01. Swipe Up for Drama

77 12 2
                                    

Yo, Readers! 🎉

Selamat datang di dunia "Swear it Again"!
Happy reading, and enjoy the ride!🚀

Ponsel di tangan Baskara bergetar. Layarnya menampilkan notifikasi Instagram dari akun yang sudah lama tidak mengisi feed-nya dengan foto atau story baru. Matanya melirik nama yang muncul di sana, dan tiba-tiba dadanya terasa berat. Adelaide Gillian. Adela.

Baskara menggeser layar ke atas, membuka pesan yang baru saja ia terima dari Adela. Sudah berbulan-bulan sejak terakhir kali mereka bicara. Sejak semuanya hancur, lebih tepatnya. Hubungan yang dulu begitu erat, sekarang hanya tinggal kenangan yang membekas di hati Baskara. Dan di saat dia berusaha untuk melupakan, notifikasi ini muncul. Dramatis, memang, tapi begitulah perasaannya saat ini—campur aduk.

IG DM:

Adela: "Baskara, kita bisa ngobrol bentar? Ada yang pengen aku omongin."

Baskara memandangi pesan itu selama beberapa detik. Jarinya siap mengetik, tapi pikirannya berputar-putar. Setelah sekian lama tak ada kabar, kenapa sekarang? Bukankah dia sudah berusaha melepaskan semuanya?

Baskara: "Ngomongin apa? Kayaknya udah nggak ada yang perlu dibahas, Del."

Adela terlihat sedang mengetik balasan, tapi kemudian berhenti. Typing bubble itu hilang, membuat Baskara semakin penasaran. Dia menduga Adela sedang mempertimbangkan apa yang harus dia katakan, atau mungkin dia sedang menimbang apakah mereka seharusnya berbicara lagi.

Setelah beberapa menit, balasan akhirnya muncul.

Adela: "Iya, aku ngerti. Tapi serius, ini penting."

Baskara menghela napas. "Penting" adalah kata yang memicu segalanya. Ia mencoba tetap tenang dan tidak terburu-buru. Sesuatu dalam dirinya tahu ini bukan percakapan biasa. Tapi, setelah apa yang terjadi, haruskah dia benar-benar mendengarkan?

Baskara: "Oke. Kapan?"

Adela: "Nanti sore di Fixate Café? Aku tunggu jam 4."

Baskara memandangi pesannya sejenak, lalu memutuskan untuk tidak membalas. Dia merasa terlalu banyak emosi yang muncul dalam dirinya hanya dari pesan-pesan singkat itu. Tentu saja, Adela bisa menunggunya untuk menjawab, sama seperti dia yang menunggu selama ini.

Fixate Café adalah tempat yang dulu mereka sering kunjungi. Tempat di mana semuanya terasa sederhana dan manis, jauh sebelum drama menghancurkan hubungan mereka. Baskara ingat kenangan mereka di sana, saat mereka tertawa bersama, tanpa ada ketegangan seperti sekarang. Tapi kenangan indah itu kini terasa seperti masa lalu yang asing—tidak lagi nyata.

Sore harinya, Fixate Café.

Baskara duduk di pojok ruangan, mengaduk-aduk cappuccino-nya sambil sesekali melirik pintu. Kafe itu cukup ramai sore itu, anak-anak muda sedang sibuk dengan laptop dan ponsel mereka. Semuanya terlihat seperti menjalani kehidupan normal. Baskara berharap dia juga bisa merasa normal lagi, tapi pertemuan ini membuat pikirannya terus berputar.

Adela muncul di pintu, mengenakan sweater oversized dan celana jeans yang santai. Rambutnya masih seperti yang ia ingat, panjang dan terurai, tapi matanya—mata yang dulu penuh senyuman—sekarang tampak berbeda. Mereka saling bertukar pandang sebentar, sebelum Adela melangkah mendekat dengan senyum tipis yang terlihat dipaksakan.

"Hey," sapa Adela, suaranya terdengar lembut, tapi sedikit kaku.

"Hey," Baskara menanggapi dengan nada datar. Dia merasa sedikit defensif, tapi dia juga tidak ingin memulai dengan nada yang terlalu dingin.

Mereka duduk dalam keheningan canggung selama beberapa detik sebelum Adela mulai bicara.

"Thanks udah mau ketemu," kata Adela, menggigit bibir bawahnya dengan gugup. "Aku tau ini nggak mudah buat kamu."

Baskara mengangkat bahunya. "Ya, terus terang aja, aku nggak yakin kita harus ngobrol lagi. Tapi kalau kamu bilang ini penting, ya aku dengerin."

Adela menghela napas, memandang keluar jendela sejenak sebelum kembali menatap Baskara. "Aku cuma nggak bisa ngebiarin kita nggak selesai dengan baik, Kar. Ini terus ganggu aku."

Mendengar itu, Baskara merasakan sesuatu bergetar di dadanya. Dia sudah mencoba mengabaikan apa yang dia rasakan tentang semua ini, tapi ternyata Adela juga merasa hal yang sama. Hubungan mereka memang tidak berakhir dengan baik. Ada banyak kata yang tidak diucapkan, banyak luka yang tidak sempat sembuh.

"Aku kira kamu udah move on," kata Baskara, berusaha terdengar lebih tenang dari yang sebenarnya dia rasakan.

Adela tertawa kecil, tapi tidak ada kebahagiaan di dalamnya. "Aku kira juga begitu. Tapi ternyata, masih ada yang harus kita selesaikan."

Baskara menatap Adela dengan lebih serius sekarang. Mungkin dia tidak sepenuhnya siap untuk percakapan ini, tapi sesuatu dalam dirinya mengatakan bahwa dia perlu mendengar apa yang Adela katakan. Mereka telah menghabiskan terlalu banyak waktu menghindar satu sama lain, dan mungkin inilah kesempatan untuk benar-benar menyelesaikan semuanya.

"Jadi, apa yang kamu pengen omongin?" tanya Baskara akhirnya.

Adela menundukkan kepalanya, mengaduk-aduk minumannya sebelum akhirnya bicara.

"Aku... minta maaf," katanya pelan. "Aku tau selama ini aku juga punya salah. Aku yang bikin kamu ngerasa nggak penting, terus aku ghosting kamu waktu kita lagi di titik yang... ya, kamu tau sendiri."

Baskara menahan napas. Kalimat itu seolah meledak di kepalanya. Dia sudah lama menunggu kata-kata ini, meskipun dia tidak tahu apakah itu benar-benar akan memperbaiki semuanya.

"Aku juga punya salah, Del. Aku terlalu sibuk sama hal-hal yang nggak penting. Terlalu sibuk pamer di Instagram, terlalu fokus buat kelihatan keren di depan orang lain, sampai aku nggak sadar kamu mulai ngejauh."

Adela tersenyum pahit. "Ya, kita berdua salah. Mungkin kalau dari awal kita lebih jujur sama perasaan masing-masing, semua nggak akan kayak gini."

Keheningan kembali hadir di antara mereka. Ada banyak hal yang ingin mereka katakan, tapi kata-kata itu terasa berat, seolah takut terucap karena takut akan membuka luka lama.

"Terus, sekarang gimana?" tanya Baskara, akhirnya. "Kita udah lama nggak bicara, Del. Kayaknya nggak mungkin balik lagi kayak dulu."

Adela mengangguk. "Aku nggak berharap kita bisa balik kayak dulu. Tapi aku berharap kita bisa baik-baik aja sekarang. Nggak ada lagi rasa sakit atau dendam."

Baskara memikirkan kata-kata itu. Bisa nggak ya mereka benar-benar move on? Mungkin, dengan waktu, mereka bisa berdamai dengan masa lalu. Tapi untuk saat ini, itu masih terlalu berat.

"Ya, aku setuju," jawab Baskara pelan. "Aku juga nggak mau terus-terusan kepikiran ini."

Adela tersenyum kecil. "Makasih, Kar. Aku cuma nggak mau kita berakhir dengan cara yang nggak enak. Kita dulu temenan baik, dan aku berharap kita masih bisa jadi teman, meskipun nggak kayak dulu."

Baskara hanya mengangguk. Mungkin ini awal yang baik untuk memulai ulang, meskipun mereka tidak tahu pasti apa yang akan terjadi selanjutnya. Yang jelas, pertemuan ini telah membuka pintu untuk percakapan yang lebih jujur.

Setelah mengobrol sebentar lagi, mereka akhirnya sepakat untuk saling memberi ruang. Tidak ada yang tahu bagaimana hubungan mereka akan berkembang setelah ini, tapi setidaknya mereka sudah saling memahami.

Saat Adela berdiri untuk pergi, Baskara melihatnya dengan perasaan yang lebih ringan. Mungkin memang benar, mereka tidak bisa kembali seperti dulu. Tapi setidaknya mereka bisa berjalan ke depan tanpa membawa beban masa lalu yang belum selesai.

Baskara memandangi ponselnya lagi setelah Adela pergi, melihat kembali percakapan mereka di DM Instagram. Pesan itu masih ada di sana, seolah menjadi pengingat bahwa kadang-kadang, kita harus menghadapinya—swipe up for drama, meski berat.

Sekarang, drama itu mungkin sudah selesai, tapi perjalanan mereka baru saja dimulai.

TBC—

Jangan lupa untuk vote, follow, dan kasih tahu pendapat kalian di kolom komentar! Setiap vote dan komentar kalian bikin aku makin semangat buat nulis. Let's make this story go viral, guys! 💖

Swear it AgainTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang