01

132 49 83
                                    

Pemandangan mengejutkan di tengah gelapnya malam mampu membuat siapapun yang melihat terperangah hingga berteriak histeris.

Dimana suara tembakan menyeruak menarik perhatian semua orang yang mendengarnya. Bersamaan dengan itu, cairan merah mengalir dari pelipis hingga jatuh menemui tanah.

Tidak ada seorangpun yang terlihat mencegah hal itu terjadi. Satu-satunya insan disana hanya terdiam kaku seperti patung yang kakinya menempel ke lantai.

Bahkan langit berbintang dan cahaya lembut sang rembulan tidak mampu mencegah tragedi mengejutkan ini terjadi. Keduanya hanya mampu berteriak tanpa suara dan menjadi penonton dari kejauhan.

Angin berhembus menyapa sepasang mata sembab menggunakan anak rambutnya yang bisa dia terbangkan. Sang pemilik mata hanya bergeming. Tidak bereaksi pada apa yang dilihatnya.

Dia memperlihatkan sepasang mata indah gadis asia yang basah habis menangis. Namun, ekspresi wajahnya begitu dingin tanpa empati tergambar jelas dibalik topeng maskernya.

“Kapten!”

Beberapa orang berlarian menghampiri lokasi kejadian dimana gadis itu tetap diam tak bersuara sedikitpun.

“Kapten …?” Semua orang terperangah.

“Bereskan semuanya!” titah wanita itu begitu dingin tanpa mau dibantah. Kemudian berbalik pergi begitu saja.

Dalam hitungan detik, ledakan keras terjadi menciptakan kobaran Si Jago Merah begitu besar dengan asap yang membumbung tinggi menggapai langit malam.

***

Seoul, Korea Selatan, 8 Juli 2024 pukul 11.40

Pemandangan taman yang begitu memanjakan mata mampu menarik sudut bibir semua orang yang melihatnya. Mereka begitu tenang dan nyaman menikmati keindahan alam, saling menyapa dengan hembusan angin sejuk lagi menyegarkan.

Lucy, seorang pemburu gambar juga turut andil menikmati keindahan semesta dan mengabadikan beberapa momen untuk jurnalnya.

“Pemandangan yang sama di waktu dan keadaan yang berbeda,” gumam Lucy menatap dari pinggir danau.

“Bagaimana bisa aku malah kembali kemari ... sial!” umpatnya atas keputusannya yang baru sadar sangat terburu-buru.

“Tapi disini masih terasa nyaman seperti dulu,” ungkapnya mengobati pikiran protesnya.

Di tengah suasana nostalgia tersebut, hujan pun turun cukup deras membuat semua orang berlarian mencari tempat untuk berteduh.

Lucy mengeluarkan payung biru untuk melindungi diri dari tetesan yang siap membuatnya basah kuyup. Sebelum pergi, matanya terlebih dahulu menangkap seorang pria yang duduk sendirian di tengah hujan.

“Apa dia sudah gila atau mati rasa? Hujan sebanyak ini apa gak terasa?” pikir Lucy karena pria itu tidak bereaksi sedikitpun meski ribuan tetes air berlarian turun menghampirinya.

Lucy mengikuti langkah kakinya dan berdiri tepat di belakang pria itu. Dia mencondongkan sedikit payungnya ke depan agar orang di depannya terlindungi dari hujan.

Merasakan kehadiran seseorang, pria itu pun menengadah lalu bergegas bangun menatap Lucy dengan tatapan terkejut.

“Oh, ku pikir kau mati rasa karena tidak bergerak sama sekali di tengah hujan seperti ini,” ucap Lucy dengan ekspresi dingin.

Alih-alih menjawab, pria itu justru menatapnya tidak percaya. Tidak hanya membagi ruang di bawah payung yang sama. Wanita di depannya itu bahkan memperlihatkan raut wajah tenang tanpa takut sedikitpun.

Lucy-Renne [SEGERA TERBIT]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang