Pagi itu, Aluna dan Daniel berjalan menyusuri jalan setapak menuju pemakaman. Cuaca cerah dengan sinar matahari yang hangat, tetapi di dalam hati Aluna, awan kelabu menyelimuti perasaannya. Setiap langkah terasa berat, seolah beban kesedihan yang ia pikul semakin menekan dadanya.
“Apakah kamu sudah siap?” tanya Daniel, menoleh ke arah Aluna dengan ekspresi penuh perhatian.
Aluna mengangguk, meski suaranya serak. “Aku rasa ini saatnya untuk memberi penghormatan terakhir padanya.”
Setelah beberapa menit berjalan, mereka tiba di depan makam Leo. Batu nisan berwarna hitam dengan tulisan sederhana mencolok, menandai tempat peristirahatan Leo. Aluna merasakan air mata menggenang di matanya, tapi dia berusaha menahannya. Dia ingin menjadi kuat, tidak hanya untuk dirinya sendiri, tetapi juga untuk mengenang Leo dengan cara yang indah.
“Mungkin kita bisa meninggalkan sesuatu untuknya,” usul Daniel, mengeluarkan seikat bunga dari tasnya. Aluna melihat ke arah bunga-bunga segar itu, simbol cinta dan ingatan.
“Ya, itu ide yang bagus,” jawab Aluna pelan.
Daniel meletakkan bunga-bunga itu di samping batu nisan Leo, dan Aluna pun mengikuti dengan seikat bunga yang dibawanya. Mereka berdua berdiri dalam diam, membiarkan keheningan menyelimuti mereka.
Aluna menatap tulisan di batu nisan: Leo, Teman Sejati dan Pahlawan. Dia merasa kesedihan dan rasa syukur bersatu dalam hatinya. Leo bukan hanya sahabatnya, tetapi juga sosok yang berani dan penuh kasih yang telah memberikan segalanya demi kebahagiaannya.
“Leo…,” ucap Aluna lirih, “aku sangat merindukanmu. Kehilanganmu adalah hal tersulit yang pernah kuhadapi.” Dia mengusap air mata yang mulai jatuh, berusaha untuk tetap tegar.
Daniel berdiri di sampingnya, memberikan dukungan tanpa kata. Dia tahu betapa dalamnya perasaan Aluna terhadap Leo.
“Leo selalu percaya padamu, Aluna,” kata Daniel lembut. “Dia ingin kamu terus melangkah dan mencapai semua impianmu. Sekarang, kita harus melakukan itu untuknya.”
Aluna mengangguk, merasa sedikit terhibur oleh kata-kata Daniel. “Aku berjanji akan terus menari untuknya. Setiap gerakan akan mengingatkanku pada semua kenangan indah yang kami bagi.”
Mereka terdiam sejenak, merenungkan kenangan-kenangan yang mengikat mereka dengan Leo. Suara angin yang berhembus membawa harum bunga-bunga, seolah-olah mengingatkan mereka bahwa meskipun Leo telah pergi, kenangannya akan selalu hidup di dalam hati mereka.
“Aku tidak ingin melupakan semuanya, Daniel,” ucap Aluna dengan penuh emosi. “Leo telah mengubah hidupku. Aku ingin dia tahu betapa berartinya dia bagiku.”
Daniel menepuk bahunya, memberikan semangat. “Kita tidak akan melupakan Leo. Kita akan mengingatnya dalam cara kita hidup dan mencintai.”
Aluna menatap Daniel, merasakan kehangatan persahabatan yang menguatkan dirinya. “Terima kasih telah bersamaku hari ini. Aku tidak tahu apa yang akan kulakukan tanpa dukunganmu.”
Daniel tersenyum, “Aku akan selalu ada untukmu, Aluna. Kita akan melewati ini bersama.”
Mereka menghabiskan beberapa saat lagi di makam, merenungkan perjalanan yang telah mereka lalui dan semua pelajaran yang telah mereka ambil dari cinta dan kehilangan. Ketika saatnya tiba untuk pergi, Aluna merasa seolah beban di hatinya sedikit berkurang. Dia tahu Leo akan selalu menjadi bagian dari hidupnya, dan dengan tekad baru, dia berjanji untuk menjalani hidupnya sepenuh hati demi menghormati ingatan Leo.
Saat mereka berjalan menjauh dari makam, Aluna merasa seolah ada cahaya baru yang mulai muncul dalam hidupnya. Dia tidak bisa melupakan Leo, tetapi dia bisa mengubah rasa sakit itu menjadi semangat untuk terus maju, dan itulah yang dia rencanakan untuk lakukan.
KAMU SEDANG MEMBACA
Simfoni yang Hening
RomanceAluna duduk di lantai studio, mengatur napas "Kadang aku merasa seperti menari di antara bayangan. Setiap gerakan terasa lebih berat dari sebelumnya. Aku hanya ingin sekali lagi merasakan kebebasan itu..." Daniel memainkan biola dengan lembut "Tari...