Malam itu hujan turun deras, angin meniupkan daun-daun yang sudah jatuh ke jalanan. Di dalam kamar kecilnya di panti asuhan, Daniel duduk memeluk biolanya, merasakan setiap nada yang muncul seolah menceritakan kisah yang tak dapat dia ucapkan. Melodi yang dia mainkan adalah sebuah nostalgia, melodi yang membawanya kembali pada kenangan pahit masa lalunya.
Daniel masih ingat hari itu dengan sangat jelas, meskipun dia mencoba melupakannya setiap kali terlintas di benaknya. Dia baru berusia sembilan tahun ketika semuanya berubah. Kehidupan yang penuh kehangatan dan kasih sayang tiba-tiba menghilang dalam sekejap. Suatu pagi, ibunya pergi bekerja seperti biasa. "Jangan lupa makan siang ya, sayang," pesan terakhir ibunya yang terdengar lembut. Namun, hari itu, Daniel tidak pernah lagi mendengar suara ibunya yang menenangkan.
Kecelakaan tragis terjadi, membawa ibunya pergi selamanya. Ketika berita itu disampaikan kepadanya, dunia Daniel terasa runtuh. Sosok yang selalu melindungi dan mencintainya dengan sepenuh hati telah tiada. Dia melihat dirinya kecil, menangis tersedu-sedu, memanggil ibunya dalam keputusasaan. Tidak ada pelukan yang bisa meredakan rasa sakit yang dia rasakan saat itu. Rumah yang dahulu hangat, kini menjadi dingin dan sunyi, seolah-olah tak lagi ada kehidupan di sana.
Dan itulah awal dari semua penderitaan yang semakin menumpuk. Kehilangan ibunya hanyalah permulaan. Ayahnya, seorang pria yang pada awalnya juga hancur karena kehilangan, perlahan berubah menjadi sosok yang berbeda. Kesedihan itu berubah menjadi kemarahan. Ayah Daniel mulai sering minum alkohol, dan setiap kali mabuk, dia berubah menjadi sosok yang tidak dapat dikenali. Amarahnya meledak-ledak, dan Daniel sering menjadi pelampiasannya. Pukulan demi pukulan datang tanpa alasan yang jelas. Kesalahan kecil yang sepele, seperti cangkir yang pecah atau lantai yang tidak bersih, menjadi alasan ayahnya untuk memukulnya.
Daniel tumbuh dalam ketakutan, setiap malam berharap bahwa ayahnya akan berubah, atau setidaknya berhenti menyakitinya. Tapi harapan itu tidak pernah terwujud. Ketika ayahnya menikah lagi dengan seorang wanita yang asing bagi Daniel, dia tahu bahwa hidupnya tidak akan menjadi lebih baik. Wanita itu tidak pernah menyukai kehadiran Daniel, selalu menganggapnya sebagai beban. Kehadiran Daniel dalam rumah itu hanya membuat keadaan semakin buruk.
Satu malam yang sangat diingat Daniel adalah ketika perkelahian besar terjadi antara ayahnya dan ibu tiri barunya. Perkelahian yang berakhir dengan teriakan, piring-piring yang pecah, dan keputusan ayahnya untuk membuangnya ke panti asuhan. "Kamu bukan tanggung jawabku lagi!" teriak ayahnya, dan di situlah, di depan pintu panti asuhan, Daniel ditinggalkan tanpa banyak penjelasan. Tanpa pelukan, tanpa selamat tinggal.
Panti asuhan itu menjadi rumah baru bagi Daniel, tetapi bukan rumah yang dia inginkan. Dia merasa asing, sendirian di antara anak-anak lain yang memiliki cerita serupa, semuanya ditinggalkan dengan alasan yang berbeda. Namun, di tempat itu, Daniel menemukan sesuatu yang tidak pernah dia duga akan menemukannya—sebuah biola tua yang berdebu di sudut ruangan.
Biola itu menjadi pelariannya, satu-satunya cara untuk mengekspresikan semua rasa sakit yang tidak bisa dia ungkapkan dengan kata-kata. Setiap kali dia memetik dawai biola dan menggesek busurnya, dia merasakan sedikit kebebasan. Musik menjadi teman setianya, teman yang tidak akan menghakimi atau meninggalkannya. Melalui melodi, dia bisa mengingat ibunya dalam kenangan-kenangan indah yang perlahan memudar. Biola itu adalah penghubung terakhir yang dia miliki dengan masa lalu yang penuh kasih sayang.
Hari-hari di panti asuhan berlalu, dan musik menjadi satu-satunya cahaya dalam hidupnya yang gelap. Daniel berlatih setiap hari, memainkan biola di sudut taman panti asuhan, di mana tidak ada yang bisa mendengarnya menangis. Dia memainkan nada-nada sedih, mengungkapkan kemarahan dan keputusasaan yang dia simpan dalam hatinya selama ini. Musiknya bercerita tentang kehilangan, rasa sakit, dan harapan yang teramat tipis. Musik yang membawa dirinya jauh dari realita yang keras, ke tempat di mana ibunya masih ada, tersenyum, menyambutnya pulang.
Suatu hari, seorang pengasuh panti bernama Pak Ahmad melihat Daniel bermain biola di taman. Pak Ahmad terpesona dengan bakat Daniel, dan untuk pertama kalinya, ada seseorang yang mendengarkannya tanpa rasa iba, tapi dengan kekaguman. "Daniel, kamu punya bakat yang luar biasa," kata Pak Ahmad suatu sore. "Aku akan membantumu belajar lebih banyak. Mungkin suatu hari nanti, musik akan membawa kamu keluar dari sini."
Kata-kata Pak Ahmad memberikan harapan baru dalam hidup Daniel. Untuk pertama kalinya setelah sekian lama, dia merasa bahwa ada tujuan dalam hidupnya, sesuatu yang bisa dia kejar selain sekadar bertahan hidup. Daniel mulai berlatih dengan lebih tekun, menaruh seluruh jiwanya dalam setiap melodi. Dia tidak tahu ke mana musik ini akan membawanya, tetapi dia merasa bahwa selama dia punya biola, dia punya alasan untuk terus melangkah.
Kini, di studio tempat ia berlatih bersama Aluna, Daniel duduk memeluk biolanya, memikirkan betapa jauh hidupnya telah membawanya. Dari malam-malam yang penuh ketakutan di rumahnya dahulu, dari rasa kesepian di panti asuhan, hingga sekarang, duduk di samping seseorang yang benar-benar memahami musiknya. Dia tidak pernah menyangka bahwa musik yang dulu menjadi satu-satunya pelariannya, kini juga menjadi jembatan yang menghubungkannya dengan Aluna.
Meskipun masa lalunya kelam, Daniel tahu bahwa dia telah menemukan alasan baru untuk bertahan dan melangkah maju. Melodi-melodi biola yang dulu hanya berisi kesedihan kini mulai berubah. Bersama Aluna, dia memainkan melodi yang berbeda, melodi yang berisi harapan, semangat, dan kebebasan yang mungkin belum sepenuhnya dia raih, tapi sudah mulai terasa mendekat.
KAMU SEDANG MEMBACA
Simfoni yang Hening
RomanceAluna duduk di lantai studio, mengatur napas "Kadang aku merasa seperti menari di antara bayangan. Setiap gerakan terasa lebih berat dari sebelumnya. Aku hanya ingin sekali lagi merasakan kebebasan itu..." Daniel memainkan biola dengan lembut "Tari...