Ini buruk. Benar-benar sangat buruk.
Aku kira terjebak disini bersama Mas Gun, Daisuke dan yang lain tidak akan berdampak pada kota Neo Tokarta sendiri. Aku salah. Sangat salah.
Voidwalkers merupakan kumpulan peretas yang pintar. Aku harus mengakuinya. Di saat kami semua sibuk menghadapi sebagian dari mereka, sisanya melancarkan serangan langsung ke pusat kota Neo Tokarta, membuat kekacauan besar.
Dan itu hanya satu dari sekian banyak lagi kabar buruk yang berjatuhan bagaikan tombak yang menghujam dari angkasa, karena tepat setelah Abispa menghilang dari layar monitor di markas Para Pemberontak, Hawkwatch menggantikannya.
"Happy havoc and despair day, everyone." Wanita penyihir itu tersenyum. "Abispa baru memberitahu kalian garis-garis kecil dari kiamat yang sedang terjadi."
Latar tempat di layar berpindah ke suatu tempat yang gelap, memperlihatkan tiga orang yang terlihat diikat - sebagian dirantai - dengan mulut disumpal oleh kain.
Mataku membesar. Daisuke terbelalak. Mas Gun berseru tertahan.
"Arif!"
"Yuri!"
"Alvendra!"
Hawkwatch terkekeh. "Ini juga adalah bagian dari ancaman kami. Serahkan detektif itu, atau menyerah, atau kalian yang mati bersama dengan yang lainnya."
"Waktu kalian dua puluh empat jam dari sekarang. Happy havoc wrecking!"
Layar monitor kembali dimatikan paksa, dan tepat setelah itu, semua orang panik bukan main. Bahkan Reiko sekalipun - dia pemimpinnya, jika kalian tidak ingat. Hanya aku dan Mas Gun yang tetap berada di tempat kami sementara yang lain berteriak-teriak.
"Semuanya, kita harus tetap tenang!" Mas Gun berseru nyaring, berusaha menertibkan situasi, tapi sia-sia, suaranya tenggelam di antara jeritan para anggota pemberontak.
Aku meremas jemariku. Dari luar aku masih terlihat tenang, tapi sebenarnya aku benar-benar panik. Itu Arif yang mereka culik. Sahabatku sendiri. Orang seperti apa yang tidak akan panik saat melihatnya?
Mas Gun di sebelahku menghela napas. "Siapa yang aku bohongi? Itu anakku juga yang mereka culik. Darah dagingku sendiri."
Aku meletakkan satu tanganku di bahunya, menenangkannya - walau sebenarnya aku masih tidak tenang sendiri. "Sabar, Mas. Sabar."
"Aku tahu kau juga cemas terhadap dua temanmu itu, Ryo. Tidak ada gunanya berpura-pura."
Aku mengangguk takzim. "Di sekolah hukum, kami diajarkan untuk tetap tenang apapun yang terjadi. Mungkin sulit untukku, tapi aku tetap memegang teguh prinsip itu. Jadi, tenanglah."
Mas Gun menepis pelan tanganku. "Sekarang siapa yang kau bohongi?"
Aku menelan ludah.
"Tapi tetap saja, kita harus tenang. Kita harus menyusun rencana." Aku mengepalkan tanganku, berusaha untuk tetap tegar.
"Rencana?!" Suara Mas Gun tiba-tiba naik satu oktaf. "Ryo, ada banyak kamera-kamera pengawas di luar sana dan sensor pendengaran mereka dapat menembus dinding-dinding bangunan ini! Kau sebaiknya bersyukur semua orang ini sedang panik sepanik-paniknya, atau mereka akan mendengarmu."
"Itu bukan halangan, Mas." Aku menggeleng.
"Apa kau tidak mendengar dirimu sendiri berpikir? Karena aku tahu kau khawatir terhadap hal yang sama."
"Tapi-"
"Cukup." Mas Gun menepuk pelan bahuku. "Ryo, terkadang kita harus tahu juga kapan untuk mengalah. Yang ini, aku bahkan tidak tahu lagi harus berbuat apa. Voidwalkers selalu selangkah lebih maju daripada aku dan Para Pemberontak."
KAMU SEDANG MEMBACA
Cybernetica: Embrace The Future [IN REVISION]
Science Fiction"Selamat datang. Yakin kau memiliki keberanian dan keyakinan untuk membaca karya ini? Kalau ya, persiapkan dirimu." 2056, Neo Tokarta. Jakarta semakin canggih saja. Sekarang bahkan berani memadukan canggihnya peradaban Tokyo, melahirkan Neo Tokarta...