Aluna, Daniel, dan Leo duduk dalam ruang tunggu rumah sakit. Suasana di sekeliling mereka terasa tegang, dan ketidakpastian menghantui pikiran Aluna. Dia bisa merasakan detak jantungnya yang semakin cepat, seperti lagu yang dimainkan oleh orkestra dengan tempo yang semakin mendesak. Daniel dan Leo duduk di sampingnya, berusaha untuk memberikan semangat, tetapi Aluna bisa melihat kekhawatiran di mata mereka.
Akhirnya, dokter keluar dari ruangan, wajahnya serius. Aluna merasakan jantungnya bergetar saat dokter mendekat. “Aluna, saya perlu berbicara denganmu,” kata dokter dengan suara lembut.
“Apakah ada yang salah?” tanya Aluna, mencoba bersikap tenang meskipun ketakutan menyelimuti hatinya.
“Setelah pemeriksaan dan tes yang kami lakukan, kami menemukan bahwa kanker yang kamu derita sudah berada pada tahap akhir,” dokter menjelaskan. “Kami memperkirakan bahwa sisa hidupmu kurang dari satu tahun.”
Kata-kata dokter seperti petir yang menyambar di siang bolong. Aluna merasa dunia di sekelilingnya berhenti sejenak. Dia menatap dokter dengan tatapan kosong, tidak percaya dengan apa yang baru saja dia dengar. Daniel dan Leo langsung mengerutkan dahi, ekspresi wajah mereka berubah menjadi cemas.
“Apakah ada harapan?” tanya Daniel, suaranya bergetar. “Ada sesuatu yang bisa kita lakukan?”
Dokter menggelengkan kepala. “Kami akan melakukan yang terbaik untuk mengurangi rasa sakit dan memberi dukungan. Namun, kami tidak bisa mengubah diagnosis ini. Penting untuk fokus pada kualitas hidup dan menghabiskan waktu bersama orang-orang yang kamu cintai.”
Aluna merasakan air mata mengalir di pipinya. “Saya tidak bisa… saya tidak siap untuk ini,” ucapnya, suaranya pecah. “Aku ingin menari, aku ingin hidup lebih lama.”
Daniel menggenggam tangan Aluna, berusaha menguatkannya. “Kita akan berjuang bersama, Aluna. Kami tidak akan membiarkanmu menghadapi ini sendirian,” katanya, berusaha menahan air mata.
Leo menambahkan, “Kita masih punya waktu. Mari kita gunakan waktu ini sebaik-baiknya. Kita bisa menciptakan kenangan yang indah.”
Aluna mengangguk, tetapi hatinya terasa hancur. Dia ingin mempercayai kata-kata mereka, tetapi perasaan putus asa menyelimutinya. “Bagaimana jika aku tidak bisa bertahan? Bagaimana jika aku…?” suaranya hilang, tidak mampu melanjutkan kalimatnya.
“Jangan berbicara seperti itu,” Daniel berkata tegas. “Kita akan membuat setiap hari berarti. Kita akan menghabiskan waktu bersamamu dan menciptakan kenangan indah. Kamu tidak sendirian, Aluna.”
Setelah berbincang dengan dokter, mereka semua duduk di ruang tunggu yang sepi, merenungkan kabar buruk yang baru saja diterima. Dalam keheningan, Aluna merasa seolah-olah waktu berjalan sangat lambat. Semua momen indah yang dia impikan terasa mulai memudar.
Tiba-tiba, Aluna mengangkat kepalanya. “Aku ingin menari lagi. Aku ingin melakukan pertunjukan yang terakhir. Ini mungkin bukan hanya untukku, tetapi untuk kalian, agar kalian bisa mengingatku dengan cara yang indah.”
Daniel dan Leo saling tatap, kemudian Leo mengangguk. “Itu ide yang bagus. Kita bisa merencanakan pertunjukan yang istimewa.”
Daniel menambahkan, “Ya, kita akan bekerja keras untuk mewujudkannya. Kita akan membuat pertunjukan yang akan dikenang selamanya.”
Aluna tersenyum tipis, meskipun hatinya penuh rasa sakit. Dia tahu bahwa waktu yang tersisa tidak akan mudah, tetapi dia merasa semangatnya mulai membara kembali. Dia ingin menari bukan hanya untuk dirinya sendiri, tetapi juga untuk orang-orang yang dicintainya.
Dengan tekad baru, Aluna memegang tangan Daniel dan Leo. “Mari kita buat waktu ini berarti,” ucapnya, suara penuh harapan. “Mari kita ciptakan kenangan indah yang akan selalu ada di hati kita.”
Daniel dan Leo mengangguk, dan mereka bertiga saling menggenggam tangan, bersatu dalam harapan dan cinta yang tak terpisahkan. Dalam perjalanan yang penuh tantangan ini, Aluna tahu bahwa dia tidak akan pernah benar-benar sendirian. Bersama teman-temannya, dia akan berjuang hingga akhir, menciptakan kenangan yang akan abadi.
KAMU SEDANG MEMBACA
Simfoni yang Hening
RomanceAluna duduk di lantai studio, mengatur napas "Kadang aku merasa seperti menari di antara bayangan. Setiap gerakan terasa lebih berat dari sebelumnya. Aku hanya ingin sekali lagi merasakan kebebasan itu..." Daniel memainkan biola dengan lembut "Tari...