur. "Aduh, tapi enak juga, sih. Gak perlu jalan kaki lagi kayak waktu itu. Enak, mana ada AC pula."

Mendengar hal itu, Kevan menarik salah satu kursinya bersama Sagara untuk bisa berinteraksi lebih dekat bersama mereka. Ia dengan senyum lebarnya terlihat bersemangat mendengarkan cerita Shaga. "Terus? Terus? Gimana lagi? Aelah, bisa nebeng, gak, sih?"

"Si anjir, bangku gue," protes Sagara. Pemuda itu duduk di bangku depan, membalikkan kursi ke belakang agar ia bisa leluasa bercengkrama dengan adiknya. "Gak ada nebeng nebeng, ya. Bayar."

"Idih, apaan perhitungan jadi sahabat." Kevan mendelik tajam, membuat Sagara hanya melemparkan tatapan datar.

"Emang lo sahabat gue?" Sagara melemparkan pertanyaan menusuk, yang tentu saja membuat Kevan mengubah ekspresi wajah dengan cepat.

"Oh gitu, fine. Gapapa gue gapapa sumpah, udah biasa," balas Kevan.

Mendengar hal itu, Sagara hanya bisa menggeleng-gelengkan kepala dengan reaksi Kevan. Toh, mereka sudah biasa dengan jokes seperti ini.

Kevan yang semulanya masih kesal, tiba-tiba menangkap sesuatu yang menarik di sudut mata. Savalas sedang asyik menggambar di bukunya. Kevan memperhatikan lebih dekat, dan ternyata gambar itu adalah wajah seorang perempuan.

Another Side Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang