Sudah tiga tahun sejak kejadian itu berlalu. Kini Zora sudah memasuki kelas dua di Sekolah Menengah Atas.
Mae dan juga Vio pun sekelas dengannya. Mereka selalu bersama kemanapun mereka pergi. Sifat bully dalam diri mereka pun sudah dihilangkan dengan paksa. Karena Elano yang sudah pindah saat Zora dan sahabatnya kelas tiga semester akhir maka sifat kasar itu pun juga ikut menghilang.
Benar kan? Dari dulu Zora sudah bersumpah untuk membuat Elano pindah atau menghilang dari hadapannya. Dan saat laki-laki pergi, pembullyan di SMP nya dulu juga ikutan pudar. Zora hanya membully Elano dan beberapa siswa siswi yang dulu menertawakannya.
Sekarang ia ingin hidup tenang di SMA ini. Ia bahkan selalu tersenyum menyapa hangat jika ada yang berpapasan dengannya.
Namun itu sudah satu bulan yang lalu. Sejak kedua orangtuanya meninggal, senyuman Zora menurun drastis. Amarah gadis itu menjadi tidak stabil. Ia tidak mempunyai saudara dan para kerabatnya seolah-olah buta akan keberadaannya yang butuh pertolongan.
Zora menjual rumahnya untuk memenuhi kebutuhan hidup dan juga membayar biaya sekolah. Sebagai pemasukan, ia juga bekerja paruh waktu disebuah kafe yang dekat dengan tempat tinggalnya sekarang.
Ia menyewa sebuah apartemen kecil yang tempat tidur, dapur dan ruang tamu hanya dibatasi dengan sekat pembatas. Kamar mandinya juga kecil tidak seperti dirumahnya yang dulu. Yaa untuk harga yang murah kenapa harus berharap lebih? Zora sangat bersyukur masih ada tempat untuk ia tidur. Lagipula disini juga nyaman.
Sepulang sekolah Zora harus segera bersiap untuk pergi ketempat ia bekerja hingga larut malam. Ia sama sekali tidak bisa istirahat dan nilainya selalu menurun karena jarang belajar.
Setelah pulang dari kafe dia langsung mandi dan tidur, jadi ia sama sekali tidak bisa belajar. Zora sering sekali ditegur oleh gurunya masalah nilai hingga membuatnya frustasi. Ditempatnya ia bekerja juga tidak ada hari libur, dan kalau mengambil cuti lebih dari tiga hari maka gajinya akan dipotong.
Saat ini Zora tengah melamun dikelas. Waktu istirahat sudah tiba sepuluh menit yang lalu dan ia memilih untuk tetap dikelasnya saja. Perutnya yang selalu berbunyi nyaring itu pun ia hiraukan. Bukannya tidak ada uang, Zora harus berhemat untuk mencukupi kehidupannya.
"Nih makan" Mae datang dengan membawa semangkuk bakso ditangannya. Vio juga menyusul dibelakang membawa minuman.
Zora melirik kedua sahabatnya. Mereka begitu peduli. Tapi Zora merasa seperti merepotkan mereka.
"Kenapa mesenin gue? Gue kan gak minta" ucapnya.
"Gue yang mau, sekarang lo makan" ucap Vio.
"Gue gak laper-" ucapan Zora terpotong karena bunyi perutnya yang nyaring. Kedua sahabatnya tertawa melihat itu.
"Buruan makan, kasian perut lo" ucap Mae.
Tangan Zora bergerak untuk mengambil mangkuk itu dan mulai menyantap baksonya sampai habis. Setelahnya ia pergi ke kantin untuk mengembalikan mangkuk itu.
"Zo, jadi kan belajar nanti? Nilai lo benar-benar yang paling rendah dikelas kita" Zora dikejutkan oleh teman sekelasnya bernama Samuel yang muncul dan bertanya tiba-tiba saat ia akan kembali ke kelas.
"Maaf Sam gue harus kerja, bulan ini gak bisa ngambil cuti" jawab Zora.
"Gue gak mau tau pokoknya lo harus belajar nanti sepulang sekolah" ucap Samuel tegas lalu pergi begitu saja.
Zora menghembuskan nafasnya kasar. Cowok itu pemaksa dan kenapa juga gurunya meminta Samuel untuk mengajarinya alias menjadi guru les. Padahal Zora tidak meminta. Ia tau kalau Samuel adalah siswa terpandai dikelasnya, namun untuk menjadi guru les Samuel sama sekali tidak pantas. Cowok itu terlalu pemaksa dan setiap belajar dengannya, jamnya selalu lama.
>>>
Waktu pulang sekolah tiba. Zora sudah berniat untuk kabur menghindari Samuel namun pelariannya itu harus gagal.
Samuel mencekal pergelangan tangan Zora lalu menariknya menuju parkiran. Ia menyuruh Zora untuk segera naik keatas motor besarnya. Mereka akan belajar di apartemennya gadis itu.
Bangunan ini sangat kecil bagi Samuel. Mungkin dua puluh persen dari rumahnya. Zora menyuruhnya masuk. Samuel melihat tidak ada sofa diruang tamu, hanya ada tiga buah beanbag dan meja kecil yang beralaskan karpet disana. Ia kemudian duduk disalah satu beanbag itu. Lumayan nyaman baginya.
Karena selama ini, mereka selalu belajar di perpustakaan ataupun kafe yang sepi pengunjung supaya bisa lebih konsentrasi.
Zora pergi ke dapur untuk membuatnya minuman. Selain pemaksa Samuel juga sangat perduli dengan nilai-nilai teman sekelasnya. Apalagi Zora, gadis itu nilainya sangat menurun jauh dari KKM.
"Lo gak pahamnya bagian mana?" Tanya Samuel mengawali les kali ini.
"Semua" jawab Zora singkat.
Samuel menghembuskan nafasnya, ia dengan sabar memberi penjelasan inti yang akan langsung dipahami gadis itu.
"Ngerti?" Tanyanya.
Zora mengangguk. Ia kemudian menatap bukunya kembali, membacanya lagi supaya lebih paham.
Samuel memperhatikan wajah cantik itu. Zora itu cantik. Rambutnya lebat dan panjang yang ditata gaya butterfly itu sangat serasi dengan wajahnya. Bulu mata gadis itu juga panjang dan lentik. Kulit putih bersih tanpa ada bekas luka sedikitpun. Samuel membasahi bibirnya saat melihat bibir kecil Zora bergerak ke kanan dan ke kiri.
"Yang ini gimana?" Lamunan Samuel menghilang saat Zora menanyakan sebuah soal yang menurutnya sangat sulit. Ia pun menjelaskan kembali dan Zora mengangguk-angguk paham.
Samuel memperhatikan apartemen Zora. Diruangan ini bagian dapur dan kamar hanya ditutupi sekat pembatas. Sekat pada bagian dapur berupa kayu panjang sampai atap plafon yang diberi jarak. Dan sekat pada kamar gadis itu berupa rak buku, tingginya hampir menyentuh plafon. Kamar gadis itu berisi kasur kecil tanpa ranjang, yang dibaluti spray putih dan selimut warna hijau yang acak-acakan. Terdapat dua bantal juga yang warnanya sama dengan selimut. Samuel bisa melihatnya dengan jelas karena hanya tertutup oleh sekat tanpa pintu.
Ia juga melihat ke arah dapur. Dari tempatnya ia duduk sudah dipastikan kalau dapur itu benar-benar bersih dan terawat. Diruang tamu ini tidak ada televisi, hanya ada AC yang tertempel didinding tepat diatasnya. Tak ada foto ataupun lukisan yang menghiasi dinding itu.
Kegiatan belajar mereka berlangsung selama tiga jam. Selepas Samuel pergi Zora merasa lemas, otaknya dibuat bekerja lagi setelah bersekolah.
Waktu masih menunjukkan pukul 17.31 ia akan mandi dan istirahat. Zora tidak pergi bekerja karena Samuel yang terus memaksanya untuk belajar bersama. Karena laki-laki itu juga gaji Zora dipotong.
Huft... tak apalah, berkat Samuel juga ia bisa beristirahat. Menonton drama sambil makan camilan sepertinya ide yang bagus. Untunglah di apartemennya ada wifi, ini juga membantu mengurangi bebannya untuk membeli kuota.
Masih memakai handuk, Zora membuka ponselnya untuk ber-ghibah ria bersama kedua sahabatnya. Ia sesekali tertawa karena pembicaraan lucu yang mereka bahas di dalam grup.
Dari sisi lain, tepatnya diluar ada sepasang mata tajam yang mengawasinya dari balik pohon di gelapnya malam. Kamar Zora mempunyai jendela besar yang ukurannya sepanjang kasur gadis itu. Tanpa adanya gorden yang menutupi, mata tajam itu sedikit menyipit akibat bibirnya yang melengkung keatas. Betapa cantik gadisnya itu, ia hanya memakai handuk yang menampakkan pundak mulusnya tanpa menyadari keberadaan mata tajam yang sudah mengawasinya lebih dari satu tahun.
.
.
.
Next...
![](https://img.wattpad.com/cover/377328577-288-k620478.jpg)
KAMU SEDANG MEMBACA
Elano (End)
Teen FictionFollow sebelum membaca!!!!!!!!!!!!! Pernah tidak membully seseorang sampai membuatnya trauma, tetapi orang itu malah suka dan bahkan terobsesi kepadamu? Itu yang dialami Zora. Lano yang merupakan anak tunggal berpenampilan cupu yang sering Zora bull...