Yo, Readers! 🎉
•
Selamat datang di dunia "Swear it Again"!
Happy reading, and enjoy the ride!🚀
•
•Hujan mulai reda saat aku menatap ponsel di tanganku. Setelah percakapan tadi dengan Baskara, aku merasa campur aduk. Ada semacam rasa lega karena akhirnya kami terbuka satu sama lain, tetapi juga banyak kekhawatiran yang menyelimuti pikiranku. Ternyata, mengungkapkan perasaan itu nggak semudah yang aku bayangkan. Sekarang, yang terpenting adalah apa yang harus aku lakukan selanjutnya.
Setelah mengirim pesan kepada Baskara, aku memutuskan untuk berjalan-jalan di taman terdekat. Udara segar setelah hujan terasa menyegarkan, dan suara tetesan air dari dedaunan menciptakan melodi yang menenangkan. Namun, pikiranku masih melayang jauh. Aku tahu perasaan yang kumiliki untuk Baskara, tetapi kenyataan bahwa kami mungkin nggak bisa kembali seperti dulu membuatku ragu.
"Kenapa sih rasanya semuanya jadi ribet gini?" gumamku pada diri sendiri.
Aku berhenti sejenak di bangku taman, mengambil napas dalam-dalam, dan mencoba menenangkan diri. Suasana di sekelilingku masih ramai; anak-anak bermain, pasangan berjalan bergandeng tangan, dan orang-orang jogging. Semuanya terlihat bahagia. Sementara itu, di dalam hatiku, aku merasa bingung. Dalam pandangan orang lain, mungkin aku terlihat baik-baik saja, tetapi hatiku bergejolak.
Setelah beberapa menit merenung, ponselku berbunyi. Pesan dari Baskara muncul lagi di layar. Dia bilang dia ada waktu untuk ketemu. Rasanya, di satu sisi, aku merasa senang. Tapi di sisi lain, aku khawatir. Apakah ini benar-benar keputusan yang tepat?
Baskara: "Gue ada waktu. Kita ketemu, Del."
Aku tersenyum membaca pesannya, tapi kemudian perasaan was-was kembali menghampiriku. Segala yang harus aku katakan dan jelaskan dalam pertemuan nanti terlintas di benakku. Apakah aku sudah siap untuk mengungkapkan apa yang sebenarnya ada di pikiranku?
Setelah berdebat dengan diriku sendiri, akhirnya aku membalasnya.
Adela: "Besok aja? Di kafe tempat kita biasa? Jam 3?"
Setelah mengirim pesan, aku berdiri dari bangku dan mulai berjalan lagi. Sambil berjalan, pikiranku melayang ke kenangan indah bersamanya. Baskara dan aku sudah berteman cukup lama. Awalnya, hubungan kami sangat santai, tetapi belakangan ini, semuanya terasa berbeda. Dia semakin dekat, dan aku mulai merasakan perasaan yang lebih dari sekadar teman.
"Apa ini cinta?" tanya diriku sendiri. Rasanya, aku sudah jatuh ke dalam jurang kebingungan yang dalam. Aku pernah berpikir bahwa cinta itu harusnya manis dan indah, tetapi saat ini, hanya ada rasa bingung dan ketakutan.
Selama perjalanan pulang, aku terus memikirkan kata-kata yang akan aku ucapkan besok. Aku butuh menjelaskan perasaanku dengan cara yang tepat, tetapi aku takut kalau pernyataanku bisa menyakiti Baskara.
Sesampainya di rumah, aku langsung menuju kamar dan duduk di meja belajar. Sepertinya, menulis bisa membantu aku merangkai pikiran. Aku membuka laptop dan mulai mengetik.
Catatan:
"Kar, gue pikir kita perlu bicara lebih lanjut tentang obrolan kita kemarin. Sebenernya, gue masih butuh waktu untuk memahami perasaan gue. Tapi, setelah denger lu ngomong, gue jadi ngerasa, mungkin kita bisa nyoba untuk lebih dari sekadar teman. Mungkin, ada harapan di sini."Aku menulis sambil sesekali berhenti untuk merenung. Mengetik membuatku merasa lebih teratur. Aku menyadari bahwa kejujuran adalah kunci. Mungkin, jika aku jujur kepada Baskara, dia akan mengerti betapa sulitnya posisi ini untukku.
Namun, saat aku membacanya ulang, aku merasa tulisan itu masih kurang. Terkadang, sulit untuk menuangkan perasaan dengan kata-kata yang tepat. Rasanya, semua yang kuucapkan bisa berpengaruh besar pada hubungan kami.
Adela:
"Baskara, gue nggak bisa janjikan apa-apa sekarang, tapi gue pengen lu tahu kalo gue menghargai semua yang udah kita lewatin. Lu tuh berarti bagi gue."Aku pun menyimpan catatan itu dan menutup laptopku. Satu hal yang aku tahu, aku butuh kejelasan untuk diriku sendiri sebelum melangkah lebih jauh. Jadi, pertemuan besok akan jadi penting. Mungkin, ini saatnya untuk membuat keputusan yang lebih pasti.
Malam itu, aku berusaha untuk tidur lebih awal. Namun, pikiranku terus melayang ke Baskara. Ketika mata ini akhirnya terpejam, aku berharap bisa bermimpi indah tanpa rasa cemas.
Keesokan harinya, aku bangun dengan perasaan campur aduk. Satu sisi, aku excited untuk bertemu Baskara, tetapi di sisi lain, aku merasa tegang. Setelah mandi dan menyiapkan diriku, aku melihat ke cermin dan berusaha memberi semangat pada diriku sendiri.
"Lu bisa, Del. Ini penting. Jangan takut," ucapku pada diri sendiri.
Setelah sarapan, aku berangkat menuju kafe tempat kami biasa bertemu. Suasana di luar terasa cerah dan hangat meskipun pagi masih cukup dingin. Setelah sampai, aku melihat Baskara sudah menunggu di sudut kafe. Dia terlihat lebih segar dibanding kemarin. Saat dia melihatku, senyumnya muncul, dan seakan semua beban di pundakku sedikit terangkat.
"Hey, lu datang!" sapa Baskara ceria.
"Yah, emang gue mau cabut tanpa bilang apa-apa?" balasku sambil tersenyum. Kami kemudian duduk, dan suasana sedikit canggung di antara kami.
Setelah beberapa detik diam, Baskara memecah keheningan. "Gue senang kita bisa ketemu. Ada yang mau lu omongin?"
Aku mengangguk, berusaha menenangkan diri. "Iya, ada beberapa hal yang perlu kita bicarakan."
"Gue denger dari lu," ucap Baskara, menunggu penjelasanku.
Aku menarik napas dalam-dalam. "Kar, sebelumnya gue mau bilang, gue menghargai semua yang udah kita lewatin. Lu tuh temen terbaik yang pernah gue punya, dan gue nggak mau kehilangan itu."
Baskara menatapku, wajahnya serius. "Gue juga ngerasa gitu, Del. Tapi...."
"Tapi," sambungku, "gue masih butuh waktu untuk memikirkan semuanya. Perasaan kita udah berubah, dan itu bikin gue bingung. Gue nggak mau kita terjebak di zona yang salah."
"Gue ngerti. Ini sulit buat gue juga," jawab Baskara pelan.
"Aku nggak mau bikin keputusan terburu-buru. Kita harus jujur satu sama lain, kan?" ujarku, mencoba memberi semangat pada diriku sendiri.
Baskara mengangguk. "Iya. Dan gue tahu kalau kita berdua bisa lewati ini. Yang penting, kita saling mendukung."
"Mungkin kita bisa mencoba untuk tetap seperti ini dulu. Santai, tanpa tekanan. Gue pengen tetap berteman sama lu, Kar," ucapku, berharap ini adalah keputusan yang tepat.
Dia tersenyum, meski di matanya aku bisa melihat ada sedikit kekhawatiran. "Oke. Gue bisa terima itu. Kita ambil langkah pelan-pelan."
Kafe itu penuh dengan suara orang-orang yang mengobrol dan tawa. Namun, di antara kami, suasana menjadi lebih tenang. Kami mulai berbagi cerita, mencoba untuk mengalihkan perhatian dari ketegangan yang sempat menyelimuti. Obrolan kami berlanjut, mulai dari pengalaman konyol di sekolah hingga rencana untuk video baru Baskara.
Kedamaian itu membantu kami berdua, seolah-olah beban yang ada di pundak kami sedikit terangkat. Setidaknya untuk saat ini, kami bisa menjalani ini dengan cara yang lebih ringan. Meski ada ketidakpastian di depan, aku merasa lega bisa berbagi perasaan dengan Baskara.
Setelah beberapa jam ngobrol, kami akhirnya memutuskan untuk beranjak pulang. Di luar kafe, sinar matahari bersinar cerah.
"Terima kasih, Del. Gue senang bisa ngobrol kayak gini. Nggak merasa terbebani," ucap Baskara.
"Gue juga, Kar. Kita bisa lewati ini. Yang penting, kita tetap jujur satu sama lain," balasku.
Kami saling tersenyum, dan aku merasa semangat baru muncul. Mungkin, di tengah ketidakpastian ini, kami masih memiliki harapan. Mungkin, dengan waktu, semua akan menemukan jalannya. Dengan perasaan yang lebih tenang, aku melangkah ke depan, siap menghadapi apa pun yang akan datang.
TBC—
Jangan lupa untuk vote, follow, dan kasih tahu pendapat kalian di kolom komentar! Setiap vote dan komentar kalian bikin aku makin semangat buat nulis. Let's make this story go viral, guys! 💖
KAMU SEDANG MEMBACA
Swear it Again
Fiksi Remaja[FOLLOW SEBELUM MEMBACA] Baskara udah hampir move on dari Adela, cewek yang dulu bikin dunianya berputar, tapi tiba-tiba muncul lagi. Setelah ghosting berbulan-bulan, Adela nge-DM dengan pesan yang bikin galau lagi. Apa sih yang mau diomongin? Kenap...