Aluna berdiri di depan cermin besar di studio tari. Bayangannya menari di atas lantai kayu yang berkilau, seolah menjawab setiap gerakan dengan kesempurnaan yang tak tertandingi. Namun, di balik senyumnya yang cerah dan gerakan anggun, tersimpan beban berat yang hanya dia dan Tuhan yang tahu.
Kanker yang bersarang dalam tubuhnya seperti bayangan gelap yang selalu mengintai. Setiap hari, dia melawan rasa sakit yang menghampiri, namun cinta terhadap balet memotivasi dirinya untuk terus berlatih. Dengan harapan, dia ingin tampil di panggung utama balet kota dan meraih impiannya sebelum waktu habis. Dia ingin mengingatkan dunia bahwa dia pernah ada, bahwa dia pernah bersinar.
Hujan turun dengan lembut di luar, suara tetesan air menambah ketenangan di dalam studio. Aluna menatap langit melalui jendela besar. Hujan selalu mengingatkannya pada saat-saat bahagia di masa kecil, ketika dia berlari di bawah guyuran hujan, merasakan kebebasan dan keceriaan. Saat itu, dunia terasa sempurna, tanpa beban dan rasa sakit yang kini mengganggu harinya.
Tiba-tiba, suara peluit pelatihnya, Bu Rina, membangunkannya dari lamunan. "Aluna! Fokus!" teriak Bu Rina dengan suara tegas. Aluna tersentak dan kembali ke realita, berusaha mengalihkan pikirannya dari sakit yang terus menerus menggerogoti. Dia melanjutkan latihan, menari seolah seluruh jiwanya terbenam dalam setiap gerakan.
Seiring waktu berlalu, peluh membasahi wajahnya, dan tubuhnya mulai merasakan kelelahan yang mendalam. Dia tahu, kali ini, dia harus berhenti. Dengan nafsu dan semangat yang terkuras, Aluna berjalan ke sudut studio dan duduk di bangku kecil. Dia memejamkan mata, berusaha menghilangkan rasa sakit di tubuhnya.
Ketika pelatihnya mendekat, Aluna tersenyum, mencoba menyembunyikan apa yang dia rasakan. “Baik, Bu,” katanya lemah. “Saya hanya butuh sedikit waktu untuk beristirahat.”
"Aluna, kamu harus lebih menjaga kesehatanmu. Jangan memaksakan diri," nasihat Bu Rina dengan lembut. “Kita akan mempersiapkan pertunjukan mendatang dengan baik, tapi kesehatanmu yang utama.”
Aluna mengangguk, tetapi dalam hati, dia merasa berkonflik. Dia tidak ingin mengecewakan siapa pun, terutama dirinya sendiri. Dia ingin membuktikan bahwa meskipun terdiagnosis kanker, dia masih bisa bersinar. Dengan tekad yang membara, dia kembali berdiri dan melanjutkan latihan.
Saat latihan berakhir, Aluna melangkah keluar studio, merasakan angin malam yang sejuk menyentuh wajahnya. Dia berjalan pulang dengan langkah perlahan, mengamati lampu-lampu kota yang berkelap-kelip di malam hari. Namun, di dalam hatinya, rasa sakit kembali menyergap.
Setiba di rumah, dia membuka jendela dan menatap bintang-bintang di langit. Aluna merindukan masa-masa ketika dia masih sehat, menari tanpa batasan, tanpa rasa sakit. Dia berdoa dalam hati, berharap agar Tuhan memberinya kekuatan untuk terus bertahan dan mengejar mimpinya.
Malam itu, sebelum tidur, dia membuka buku catatan kecilnya. Di dalamnya, dia menuliskan harapan-harapannya. “Aku ingin menari di panggung utama, merasakan kebebasan dan kebahagiaan seperti dahulu.” Setiap kata yang dia tulis adalah pernyataan jiwanya, dorongan untuk terus melangkah meskipun segala sesuatu terasa berat.
Ketika Aluna menutup bukunya, dia mendengar dentingan pelan dari biola. Suara itu mengalun lembut dari kejauhan, mengisi kesunyian malam. Dia tersenyum, seolah suara itu datang untuk menemaninya. Dalam hening malam, dia menemukan ketenangan yang tak terduga, seolah musik itu mengerti setiap rasa sakit yang dia alami.
Dia memejamkan mata dan membiarkan melodi itu membawa pikirannya melayang jauh, ke tempat di mana tidak ada rasa sakit, tidak ada penyakit, hanya ada tarian yang merdeka dan hidup. Dalam setiap dentingan biola yang mengalun, Aluna menemukan harapan, dan dia berjanji pada dirinya sendiri untuk terus melangkah, demi impiannya dan semua yang dia cintai.
Aluna laurel
KAMU SEDANG MEMBACA
Simfoni yang Hening
RomanceAluna duduk di lantai studio, mengatur napas "Kadang aku merasa seperti menari di antara bayangan. Setiap gerakan terasa lebih berat dari sebelumnya. Aku hanya ingin sekali lagi merasakan kebebasan itu..." Daniel memainkan biola dengan lembut "Tari...