Hari itu adalah hari yang cerah, ideal untuk piknik di taman. Aluna, Daniel, dan Leo tiba di taman dengan semangat. Mereka membawa bekal makanan dan selimut, siap untuk menikmati waktu bersama. Suasana hati Aluna terlihat ceria, meskipun di dalam dirinya, rasa sakit masih menggerogoti. Dia berusaha keras untuk tidak membiarkan hal itu mengganggu kebahagiaannya hari itu.
Setelah menemukan tempat yang teduh, mereka menyebarkan selimut dan mulai mengeluarkan makanan. Obrolan dan tawa mengisi udara, menciptakan suasana hangat yang mengalir di antara mereka. Namun, di balik semua itu, Leo tidak bisa mengabaikan bahwa Aluna tampak lebih lelah daripada biasanya.
Setelah beberapa saat menikmati makanan, Daniel mengusulkan untuk bermain permainan. “Bagaimana kalau kita main petak umpet? Aku tahu tempat yang sempurna untuk bersembunyi!”
Aluna tertawa. “Itu terdengar menyenangkan! Tapi ingat, aku tidak bisa berlari terlalu cepat.”
“Tidak masalah! Kami akan memastikan kamu aman,” jawab Daniel dengan semangat.
Ketika mereka bersiap untuk bermain, Aluna meminta izin untuk pergi ke toilet. Leo, yang masih mengamati keadaan Aluna, memutuskan untuk mengikutinya. Namun, saat berjalan menuju toilet, dia melihat pintu ruangan kesehatan terbuka. Sebuah berkas kertas tergeletak di meja, dan tanpa berpikir panjang, dia mendekat untuk melihatnya. Hatinya berdebar ketika melihat judul di atas kertas—hasil pemeriksaan medis Aluna.
“Tidak mungkin…” bisiknya, terkejut dengan apa yang dia lihat. Hasil itu menunjukkan diagnosis Aluna—kanker yang semakin parah, dengan catatan bahwa dia harus menjalani perawatan intensif segera. Semua rasa cemas yang sebelumnya hanya menjadi dugaan kini menjadi nyata.
Leo tertegun, seolah semua dunia di sekelilingnya berhenti sejenak. Dia merasa seolah-olah ditampar oleh kenyataan yang begitu menyakitkan. Aluna, sahabatnya yang selalu tampak kuat dan ceria, ternyata menyimpan sebuah rahasia besar yang sangat menakutkan. Dia merasa marah kepada dirinya sendiri karena tidak menyadari kesedihan yang disembunyikan Aluna selama ini.
Setelah beberapa saat, Aluna keluar dari toilet dan melihat Leo berdiri dengan ekspresi khawatir. “Leo, kamu kenapa?” tanyanya, menyadari bahwa ada sesuatu yang tidak beres.
“Aluna…” kata Leo dengan nada cemas. “Aku... aku melihat hasil pemeriksaanmu.”
Aluna terkejut, hatinya bergetar. “Leo, tidak… itu seharusnya tidak kamu lihat!” Dia berusaha mengalihkan perhatian, tetapi dia tahu tidak ada gunanya berbohong.
“Kenapa kamu tidak memberitahu kami?” Leo menatapnya dengan penuh kekhawatiran. “Kami bisa membantumu. Kenapa kamu harus menyimpan ini sendirian?”
Aluna menunduk, air mata menggenang di matanya. “Aku tidak ingin membebani kalian. Aku hanya ingin menjalani hidupku sebaik mungkin… tanpa merasa lemah.”
“Aluna, kamu tidak lemah,” Leo berusaha meyakinkannya. “Kamu berjuang sendirian. Kami di sini untukmu. Jangan merasa bahwa kamu harus menghadapi semuanya sendirian.”
Aluna menggelengkan kepala, merasa hancur. “Aku tidak ingin kalian melihatku sebagai orang yang sakit. Aku ingin kalian melihatku sebagai Aluna yang kuat, yang penuh semangat.”
“Dan kami melihatmu seperti itu,” kata Leo tegas. “Tapi kamu juga harus membiarkan kami membantu. Kita bisa melewati ini bersama-sama.”
Setelah beberapa saat berdiam diri, Aluna menghela napas dalam-dalam. “Aku... aku sangat takut, Leo. Ketika aku melihat hasilnya, aku tidak tahu harus berbuat apa. Aku tidak ingin hidupku berakhir seperti ini.”
Leo menggenggam tangannya dengan lembut. “Kita akan melawan ini bersama, Aluna. Aku janji. Kamu tidak akan sendirian. Kita akan mencari cara untuk mengatasi ini.”
Aluna merasakan kehangatan dari genggaman tangan Leo. Dia merasa terhibur oleh keberadaannya, meskipun perasaannya campur aduk. “Terima kasih, Leo. Aku merasa sangat beruntung memiliki kamu dan Daniel di sisiku.”
“Sekarang, mari kita kembali dan teruskan piknik kita. Kita tidak perlu membicarakan hal ini untuk sekarang,” Leo menyarankan, berusaha menjaga suasana tetap ringan.
“Baik,” Aluna mengangguk, merasakan beban di bahunya sedikit terangkat. “Tapi kita harus menyimpan ini sebagai rahasia, ya? Daniel tidak perlu tahu saat ini. Aku tidak ingin dia merasa khawatir atau terbebani.”
Leo mengangguk setuju. “Kita akan menjaganya tetap tersembunyi untuk saat ini. Kita akan cari waktu yang tepat untuk membicarakannya.”
Ketika mereka kembali ke tempat piknik, Aluna melihat Daniel yang sedang menyiapkan makanan. Wajah Daniel ceria, tetapi Aluna tahu dia harus bersikap normal dan tidak menunjukkan bahwa ada sesuatu yang berat di dalam hatinya. Dia merasa cemas, tetapi juga lega karena memiliki Leo di sisinya.
Selama sisa hari itu, mereka tertawa dan bercanda, dan Aluna berusaha keras untuk mengesampingkan rasa sakit yang terus mengganggu. Dia menyadari bahwa saat-saat seperti itu adalah hal yang paling berharga, dan dia ingin menyimpannya selamanya. Namun, saat melihat Daniel yang ceria, hatinya terasa berat. Dia tidak ingin menyakiti sahabatnya, tetapi dia juga tidak tahu berapa lama dia bisa terus menyimpan rahasia ini.
Ketika hari mulai sore dan langit berwarna keemasan, mereka kembali ke rumah dengan senyum di wajah mereka. Namun, di dalam hati Aluna, dia tahu bahwa semakin lama dia menyembunyikan penyakitnya, semakin besar risiko yang harus dia hadapi—baik untuk dirinya sendiri maupun untuk hubungan mereka bertiga.
Aluna berjanji pada dirinya sendiri untuk terus berjuang dan melawan penyakitnya, tetapi dia juga merasa terbebani oleh rahasia yang harus dia simpan. Dia berharap suatu hari nanti dia bisa berbagi kebenaran tanpa rasa takut, tetapi untuk sekarang, dia hanya bisa berharap untuk menikmati setiap momen bersama Daniel dan Leo, sahabat-sahabat yang telah memberi warna dalam hidupnya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Simfoni yang Hening
RomanceAluna duduk di lantai studio, mengatur napas "Kadang aku merasa seperti menari di antara bayangan. Setiap gerakan terasa lebih berat dari sebelumnya. Aku hanya ingin sekali lagi merasakan kebebasan itu..." Daniel memainkan biola dengan lembut "Tari...