Studio tari yang sederhana itu menjadi saksi bisu pertemuan dua jiwa yang terluka. Aluna dengan gerakan baletnya yang anggun namun penuh perjuangan, dan Daniel dengan biola yang selalu memancarkan kesedihan mendalam dari masa lalunya. Setiap sore, studio itu diisi dengan harmoni yang berbeda—gabungan dari gerak dan nada, sebuah kolaborasi antara harapan dan kesedihan yang bersama-sama menciptakan keindahan.
Sore itu, Aluna tiba lebih awal. Dia ingin memastikan tubuhnya siap untuk latihan hari ini. Saat itu, rasa sakit di tubuhnya mulai menjadi hal yang tak terhindarkan, tapi seperti biasa, dia tersenyum, menutupi semua itu dari semua orang. Sebelum Daniel tiba, dia berdiri di depan cermin besar di studio, memulai pemanasan sambil menatap refleksinya. Di cermin itu, dia melihat seorang gadis yang terlihat kuat, tetapi dia tahu betul bahwa cermin tidak selalu memperlihatkan yang sebenarnya.
Ketika Daniel datang, dia melihat Aluna sudah menari dengan anggun, seolah-olah rasa sakit dan kelelahan tidak pernah menyentuhnya. Daniel tersenyum kecil saat melihat betapa bersemangatnya Aluna. Meskipun mereka tidak pernah berbicara tentang apa yang menyakiti mereka di masa lalu, ada pemahaman diam-diam di antara mereka. Mereka berdua tahu bahwa mereka berjuang melawan hal-hal yang tidak terlihat oleh orang lain.
"Aluna, kau siap?" tanya Daniel, membuka kotak biolanya dan mengambil instrumen itu dengan hati-hati.
"Tentu saja," jawab Aluna sambil tersenyum cerah, seolah-olah tidak ada rasa sakit di dunia ini yang mampu menghalanginya.
Daniel menggesek biolanya, dan melodi pertama yang keluar adalah nada-nada lembut, nada yang bisa menenangkan jiwa. Aluna mulai bergerak, kaki-kakinya melayang di atas lantai kayu studio, setiap gerakan begitu sempurna. Bagi Aluna, musik Daniel adalah tempat pelariannya, sebuah dunia di mana rasa sakit dan kanker tidak lagi menjadi kenyataan.
Selama mereka berlatih, ada momen-momen di mana mata mereka bertemu, dan meskipun tidak ada kata yang terucap, semuanya terasa jelas. Ada ketulusan dalam melodi Daniel yang menyentuh Aluna lebih dalam daripada yang bisa ia ungkapkan dengan kata-kata. Di setiap dentingan biola yang dia dengar, Aluna menemukan kekuatan, seolah-olah Daniel sedang memberitahunya bahwa dia tidak sendirian dalam perjuangannya.
"Melodimu hari ini sangat indah, Daniel," kata Aluna sambil tersenyum setelah mereka berlatih beberapa kali.
"Terima kasih," jawab Daniel, sedikit ragu. Dia terdiam sesaat sebelum akhirnya bertanya, "Tapi Aluna, kamu yakin tidak memaksakan diri? Aku bisa melihat kamu terlihat sangat lelah tadi."
Aluna tersenyum lemah. Dia sudah terbiasa dengan pertanyaan seperti itu, tetapi setiap kali mendengarnya dari Daniel, ada sesuatu yang berbeda. Seolah-olah dia merasa dilihat dengan cara yang benar-benar tulus. "Aku baik-baik saja, Daniel. Kadang lelah, tapi aku rasa itu normal, bukan?"
Daniel menatapnya lebih lama dari biasanya, seolah-olah dia sedang mencoba membaca sesuatu yang lebih dalam. Namun, dia akhirnya mengangguk pelan. "Selama kamu merasa baik-baik saja, aku tidak akan memaksamu."
Suasana di dalam studio terasa tenang dan hangat ketika sore semakin larut. Aluna tahu bahwa dia tidak bisa terus menyembunyikan kenyataan selamanya, tetapi dia ingin menikmati saat-saat seperti ini, ketika semua terasa begitu indah dan sempurna. Baginya, saat-saat ini adalah waktu di mana dia merasa paling hidup.
Sementara itu, di benak Daniel, ada sesuatu yang terus menghantuinya. Dia melihat betapa kerasnya Aluna berjuang, dan meskipun dia tidak tahu apa yang sebenarnya terjadi pada gadis itu, dia bisa merasakan ada sesuatu yang tidak dikatakannya. Setiap kali mereka bersama, ada kesedihan yang tidak terucap dalam senyuman Aluna. Hal itu mengingatkannya pada masa lalu dirinya sendiri, ketika dia berusaha menutupi semua rasa sakit dan kehilangan dengan senyuman yang pura-pura.
Latihan hari itu berakhir saat matahari mulai menghilang di balik cakrawala. Mereka berdua duduk di tepi studio, menikmati keheningan setelah latihan yang melelahkan. Daniel meletakkan biolanya di samping dan menatap Aluna. "Aku tidak tahu bagaimana harus mengatakannya, tapi aku merasa kamu sedang menanggung sesuatu yang berat," kata Daniel, suaranya pelan.
Aluna menoleh, menatap mata Daniel yang penuh perhatian. "Kita semua punya beban masing-masing, Daniel. Kau juga pasti pernah merasa begitu, kan?" jawabnya, sambil berusaha mempertahankan senyumnya.
Daniel tersenyum kecil. "Ya, kau benar," katanya, menunduk dan mengambil biolanya lagi. "Tapi kadang, rasanya lebih mudah kalau ada seseorang yang mengerti."
Aluna terdiam sejenak. Kata-kata Daniel menyentuhnya, membuat hatinya terasa hangat sekaligus berat. Ada keinginan untuk membuka diri, untuk memberitahu Daniel bahwa ia sedang menghadapi sesuatu yang tidak mudah. Namun, ketakutan akan melihat simpati di mata Daniel lebih besar daripada keberanian untuk berkata jujur. Dia tidak ingin dilihat sebagai gadis lemah yang sakit. Dia ingin dilihat sebagai seseorang yang kuat, yang bisa menghadapi semuanya dengan senyuman.
"Aku tahu, Daniel," kata Aluna akhirnya. "Dan aku berterima kasih karena kamu ada di sini, karena musikmu benar-benar membuatku merasa lebih baik."
Daniel tersenyum dan mengangguk, kemudian mulai memainkan melodi lagi, melodi yang lembut dan menenangkan, memenuhi studio yang kini mulai gelap. Aluna menutup matanya, membiarkan dirinya terhanyut oleh nada-nada itu. Dalam kegelapan, hanya ada dia dan suara biola Daniel, dan dalam sejenak, semua rasa sakit dan kekhawatiran menghilang.
Di antara nada dan gerakan mereka, ada keindahan yang sulit dijelaskan, sesuatu yang lebih dalam daripada sekadar kolaborasi antara musik dan tarian. Mungkin karena mereka berdua memahami apa artinya bertahan, memahami bagaimana rasanya berjuang sendirian, dan bagaimana akhirnya menemukan seseorang yang meskipun tidak bisa menghilangkan rasa sakit, tetapi bisa membuat rasa itu lebih ringan dengan kebersamaan.
Malam semakin larut ketika mereka berpisah di depan studio. Aluna berjalan pulang dengan langkah pelan, dan dalam hatinya, dia berharap agar suatu saat dia bisa menceritakan semuanya kepada Daniel. Namun untuk saat ini, dia ingin menjaga rahasia itu sendirian. Dia ingin melindungi Daniel dari rasa sakit mengetahui kebenaran tentangnya. Karena baginya, setiap tawa yang mereka bagi, setiap melodi yang mereka ciptakan bersama, adalah harta yang berharga—sesuatu yang ingin dia simpan sebaik mungkin, selama masih ada waktu.
Di sisi lain, Daniel menatap punggung Aluna yang perlahan menghilang di balik sudut jalan, merasa ada sesuatu yang tersimpan di balik senyum gadis itu. Dia berjanji pada dirinya sendiri bahwa, suatu saat, dia akan mengetahui apa yang sebenarnya terjadi. Karena, di hatinya, dia tahu bahwa Aluna adalah orang yang pantas untuk diperjuangkan, seperti halnya musik yang selalu menjadi pelariannya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Simfoni yang Hening
RomantizmAluna duduk di lantai studio, mengatur napas "Kadang aku merasa seperti menari di antara bayangan. Setiap gerakan terasa lebih berat dari sebelumnya. Aku hanya ingin sekali lagi merasakan kebebasan itu..." Daniel memainkan biola dengan lembut "Tari...