Bab 1 : Buah Mangga

14 5 15
                                    

Mereka bertiga berlari di jalan setapak yang penuh kerikil, tanpa alas kaki. Shaga berada di depan, sesekali menoleh ke belakang seraya mencengkeram sandalnya di tangan. "Cepet! Kita harus lari secepat mungkin, Bang!"

Sagara yang berada di tengah, wajahnya kesal seraya menggerutu. "Kenapa sih? Ini ide kalian berdua, tapi gue juga kena getahnya! Gue gak ngapa-ngapain, loh!" Dia tetap berlari, meskipun omelan itu terus keluar dari bibirnya.

Savalas di belakang, sedikit tertinggal, tapi tetap memaksa kakinya bergerak lebih cepat. Dia sempat menoleh ke belakang, dan dengan suara panik ia memberitahu mereka berdua. "Orangnya masih ngejar, Bang! Sekarang dia bawa sapu sama buah Mangga di tangan kirinya!"

Sagara menoleh sedikit dengan tatapan sebal. "Kenapa juga harus sapu?! Apa dia pikir kita debu atau gimana?!" Namun meski kesal, kakinya tidak berhenti bergerak, terus melangkah cepat mengikuti irama lari Shaga.

Shaga menyahut dengan tawa pelan yang tidak bisa ia tahan lagi, meski keringat mulai menetes di dahi. "Mungkin iya, Bang. Ahahahha, udahlah. Cepetan lari!!"

"Ah, curut! Awas aja kalian di rumah!" sewot Sagara terus memaksakan kakinya untuk berlari, tidak mengizinkan tubuh mereka untuk istirahat meskipun organ paru-paru sudah memberi sinyal pada otak agar mereka berhenti sejenak.

Beberapa saat kemudian, mereka tiba di rumah setelah berlari tanpa henti. Begitu pintu rumah terbuka, mereka bertiga langsung tiduran di lantai yang dingin, menikmati sensasi sejuk yang menyelimuti tubuh mereka yang dipenuhi keringat.

"Aduh, ini enak banget." Savalas berkata seraya menyeka keringat di dahinya. "Udah, biarin aja di sini. Gak mau gerak lagi."

Shaga hanya mengangguk setuju, terlalu lelah untuk menjawab. Tubuhnya benar-benar tepar, keringatnya mengalir dari pelipis ke leher, menyerap ke baju.

Sagara yang biasanya lebih vokal, hanya bisa mendengus sebal. "Kena juga gue. Gara-gara ide lo berdua."

"Makanya lari terus." Shaga menggumam pelan, setengah sadar.

Dari arah dapur, Tamara yang sedang menyiapkan minuman menoleh. Melihat ketiga anaknya tergolek di lantai, dia buru-buru menghampiri mereka dengan tangan di pinggang, lalu menegur.

"Eh, kalian ngapain tiduran di lantai?" Suara Tamara terdengar sedikit keras, tapi penuh perhatian. "Kalian bisa masuk angin. Bangun, bangun."

Ketiganya merespons dengan keluhan kompak. "Aduh, Ma..."

Tamara hanya menghela napas, lalu menyuruh mereka bangun dengan nada lebih lembut. "Ya udah, kalau capek, mending istirahat di kamar. Jangan di sini. Masuk angin nanti. Udah keringetan begitu, tambah gak enak badan, loh."

Shaga mencoba bangun, meski beberapa saat kemudian kembali tiduran. "Dikit lagi, Ma. Dingin, nih. Enak buat tiduran."

Savalas menambahkan. "Setuju. Cuman bentar doang, Ma."

Tamara tersenyum kecil melihat mereka kelelahan. Ia tertawa pelan dan kembali bicara.

"Kalau kalian mau dingin, ya mandi dulu, biar segar. Nanti Mama buatin es teh, tapi kalian gak boleh tidur di lantai."

Sagara akhirnya mengalah. "Oke deh, es teh. Tapi mandinya bentar lagi."

"Iya, deh. Ya udah, Mama buatin es teh, ya," ucap Tamara berbalik arah hendak menuju dapur.

Ketika Sagara, Shaga, dan Savalas akhirnya mengumpulkan tenaga untuk menuju ruang makan, harapan untuk segera meneguk es teh segar buatan Tamara menjadi motivasi utama mereka. Mereka berjalan gontai dengan tubuh yang masih sedikit lemas.

Namun, tiba-tiba terdengar suara ketukan di pintu depan, cukup keras dan tegas. Tamara yang tadinya hendak kembali ke dapur berbalik arah, pandangannya segera tertuju pada pintu itu. Dia melangkah untuk membukakan pintu.

Another Side Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang