Keputusan

0 0 0
                                    

Setelah menghabiskan waktu berharga di pantai, Leo mengantarkan Aluna pulang dengan sepeda motor. Malam itu terasa tenang, dan bintang-bintang berkilauan di langit gelap. Aluna duduk di belakang Leo, merasakan angin malam yang segar dan senyuman di wajahnya. Dia merasa beruntung memiliki Leo di sisinya, terutama setelah pengakuan yang baru saja mereka bagikan.

“Terima kasih untuk hari yang indah ini, Leo,” kata Aluna, suaranya lembut. “Aku merasa sangat bahagia.”

Leo menoleh sejenak, tersenyum. “Aku senang mendengarnya. Kamu layak merasakan kebahagiaan, Aluna. Selama kita bisa, aku ingin memastikan setiap harimu berharga.”

Namun, kebahagiaan mereka seketika terputus ketika sebuah mobil tiba-tiba melaju kencang dari arah berlawanan. Leo berusaha menghindar, tetapi tabrakan tak terhindarkan. Dalam sekejap, motor mereka terbalik, dan Aluna terlempar jauh ke sisi jalan, sementara Leo terjatuh di sebelahnya, tubuhnya tergeletak tak berdaya.

---

Aluna membuka matanya, berusaha bangkit, tetapi kepalanya berputar dan pandangannya kabur. Dia melihat sekeliling, dan semua terasa blur. Suara sirene ambulans terdengar mendekat, tetapi rasa cemas mulai menyelimuti pikirannya. “Leo!” teriaknya, berusaha mencari sosoknya.

Beberapa saat kemudian, tim medis tiba dan mulai memeriksa kondisi mereka. Aluna mendapati Leo tergeletak di tanah, dengan luka parah di seluruh tubuhnya. “Leo, bangunlah!” jeritnya, merasa ketakutan. Namun, Leo tidak bergerak.

Tim medis segera mengangkut Leo ke dalam ambulans, dan Aluna ditolong untuk masuk ke ambulans lainnya. Dalam perjalanan ke rumah sakit, rasa sakit dan ketakutan menggerogoti Aluna. “Dia harus baik-baik saja,” pikirnya berulang kali. “Dia harus bisa bertahan.”

Setibanya di rumah sakit, dokter segera melakukan tindakan darurat. Aluna duduk di kursi roda, menatap cemas ketika mereka membawa Leo ke ruang operasi. Setelah beberapa saat, seorang dokter keluar dengan wajah serius. “Dia mengalami luka parah, tetapi kami akan berusaha sebaik mungkin,” kata dokter itu.

Rasa cemas menyelimuti Aluna. Dia tidak ingin kehilangan Leo. Ketika Leo berada di ruang perawatan intensif, Aluna merasa gelisah. Dia tidak bisa mengabaikan pikiran tentang apa yang mungkin terjadi.

Beberapa jam kemudian, Leo terbangun dari kondisi kritis. Aluna mendengar suara lirihnya memanggil namanya. Dia bergegas masuk ke ruangan. “Leo! Kamu bangun!” serunya penuh haru.

Leo tersenyum lemah, meski wajahnya tampak pucat. “Aluna… aku…” Dia terbatuk, dan Aluna melihat kesakitan di matanya. “Aku tidak punya banyak waktu.”

“Jangan katakan itu! Kamu akan sembuh. Kami akan melewati ini bersama,” jawab Aluna, berusaha meyakinkan dirinya sendiri.

Leo menggenggam tangan Aluna, “Aku… sudah memikirkan segalanya. Jika ini bisa menyelamatkanmu, aku ingin mendonorkan ginjalku. Aku tidak bisa membiarkanmu pergi begitu saja.”

Aluna terkejut, “Leo, tidak! Kamu tidak bisa melakukan itu. Kami bisa mencari solusi lain.”

“Tidak ada waktu. Aku merasa tubuhku tidak akan bertahan lama. Dan jika aku bisa memberi bagian dari diriku untuk membuatmu hidup, maka aku akan melakukannya,” katanya dengan tegas, meski suaranya mulai melemah.

Aluna menangis mendengar kata-kata Leo. “Tapi aku tidak bisa kehilanganmu!”

“Lihatlah ke mataku, Aluna. Aku ingin kamu hidup. Aku ingin kamu mengejar impianmu. Dan jika ini cara untuk membuatnya terjadi, maka aku akan melakukannya,” ucapnya. “Berjanji padaku, kamu akan terus melangkah dan tidak akan berhenti bermimpi.”

Dengan air mata mengalir, Aluna mengangguk. “Aku berjanji, Leo. Tapi aku tidak ingin kamu pergi.”

Leo mengeluarkan kertas dari sakunya, menggenggamnya dengan lemah. “Ini… surat untukmu. Bacalah nanti, ya?”

“Leo, jangan bilang kalau ini adalah…,” suara Aluna mulai tertahan oleh kesedihan.

“Ssshhh… semuanya akan baik-baik saja,” katanya, sebelum terbatuk lagi.

Tim medis datang, dan mereka mulai mempersiapkan Leo untuk prosedur donasi organ. Aluna merasakan hatinya hancur, tetapi dia tahu dia tidak bisa menghentikan keputusan Leo. Dia merasakan kebanggaan dan kesedihan yang mendalam, campur aduk dalam dirinya.

“Aku mencintaimu, Aluna,” Leo berbisik, suara terakhirnya yang membuat Aluna tergetar. “Selalu ingat itu.”

Kemudian, Leo dibawa ke ruang operasi, dan Aluna berdoa di luar sana, berharap keajaiban terjadi. Setelah beberapa waktu, dokter keluar, memberi tahu bahwa operasi berjalan dengan baik. Namun, Leo mengalami luka yang sangat parah dan mungkin tidak bisa bertahan.

Waktu berlalu, dan Aluna terdiam dengan surat di tangan, air mata tidak berhenti mengalir. Dia merasakan ketidakpastian, rasa sakit, dan kerinduan yang mendalam. Dalam hatinya, dia tahu dia harus membaca surat itu, untuk Leo.

“Untuk Aluna,” bunyi surat itu. Dia membacanya pelan, merasakan setiap kata yang ditulis Leo:

"Jika kau membaca ini, berarti aku sudah pergi. Jangan bersedih, karena aku selalu ada di hatimu. Hidupmu adalah harapan dan kebahagiaanku. Teruslah bermimpi dan jangan pernah berhenti menari. Jadikan setiap momen berarti, meskipun tanpa aku. Aku mencintaimu, Aluna. Selamanya."

Surat itu membuat hati Aluna teriris, tetapi sekaligus memberinya kekuatan untuk melanjutkan hidup, seperti yang diinginkan Leo. Dia berjanji akan menghormati cinta dan pengorbanannya, berjuang untuk hidup dengan sepenuh hati dan mengingat semua kenangan indah yang mereka ciptakan bersama.

Aluna tahu bahwa dia harus berjuang, tidak hanya untuk dirinya sendiri tetapi juga untuk Leo. Dalam jiwanya, dia akan selalu membawa cintanya, berusaha menjalani hidup sepenuhnya dengan semangat yang ditinggalkannya.

Simfoni yang HeningTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang