Bab 22 : Jeratan Sunyi

3 3 2
                                    

Di sebuah ruangan megah yang dipenuhi dengan dekorasi klasik dan mewah, Rafael duduk santai di sebuah kursi besar berlapis kulit. Anna memasuki ruangan, senyum tipis tersungging di wajahnya saat melihat Rafael sudah menunggu.

Rafael mengangkat kepalanya, menyambut kedatangan Anna dengan pandangan tenang. "Aku sudah bertemu dengan wanita itu." Suaranya datar, tapi ada sedikit nada puas yang terselip.

Anna menghampiri dengan alis yang terangkat penasaran. "Oh? Lalu, bagaimana hasilnya?"

Rafael tersenyum tipis, matanya berkilat dingin. "Aku menusuknya dengan pisau. Dia bukan wanita pada umumnya, Anna. Ada sesuatu yang berbeda darinya. Sesuatu yang membuatnya menarik." Ia terdiam sejenak sebelum melanjutkan, "Dan dia cukup cantik, terlebih lagi bola matanya. Tatapannya begitu tajam."

Mendengar itu, Anna tertawa, sebuah tawa ringan namun penuh ejekan. "Apa-apaan ini, Tuan? Kau jatuh cinta dengan musuh kita?" canda Anna, matanya menyipit penuh hiburan.

Rafael tidak langsung menjawab, namun perlahan mengangguk, ekspresinya tetap tenang. "Ya."

Anna terdiam, meski hanya sejenak. Kejutan menyelinap di wajahnya, meskipun dia segera menutupi hal itu dengan senyum tipis. "Tunggu, tunggu... Kau serius?"

Rafael menatap Anna, bibirnya melengkung ke dalam senyuman tipis yang ambigu. "Aku bilang aku menyukainya. Tapi bukan seperti itu," jelasnya, dengan nada yang hampir memancing rasa penasaran. "Bukan rasa suka yang normal, Anna. Tamara memiliki sesuatu yang membuatku tertarik, tetapi hanya karena itu menantang. Itu membuatku ingin mengendalikannya."

Anna mendengar penjelasan itu dan mengangguk, memahami maksud Rafael. Dia tersenyum sinis. "Tentu saja, tipikal Anda sekali," gumamnya. "Wanita tangguh selalu menarik bagi pria dengan pikiran seperti itu."

Rafael menegakkan duduknya, menatap Anna dengan serius. "Tamara belum selesai. Aku harus melanjutkan rencana selanjutnya. Menyelesaikan yang telah ku mulai."

Anna memiringkan kepalanya sedikit, senyumnya tetap tak pudar. "Dan apa yang akan kau lakukan?"

"Menyekapnya," jawab Rafael singkat. "Dia harus diisolasi, agar aku bisa lebih mudah memanipulasinya. Dia tak akan bisa melawan kalau terkurung, dan dari sana kita bisa membuatnya benar-benar takluk."

Anna tertawa kecil lagi, kali ini dengan lebih leluasa. "Anda benar-benar menikmati ini, ya?" tanyanya dengan nada menggoda.

Rafael hanya tersenyum samar, matanya kembali fokus pada pisau di tangannya. "Tentu saja. Segalanya akan berjalan sesuai rencana."

Anna menyunggingkan senyum miring, matanya berbinar dengan kepuasan. "Kalau begini, Devian pasti akan semakin tertekan dari dalam," ujarnya, suaranya terdengar penuh perhitungan. "Semakin banyak tekanan yang kita berikan, semakin besar peluang kita."

Rafael mengangguk pelan, meskipun sorot matanya terlihat sedikit terganggu. "Aku cukup kesulitan untuk menyuruh bawahanku menculik Tamara. Wanita itu lebih tangguh dari yang kubayangkan. Bahkan, aku hampir kalah saat mencoba mengalahkannya. Dia berhasil menyeimbangkan pergerakannya meskipun sudah terluka."

Anna menatap Rafael dengan alis terangkat, terkesan mendengar cerita itu. Tapi tiba-tiba, seberkas ide melintas di kepalanya, membuat senyumannya semakin lebar. "Mungkin kita harus menunda rencana ini untuk sementara waktu."

Rafael menatap Anna dengan penuh pertanyaan. "Menunda? Untuk apa?"

Anna menyilangkan tangannya, bersandar di kursi dengan santai. "Berikan mereka jeda sebentar. Biarkan Devian dan keluarganya bergulat dengan masalah yang sudah kita timbulkan. Kita sudah cukup berhasil memporak-porandakan keseimbangan mereka, terutama Devian."

Another Side Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang