Aluna terbangun di pagi yang cerah. Cahaya matahari menerobos jendela kamarnya, memantulkan kehangatan yang membuatnya merasa seolah hari itu bisa menjadi hari yang berbeda. Meskipun rasa sakit masih mengintai, dia bertekad untuk menjalani hari ini dengan semangat. Setelah berpakaian, dia mengisi perutnya dengan sarapan ringan sebelum berangkat ke studio.
Setelah tiba di studio tari, suasana sudah ramai. Para penari lain sedang mempersiapkan diri untuk latihan pagi. Aluna merasa sedikit gugup, tetapi semangatnya kembali pulih saat dia memasuki studio. Dia menyapa Bu Rina dan rekan-rekannya, berusaha keras untuk menyembunyikan rasa sakit yang menggerogoti.
Hari itu, latihan difokuskan pada persiapan pertunjukan mendatang. Aluna melangkah ke tengah studio, membiarkan musik mengalir melalui tubuhnya. Setiap gerakan yang dia lakukan seakan menjadi ungkapan dari harapannya untuk masa depan yang lebih baik. Namun, ketika latihan semakin intens, rasa sakit di tubuhnya kembali muncul, menjalar dari pinggang hingga kakinya. Dia berusaha bertahan, tetapi kali ini lebih sulit dari sebelumnya.
Setelah latihan selesai, saat Aluna bersiap untuk pulang, dia melihat seorang pemuda tampan berdiri di sudut studio, memegang biola. Suara biolanya lembut, mengalun seperti angin yang menari di antara pepohonan. Aluna merasa tertarik dan mendekat, tidak bisa menahan rasa ingin tahunya.
"Hey, aku baru pindah ke sini," katanya dengan senyum hangat. "Aku sangat senang bisa melihat penari berbakat di studio ini."
Aluna tersenyum malu. "Kamu bermain biola dengan sangat indah," ujarnya, mengagumi keindahan suara yang dihasilkan pemuda itu.
"Terima kasih," balasnya dengan rendah hati. "Musik adalah cara aku mengungkapkan diri. Aku berharap bisa mengiringi tarianmu suatu hari nanti."
Mendengar tawaran itu, hati Aluna bergetar. Ada koneksi yang kuat di antara mereka. Mereka mulai berbicara, dan Aluna mendapati dirinya merasa nyaman dengan Daniel. Dalam perbincangan itu, mereka berbagi cerita tentang mimpi dan tantangan hidup masing-masing.
"Aku ingin tampil di panggung utama," ungkap Aluna, matanya berbinar. "Tapi terkadang, aku merasa terjebak oleh hal-hal yang menghalangiku..."
"Apa yang menghalangimu?" tanya Daniel dengan perhatian yang tulus.
Aluna terdiam sejenak, berpikir bagaimana menjelaskan beban yang dia pikul. "Oh, kadang-kadang hal-hal kecil mengganggu. Aku yakin semua orang punya tantangan masing-masing, kan?"
Daniel mengangguk, tetapi dia merasakan ada sesuatu yang lebih dalam di balik kata-kata Aluna. "Iya, kita semua punya perjuangan. Tapi kita bisa saling menguatkan. Musik dan tari bisa menjadi penyembuh."
Saat mendengar kata-kata itu, ada harapan baru yang tumbuh dalam diri Aluna. Dia mulai membayangkan pertunjukan yang bisa menggabungkan musik dan tarian mereka.
"Apa kau mau mencoba membuat pertunjukan bersama?" Aluna mengusulkan. "Aku bisa menari, dan kamu bisa bermain biola."
"Wow, itu ide yang luar biasa!" seru Daniel, matanya berbinar. "Aku suka sekali."
Mereka sepakat untuk menjadwalkan latihan bersama, dan Aluna merasakan kegembiraan baru dalam hatinya. Hari-hari berikutnya dipenuhi dengan latihan. Aluna dan Daniel menghabiskan waktu bersama di studio, menggabungkan gerakan tari dan melodi biola. Setiap kali mereka berlatih, Aluna merasa semangatnya kembali hidup. Daniel menjadi sumber inspirasi, membantunya menemukan kekuatan untuk terus berjuang meskipun ada rasa sakit yang selalu mengintai.
Namun, semakin dekat mereka, semakin dalam rasa sakit yang dialami Aluna. Dia berusaha menyembunyikannya dari Daniel, tidak ingin terlihat lemah di hadapan orang yang baru saja dia temui. Ketika Daniel menanyakan keadaannya, Aluna selalu menjawab, "Aku baik-baik saja," meskipun dia merasakan tubuhnya menolak.
Suatu sore, setelah latihan yang panjang, Aluna merasa pusing. Dia berusaha tetap berdiri, tetapi kakinya terasa lemah, dan pandangannya mulai kabur.
"Aluna, kamu baik-baik saja?" tanya Daniel dengan khawatir, memperhatikan perubahan pada wajahnya. "Kau terlihat pucat."
"Ya, aku baik-baik saja," jawab Aluna sambil tersenyum, mencoba mengalihkan perhatian. "Hanya sedikit lelah setelah latihan yang panjang."
"Kalau begitu, ayo kita istirahat sebentar," kata Daniel, mengajak Aluna duduk di bangku taman dekat studio. Dia mulai memainkan lagu lembut di biolanya, menciptakan suasana tenang di sekitar mereka. Aluna mendengarkan, membiarkan melodi itu menenangkan pikirannya.
"Terima kasih, Daniel," Aluna berkata tulus. "Musikmu selalu membuatku merasa lebih baik."
"Aku akan selalu ada di sini untukmu," Daniel menegaskan. "Kita akan melalui ini bersama-sama."
Malam itu, saat Aluna kembali ke rumah, dia merenungkan perasaannya terhadap Daniel. Dia mulai menyadari bahwa cinta dan harapan bisa muncul di tempat yang tak terduga. Namun, bayang-bayang penyakitnya selalu mengintai, mengingatkannya akan batasan yang harus dia hadapi.
Ketika Aluna memejamkan mata, suara biola Daniel mengalun lembut di dalam pikirannya, mengisi ruang kosong yang ada di dalam hatinya. Dia berdoa agar hari-hari ke depan membawa lebih banyak harapan dan kebahagiaan, meskipun dia tahu bahwa perjalanan ini tidak akan mudah. Dalam hatinya, Aluna tahu bahwa dia tidak akan melawan sendirian.
Daniel dirgantara
KAMU SEDANG MEMBACA
Simfoni yang Hening
RomanceAluna duduk di lantai studio, mengatur napas "Kadang aku merasa seperti menari di antara bayangan. Setiap gerakan terasa lebih berat dari sebelumnya. Aku hanya ingin sekali lagi merasakan kebebasan itu..." Daniel memainkan biola dengan lembut "Tari...