Chapter 7

40 9 1
                                    

𝑯𝒂𝒍𝒐, 𝒕𝒆𝒕𝒂𝒏𝒈𝒈𝒂!

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

𝑯𝒂𝒍𝒐, 𝒕𝒆𝒕𝒂𝒏𝒈𝒈𝒂!

"Halo, saya tetangga anda. Tidak tidak!"

"Selamat siang, Ishara- bagaimana bisa aku menyebutkan namanya jika dia saja tidak ingat aku."

"Salam kenal, tetangga baruku. Aku Eros, tetanggamu."

"Semoga kita menjadi tetangga yang baik."

"Wah wah sepertinya rumah kita berdekatan..

Bagaimana caranya menyapa tetangga!?"

Eros mengusak rambutnya frustasi, sedari tadi ia mencoba berlatih bagaimana cara menyapa Ishara dan anaknya saat tiba nanti. Sungguh, ia terlihat noob untuk hal seperti ini. Pemimpin perusahaan besar yang sedang naik daun, tetapi tidak tahu cara bertegur sapa dengan tetangga baru, sangat menyedihkan.

Disinilah Eros sekarang, di taman depan kompleknya. Ia berniat menunggu Isha lebih dahulu sampai di rumahnya. Masih dengan kesibukannya mencari kalimat yang bagus saat diucapkan di depan Isha dan anaknya, tak sadar mobil pengangkut barang baru saja melintas.

"Sebaiknya aku juga segera kesana."

Eros menaiki mobilnya dan mulai pelan pelan mengemudi tepat di belakang mobil pengangkut barang yang akan menuju ke rumah Isha.

.

Eros point of view.

Aku turun dari mobilku, sebelum itu sudah kupakai kacamata dan topi untuk menutupi wajahku. Tetapi setelah kupikir, percuma aku melakukan semua ini, Isha tetap saja tidak mengenaliku jika aku tidak memakai apa-apa. Akhirnya kulepas semua yang menempel di wajahku, lalu kutaruh kembali di mobil.

"Permisi, Mas?"

Aku menoleh, mencari jejak suara yang baru saja memanggilku dengan sebutan "Mas"

Sedetik setelah aku lihat sosok di depanku, bibirku kelu, sama sekali tidak bisa mengucapkan satu katapun. Tangan dan kakiku juga tidak bisa digerakkan, begitupun dengan pandanganku. Diriku termenung kaku,

Astaga, cantik sekali?

"Halo..? Baru pindahan juga, Mas?"

Wanita cantik ini bersuara lagi. Aku tidak sanggup, tidak tahu harus bagaimana menjawabnya. Segala persiapan yang sudah aku lakukan tadi, seketika lenyap di dalam otakku.

Cantiknya masih sama. Kulit putih bersinar, mata bulat yang berbinar, cara dia memandangku, nada bicaranya, dan.. Wanginya juga masih sama.

"Kita pernah bertemu sebelumnya?"

Bodoh! Bodoh kau, Eros. Bagaimana bisa malah kalimat itu yang terkeluar dari mulut malangmu, kenapa kau malah menanyakan hal bodoh itu. Tentu saja ia tidak mengenaliku-

"Sepertinya.. Aku tidak asing dengan perawakanmu. Pernah bertemu dimana ya, kita?"

Oh Tuhan. Kamu istriku, Ishara.

"Hahahaha, sepertinya di jalan."

Jawabku asal, tetapi Isha malah tertawa. Apakah lucu? Tetapi aku tidak peduli, yang terpenting aku berhasil melihat tawanya setelah sekian lama ini.

"Hmm, Mas belum jawab pertanyaanku. Baru pindahan juga, ya?"

"Oh, anu.. Iya, Sha- MAKSUDKU, tidak."

"Hah?"

"Aku orang lama, tapi rumah ini bukan rumah utamaku. Jadi aku jarang berkunjung kesini, ternyata sudah ada tetangga saja."

"Tetapi.. Pak Djarot mengatakan kepadaku bahwa aku orang pertama disini.."

"Ahh, mungkin Pak Djarot lupa karena aku jarang tinggal disini."

"Benar juga.."

"BUNDA!!! GIGI KAVI SAKIT!"

"Astaga. Maaf Mas, aku permisi duluan ya. Semoga kita bisa jadi tetangga yang baik sekarang dan seterusnya!"

Ucapnya lalu pergi meninggalkanku yang masih saja termenung. Apakah suara tadi adalah suara anakku? Aku sedikit berjalan menuju teras rumah Isha, kulihat ada anak laki-laki yang duduk di tangga masuk, sedang duduk tetapi menangis sembari memegang pipi sebelah kanannya.

Tidak sadar, air mataku jatuh akibat melihat pemandangan yang seharusnya aku lah yang berada disana, memeluk dan menenangkan anakku yang sedang kesakitan karena giginya berlubang.

Aku tersenyum, membayangkannya saja membuatku sangat bahagia, apalagi jika benar-benar merasakannya.

Aku berjalan kembali menuju rumahku, memikirkan kejadian tadi, bagaimana bisa aku berbohong soal sudah lama tinggal disini. Tetapi biarlah, untuk sementara, sebelum aku membuat semuanya berjalan sebagaimana mestinya.

﹝𝙴𝚝𝚎𝚛𝚗𝚒𝚝𝚢 𝙻𝚘𝚟𝚎﹞


"Halo, Om!"

Aku terkejut, melihat siapa yang baru saja memanggilku dengan sebutan seperti itu. Mataku melotot sejenak, ia adalah anakku, Kavi. Sedang apa dia disini?

Astaga aku harus apa disaat situasi seperti ini?

Selagi kebingungan, aku tetap melanjutkan kegiatanku yang sedang memindahkan beberapa tumpuk berkas dari kantor yang belum kukerjakan. Sepertinya akan kuselesaikan disini saja, sambil melihat kegiatan apa yang dilakukan oleh Istri dan Anakku.

"Kavi bantu ya, Om? Agar kita makin akrab."

Aku tidak mampu berekspresi lebih, akhirnya aku mengarahkan tanganku untuk menyuruhnya mengangkat box isi payung. Seharusnya bisa saja aku memeluknya sekarang, karena aku sangat rindu dengannya.

"Kok banyak sekali, Om jualan payung ya?"

Sangat menggemaskan, aku ingin sekali memeluk dan menggendongnya saat ini.

"Kamu dari komplek mana, nak? Oh iya ambil saja payung itu kalau mau"

Tanyaku sembari masih mengemasi beberapa barang membawanya masuk dalam ruangan kerjaku di rumah ini,

"Oh, tidak Om. Kavi anak Bunda, rumahnya di sebelah Om!"

Kau juga anakku, Kavi. Tetapi tidak mungkin aku mengatakan itu sekarang, yang ada Kavi akan mengira aku adalah orang gila. Lagi juga, luka Kavi yang baru saja kehilangan Ayahnya- Tidak. Lelaki bajingan itu tidak pantas disebut sebagai seorang ayah.

"Ambilah payung itu jika mau."

Kataku kemudian menatap putraku yang terlihat sangat girang, lalu ia memilih payung yang berwarna kuning. Aku melihatnya yang masih saja tersenyum sembari memegang payung berwarna kuning di tangan mungilnya. Bagaimana bisa dia memilih warna itu? Sedangkan ada banyak warna yang seharusnya bisa ia pilih kecuali warna kuning, kenapa begitu banyak persamaan antaranya dan Isha?

Ngingg...

Aku mencengkram keras kepalaku, rasa sakit ini selalu datang saat aku berusaha kembali mengingat hal yang pernah terjadi di masa lalu. Tanpa memperdulikan Kavi, aku memasuki rumahku dan mengambil obat yang sudah diresepkan oleh dokter.

Aku memang sudah mengingat semuanya, tidak ada yang terlewat. Tetapi ada beberapa momen yang jika kupaksa mengingat tentang hal itu, kepalaku seperti ditusuk jarum besi yang besar, sangat sakit.

Sesaat setelah aku rasa diriku mulai tenang, aku kembali ke depan teras rumahku.

"Kav? Kavi? Dimana dia.."

Kuarahkan pandanganku ke rumah sebelah, benar saja. Aku melihat Kavi yang berlari masuk ke dalam rumah, tidak lupa dengan sesuatu di genggaman yang dibawanya. Payung Kuning.













To be continues.

(Space untuk memberi kritik dan saran)

ETERNITY LOVE - Byeon Wooseok. Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang