Bab 25 : Hancur dari Dalam

4 3 5
                                    

Sagara duduk di bangkunya dengan kepala tertunduk, bolpoin di tangannya cuma diputar-putar tanpa tujuan. Pandangannya sesekali melirik bangku di depan, ke arah Shaga dan Savalas. Shaga sibuk dengan bukunya, sementara Savalas tertidur, wajahnya masih tampak pucat.

Kevan datang menghampiri, duduk di samping Sagara dengan ekspresi penasaran. "Lo kenapa, Gar? Dari tadi mukanya kusut banget."

Sagara mendesah, menatap kosong ke arah papan tulis, kemudian memutuskan untuk buka suara. "Kemarin ada yang nusuk perut nyokap gue," jawab Sagara. Matanya sekali lagi melirik ke arah Savalas yang masih tertidur. "Gue gak bisa lupa kejadian itu. Semuanya berantakan."

Kevan terkejut. "Nusuk? Seriusan? Siapa yang nusuk?"

Sagara menggeleng pelan. "Gak tahu siapa. Yang jelas, gue sama Shaga panik setengah mati, tapi Savalas..." Ia berhenti sejenak, suaranya sedikit bergetar saat menyebut nama adiknya. "Gue baru pertama kali liat dia setakut itu. Dia gemeteran, gak bisa ngomong. Gue bener-bener gak tau harus ngapain."

Kevan menatap Sagara dengan mata penuh simpati, tahu kalau temannya ini sedang membawa beban berat. "Gila, Gar... berat banget itu."

Sagara menunduk, mengusap wajahnya dengan tangan yang gemetar. "Gue beneran down. Rasanya kayak semua masalah bertubi-tubi terus dateng ke keluarga gue. Gak ada habisnya."

Kevan hanya bisa menepuk bahu Sagara dengan pelan, tidak tahu harus berkata apa. Dia tahu, untuk saat ini, mendengarkan mungkin adalah yang terbaik.

Sagara menghela napas berat, melanjutkan curhatannya. "Gue bener-bener gak habis pikir. Dari awal keluarga gue hancur, semuanya kacau. Terus waktu akhirnya kita bisa kembali bareng lagi, tetep aja berat. Masalah gak pernah berhenti. Satu kelar, eh dateng lagi masalah baru."

Kevan mendengarkan dengan serius, matanya terus tertuju pada Sagara yang semakin tenggelam dalam emosinya.

"Waktu bokap balik lagi, gue kira bakal lebih baik." Sagara melanjutkan, suaranya terdengar lebih rendah. "Tapi enggak. Semua tetep berat. Dari hubungan Savalas sama bokap gue, kesehatan nyokap, terus ada aja yang bikin kita jatuh lagi. Gue kadang gak ngerti, kenapa masalah selalu datang ke keluarga gue, bertubi-tubi gitu."

Kevan mengangguk pelan, mencoba memahami perasaan temannya. "Gue ngerti, Gar. Berat pasti rasanya. Tapi lo sama keluarga lo udah kuat banget, bisa bertahan sejauh ini."

Sagara menggeleng, kepalanya tertunduk. "Kuat apaan? Gue ngerasa kayak berantakan, anjir. Savalas kemarin kayak gitu, gemetaran, gak bisa ngomong, gue panik tapi nggak bisa nolong dia. Shaga juga gak tau harus ngapain. Kita semua kayak... rusak dari dalam."

Kevan menatap Sagara lebih dalam, melihat beban yang jelas terpampang di wajah temannya itu. "Gue ngerti lo capek, Gar. Tapi inget, lo gak sendirian. Masalah lo berat, iya, tapi lo punya keluarga lo, lo punya gue juga."

Sagara mengangguk pelan, meski wajahnya masih kusut. "Kadang gue mikir kenapa harus kita yang kena terus? Kenapa keluarga gue? Gue capek ngadepin semua ini."

Kevan menghela napas, menepuk bahu Sagara lagi. "Itu hidup, Gar. Kadang memang kejam banget. Tapi lo udah nunjukin kalau lo kuat, keluarga lo kuat. Dari yang lo ceritain, gue tau lo semua udah ngadepin banyak hal. Tapi kalian nggak pernah nyerah."

Sagara hanya bisa diam, terjebak di dalam perasaannya yang campur aduk. Kevan mendesah, lalu bicara lagi dengan lebih pelan. "Lo inget kan, lo selalu bilang lo pengen jaga keluarga lo? Lo udah lakuin itu. Gue tau gak mudah, tapi percayalah, lo masih bisa ngelewatin ini."

Sagara menarik napas panjang, mencoba mengusir rasa berat yang menghimpit dadanya. "Gue cuman gak tahu lagi gimana caranya biar bisa ngelewatin semua ini."

Another Side Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang