Realita di Balik Senyum

0 0 0
                                    

Bab 6: Realita di Balik Senyum

Pagi itu terasa berbeda bagi Aluna. Ketika matahari baru saja mulai terbit dan sinar lembutnya masuk melalui tirai kamarnya, Aluna mempersiapkan dirinya untuk pergi ke rumah sakit. Hari ini adalah hari kontrol rutinnya, hari di mana semua kenyataan yang dia coba lupakan dalam tarian dan tawa bersama Daniel kembali menghantamnya. Dengan senyuman tipis, dia mengenakan pakaian sederhana dan mengambil syal untuk menutupi lehernya yang sedikit pucat.

Di rumah sakit, suasana tidak pernah berubah. Aroma antiseptik yang kuat, para perawat yang bergerak dengan cepat, dan ruang tunggu yang dipenuhi orang-orang dengan tatapan yang berbeda—beberapa penuh harapan, sementara yang lain menunjukkan ketakutan yang mendalam. Aluna duduk di salah satu kursi di ruang tunggu, berusaha menenangkan dirinya. Dia tidak ingin menunjukkan rasa takut, bahkan pada dirinya sendiri.

"Aluna, ini kamu lagi," sapa seorang perawat muda bernama Ika yang sudah sering bertemu Aluna setiap kontrol. Perawat itu selalu menyambutnya dengan senyum yang hangat, seolah mencoba memberikan secercah kehangatan di tempat yang sering kali terasa dingin dan mengancam. "Dokter sudah siap menemui kamu. Bagaimana kabarmu hari ini?"

Aluna mengangguk dan tersenyum, meskipun dia merasa sangat lelah. "Aku baik-baik saja, Kak Ika. Terima kasih sudah menanyakan."

Perawat itu mengangguk penuh simpati, lalu mengantarkannya ke ruang dokter. Saat dia masuk, Aluna melihat dokter Mira, seorang wanita berusia lima puluhan dengan rambut yang beruban namun senyumnya ramah. Dokter Mira telah menjadi dokter yang selalu mendampingi Aluna sejak awal dia didiagnosis.

"Selamat pagi, Aluna. Silakan duduk," ujar dokter Mira sambil mengangguk padanya. "Bagaimana perasaanmu akhir-akhir ini?"

Aluna menarik napas dalam-dalam sebelum menjawab. "Rasanya… masih sama, dok. Ada hari-hari di mana aku merasa kuat, tapi ada juga hari di mana semua terasa sangat sulit."

Dokter Mira mengangguk dengan penuh pengertian. "Itu hal yang wajar, Aluna. Melawan kanker memang bukan hal yang mudah, tapi aku sangat bangga padamu karena terus berusaha."

Dokter lalu mengambil hasil pemeriksaan terakhir Aluna. "Kami akan melakukan beberapa tes lagi hari ini untuk melihat bagaimana respons tubuhmu terhadap pengobatan. Aku tahu ini mungkin melelahkan, tapi ingatlah, kita sedang berjuang untuk hal yang sangat berarti."

Aluna hanya bisa tersenyum lemah. Dia tahu bahwa dokter Mira benar, tetapi bagian dari dirinya juga selalu dipenuhi ketakutan—ketakutan akan waktu yang mungkin semakin singkat. Namun, di sisi lain, setiap hari yang dia lalui adalah kesempatan berharga, terutama saat dia bisa menari dan bermain bersama Daniel. Itu semua membuatnya merasa hidup.

"Baiklah, kita mulai dengan tes darah dulu," kata dokter Mira sambil memberikan instruksi pada perawat. Aluna mengikuti semua prosedur dengan senyuman yang terus dia pertahankan. Dia tidak ingin memperlihatkan ketakutan atau kesedihan kepada siapa pun, bahkan kepada dirinya sendiri.

Setelah tes selesai, Aluna kembali duduk di ruang tunggu, menunggu hasil yang akan diberikan dokter. Saat itu, dia mengambil ponselnya, membuka galeri foto, dan melihat beberapa foto dirinya yang sedang menari. Di antara foto-foto itu, ada satu foto yang diambil oleh Daniel, di mana dia tampak tertawa lepas setelah latihan. Itu adalah salah satu momen paling bahagia yang dia alami belakangan ini—momen di mana dia tidak memikirkan penyakitnya, hanya kebahagiaan yang murni.

Ponselnya tiba-tiba berbunyi, dan muncul pesan dari Daniel. "Aluna, kamu di mana? Mau latihan sore ini?" tanyanya. Aluna tersenyum, jari-jarinya bergerak di atas layar untuk membalas. "Tentu, aku akan segera ke sana setelah urusanku selesai."

Dia tidak ingin Daniel tahu bahwa "urusannya" adalah kunjungan ke rumah sakit. Bagi Aluna, studio tari dan melodi biola Daniel adalah tempat di mana dia merasa bebas, bebas dari kanker dan segala rasa sakit yang mengikutinya setiap hari. Dia ingin menjaga dunia itu tetap murni, tanpa bayangan penyakit yang selalu menghantui.

Ketika dokter Mira memanggilnya kembali ke ruang konsultasi, Aluna berusaha menenangkan dirinya. Dokter itu tersenyum padanya, tetapi Aluna bisa melihat ada ketenangan yang serius di dalam tatapan mata dokter itu.

"Aluna, hasil tes kita menunjukkan bahwa ada beberapa perkembangan. Mungkin ini saatnya untuk mempertimbangkan jenis pengobatan lain yang lebih intensif. Kita perlu lebih agresif dalam penanganan ke depan," kata dokter Mira dengan nada lembut.

Aluna menelan ludah, hatinya terasa berdenyut. Kata-kata "pengobatan intensif" selalu membuatnya merasa cemas. Namun, dia mengangguk, berusaha menerima semua dengan tabah. "Baik, dokter. Saya siap melakukan apa pun yang perlu."

"Ini akan sulit, Aluna," kata dokter Mira, mencoba menatapnya dalam-dalam, memastikan Aluna mengerti apa yang akan dia hadapi. "Tapi ingat, kamu tidak sendirian. Banyak orang di sekitarmu yang mendukung, termasuk saya."

Aluna hanya bisa tersenyum, meski senyum itu sedikit dipaksakan. Setelah selesai berbicara dengan dokter, dia berjalan keluar rumah sakit dengan langkah perlahan. Angin pagi yang sejuk menyapu wajahnya, dan untuk sesaat, dia memejamkan mata, membiarkan dirinya merasakan ketenangan itu, betapapun singkatnya.

Dia tahu bahwa hidupnya adalah tentang perjuangan, tentang menari dengan waktu yang tidak pernah menunggu. Tetapi dia juga tahu bahwa di dalam setiap detik yang masih dimilikinya, dia ingin mengisinya dengan hal-hal yang membuatnya merasa hidup—menari, bermusik bersama Daniel, dan menciptakan kenangan yang tidak akan pernah hilang.

Ketika dia tiba di studio tari sore itu, Daniel sudah ada di sana, sedang mempersiapkan biolanya. Ketika melihat Aluna, Daniel tersenyum lebar. "Kamu datang juga! Aku sudah tidak sabar untuk latihan hari ini."

Aluna membalas senyumnya, meskipun di balik senyum itu tersimpan semua rasa sakit yang hanya dia yang tahu. "Tentu saja. Ayo mulai," katanya sambil mengikat sepatunya.

Saat mereka mulai latihan, Daniel memainkan melodi lembut, dan Aluna bergerak mengikuti irama itu. Dia menari dengan seluruh jiwa, seolah-olah hari itu adalah hari terakhirnya menari. Setiap putaran, setiap lompatan, terasa seperti sebuah pernyataan kepada dunia bahwa dia masih ada, bahwa dia tidak akan menyerah.

Di setiap dentingan biola yang dimainkan Daniel, Aluna menemukan kekuatan untuk terus tersenyum. Baginya, kebahagiaan bukanlah tentang seberapa lama waktu yang dimiliki, melainkan tentang seberapa indah ia dapat mengisinya—dan sore itu, dengan Daniel di sisinya, dunia terasa sempurna.

Simfoni yang HeningTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang