Waktu terus berjalan. Sudah lebih dari lima belas menit, tapi Antoni tak juga kunjung datang. Aku mulai merasa cemas. Kucoba menelponnya—satu panggilan tak diangkat. Aku menelepon lagi, dua, tiga, hingga lima kali. Semua tak dijawab. Rasa aneh menyelimuti pikiranku, tapi kemudian aku mengusirnya pergi. Mungkin Antoni sedang mempersiapkan kejutan, pikirku, mencoba menenangkan diri.
Segera, aku bergegas menuju kamar mandi. Aku ingin terlihat sempurna untuknya. Setelah mandi, aku memilih parfum favoritku, yang selalu membuat Antoni gila, dan menyemprotkannya di leher dan pergelangan tanganku. Lalu, aku mengenakan lingerie hitam yang sering dipilih Antoni untukku—tipis, menggoda, dan siap untuk... apa pun yang akan terjadi.
Setelah selesai berdandan dan mempersiapkan diri, aku menunggu. Tapi suasana mansion tetap hening. Antoni belum juga pulang. Aku mulai merasa ada yang tidak beres, namun aku masih mencoba menenangkan pikiran, Dia pasti datang sebentar lagi.
Ketika suara pintu utama terbuka, jantungku berdegup lebih cepat. Namun, bukannya Antoni, yang muncul justru Fasko. Raut wajahnya terlihat serius, lebih serius dari biasanya. Saat dia melihatku dalam balutan lingerie, matanya terbelalak terkejut. Aku langsung menyadari betapa tak pantasnya pakaian yang kupakai dalam situasi ini.
Dengan cepat, aku menutup pintu kamar dan berganti pakaian. Aku memilih pakaian yang lebih sopan, lalu keluar untuk kembali menemui Fasko di ruang tamu.
Fasko menatapku dengan ekspresi yang sulit diterjemahkan, seolah ada sesuatu yang besar sedang terjadi. "Nyonya, Anda harus ikut saya sekarang," katanya dengan nada yang tegas.
Aku mengerutkan kening. "Ke mana? Ada apa?" tanyaku, mulai merasa ada sesuatu yang tidak beres.
"Tuan Antoni memerintahkan Anda untuk segera ke ruang bawah tanah."
Ruang bawah tanah? Mengapa harus ke sana? Detak jantungku semakin tak menentu. Aku mengikuti Fasko dengan langkah yang lebih ragu daripada yakin, perasaan aneh menyelimuti pikiranku. Apa yang sebenarnya terjadi?
Aku mengikuti Fasko menuruni tangga menuju ruang bawah tanah, perasaan tak menentu semakin menguat di dalam diriku. Langkahnya tegas, namun diam-diam, aku bisa merasakan sesuatu yang tidak beres. Di benakku, masih tertanam rasa heran kenapa Antoni memerintahkanku ke ruang bawah tanah—terlebih setelah panggilan yang tidak diangkat. Apa yang sebenarnya terjadi?
Sampai di pintu ruang bawah tanah, Fasko berhenti sejenak, menoleh ke arahku. "Tetaplah di sini," katanya dengan nada serius. Aku mengangguk pelan, meski hati mulai berdegup lebih cepat. Ia membuka pintu dan menghilang ke dalam, membiarkanku menunggu di luar dengan pikiran penuh tanya.
Keheningan menggantung tebal di udara, sampai akhirnya suara pintu utama mansion kembali terbuka. Aku menahan napas, berpikir Antoni telah tiba. Namun, yang terdengar bukan langkah kaki Antoni, melainkan teriakan dan suara gaduh dari luar.
"Apa itu?" Aku bergegas naik ke lantai atas, rasa cemas yang tadinya samar kini berubah menjadi ketakutan nyata. Saat aku mencapai lantai atas dan menuju ke pintu utama, aku melihat Fasko yang sebelumnya meninggalkanku di ruang bawah tanah, berdiri di ambang pintu dengan wajah yang pucat dan keringat membasahi dahinya.
"Nyonya... Tuan Antoni..." suaranya tercekat, dan sebelum dia bisa menyelesaikan kalimatnya, terdengar suara tembakan yang memekakkan telinga.
Duniaku seolah berhenti sejenak. Tanpa berpikir panjang, aku berlari keluar mansion, melawan arus ketakutan yang menghujam dadaku. Di depan mansion, aku melihat pemandangan yang tak pernah kubayangkan.
Antoni, terbaring di tanah, tubuhnya dipenuhi darah. Di sekitarnya, beberapa orang berbaju hitam bersenjata laras panjang terlihat sibuk bergerak mundur. Beberapa anak buah Antoni tergeletak tak bergerak di sekitar mobil yang kacanya pecah karena hujan peluru.
"Antoni!!" Aku berteriak histeris, berlari ke arahnya meski Fasko mencoba menarikku kembali. Aku tak peduli.
Darah mengalir dari tubuhnya, merembes ke tanah. Wajahnya pucat, napasnya tersengal-sengal. Aku jatuh berlutut di sisinya, memegang tangannya yang terasa dingin.
"Jangan tinggalkan aku..." suaraku hampir tak terdengar, tercekik oleh tangis yang kutahan.
Antoni membuka matanya perlahan, menatapku dengan tatapan yang penuh kepedihan, tapi tetap ada kelembutan di dalamnya. Dia mencoba berbicara, tapi hanya suara lemah yang keluar dari bibirnya.
"Anaya... maafkan aku..." gumamnya, sebelum kepalanya terkulai di lenganku.
"Antoni! Tidak...!" Aku mengguncang tubuhnya, berharap dia akan membuka matanya lagi. Namun, tubuhnya tak lagi bergerak. Suamiku, yang selama ini tampak tak terkalahkan, kini tak berdaya di depanku.
Aku merasa dunia runtuh seketika. Air mata tak bisa kutahan lagi, mengalir deras di pipiku. Segala kebingungan, ketakutan, dan cinta yang kusimpan untuk Antoni kini terasa sia-sia. Kenapa semua ini harus terjadi? Siapa yang melakukan ini?
Aku merasakan kehangatan dari darah Antoni yang terus merembes, tetapi tubuhnya masih bergerak sedikit, meskipun lemah. Suara napasnya masih ada, meski terputus-putus. Aku tersentak, menyadari bahwa Antoni belum meninggal.
"Fasko, dia masih hidup! Kita harus membantunya!" Aku memanggil Fasko yang tampak cemas di belakangku.
"Cepat, kita harus membawa Tuan ke dalam!" Fasko bergerak cepat, mengambil alih situasi. Bersama, kami memapah Antoni yang masih sadar meski tampak begitu lemah. Aku bisa merasakan tubuhnya bergetar di tanganku.
"Anaya…" Antoni berbisik lemah saat kami membawanya ke dalam mansion. "Jangan takut… Aku akan baik-baik saja…" Tapi aku tahu itu kebohongan. Dia terluka parah, dan darah terus mengalir dari lukanya.
Fasko membawanya ke ruangan yang lebih aman di dalam mansion, jauh dari kaca jendela yang bisa ditembus peluru. Sambil bergegas mencari peralatan pertolongan pertama, Fasko menghubungi seseorang di telepon dengan nada tegas, memanggil bantuan medis.
"Tahan, Antoni. Tolong, bertahanlah untukku," kataku sambil menekan lukanya dengan kain apa pun yang bisa kudapatkan. Wajahnya pucat, tapi dia masih berusaha tersenyum, mencoba meyakinkanku bahwa dia kuat.
Tak lama kemudian, seseorang yang sepertinya dokter pribadi keluarga Maner datang. Dia segera memberikan penanganan darurat, menyuntikkan sesuatu untuk menghentikan pendarahan. Aku hanya bisa berdiri di sana, tubuhku gemetar melihat suamiku diambang maut.
Namun, meski dalam kondisi kritis, Antoni masih sadar dan tetap menatapku. "Anaya… Maafkan aku, semua ini... Aku tak pernah ingin kau terseret ke dalam dunia ini…" gumamnya, suaranya serak dan terputus-putus.
Aku menggeleng, air mata tak bisa kutahan lagi. "Antoni, jangan bicara seperti itu. Kita bisa melewati ini bersama."
Antoni menutup matanya sebentar, mungkin karena rasa sakit yang begitu parah. "Ada yang harus kau tahu, Anaya..." katanya pelan, suaranya semakin lemah.
"Apa maksudmu? Jangan bicara sekarang, Antoni. Nanti darahmu makin banyak keluar," pintaku, tapi dia menggeleng pelan.
"Mereka tidak akan berhenti… Orang-orang yang menyerang tadi. Ini bukan hanya tentang bisnis atau dendam lama. Ini… lebih besar dari yang kau tahu..."
___________________
Tbc
KAMU SEDANG MEMBACA
Anaya
RomanceRomantic adult stories (21+). Bijaklah dalam memilih bacaan‼️ ____________ Bagi Anaya dipaksa menikah itu sangat mengerikan apalagi dipaksa menikah tanpa alasan yang jelas. Hal itu mengharuskan dirinya untuk terus menyusun rencana melarikan diri aga...