[Sudut pandang Guntur, tipe orang pertama.]
Aku bahkan tidak berusaha memberontak saat Abispa dan Hawkwatch dengan kasar menyentak kedua lenganku, mencegahku untuk kabur.
Dibutakan oleh perasaan bersalah, kecewa, dan terkhianati. Menyesakkan sekali. Awan gelap seakan mengitari kepalaku. Dan saat itu aku hanya bisa menatap kosong pemandangan di depanku.
Hiroshi membawaku ke ruangan pribadinya. Setidaknya, aku tahu karena tempat itu terlihat kontras dengan nuansa futuristik keseluruhan bangunan markas Voidwalkers. Barang antik terpajang dimana-mana. Lukisan, gerabah, aku hanya mengenali sedikit dari sekian banyaknya.
Langkahnya terhenti persis di tengah-tengah ruangan.
"Lepaskan dia."
Hawkwatch dan Abispa menuruti perintahnya, dengan kasar melepas kedua lenganku. Hanya setelah itu dia membalikkan badannya, menghadapku.
"Pergilah. Aku ingin pembicaraan ini hanya diisi oleh dua pasang mata."
"Penyerangannya?" Hawkwatch bertanya.
"Tunggu saja perintahku selanjutnya. Sekarang pergi. Kau juga, Abispa."
Mereka berdua mengangguk, perlahan berjalan keluar ruangan.
Aku masih menatap Hiroshi dengan tatapan kosong saat dia mengangkat tangannya dan berseru untuk menonaktifkan neon-armor miliknya. Kini dia mengenakan apa yang biasa dia gunakan - kaos turtleneck berwarna biru tua dengan celana yang sedikit lebih cerah warnanya.
"Kau tahu, Gun-san, aku punya banyak pertanyaan." Hiroshi melangkah mendekat, tangannya terlipat. "Bagaimana bisa kau bekerja sebagai walikota dengan segala tekanan itu selama dua puluh tahun lamanya?"
Aku tidak menjawab.
"Atau bagaimana kau bisa tetap mempertahankan sandiwara ini? Kau berbohong pada masyarakat. Dan tidak, aku tidak membicarakan tentang kebiasaanmu 'tampil beda' setiap ada acara yang diselenggarakan di Elysium. Aku sedang menekankan etika politik Neo Tokarta - jika kau masih memilikinya."
Aku tetap diam.
"Atau kita bisa mempertanyakan totalitas kerjamu. Sebenarnya apa yang kau lakukan untuk Neo Tokarta, aku bertanya? Setidaknya sekali saja, pernahkah kau memedulikan tempat yang kau kuasai?"
Lengang satu menit.
Hiroshi memukul keras meja di belakangnya dengan telapak tangan. "Jangan diam saja! Jawab aku, Gun-san! Aku disini ingin mendengar kesaksianmu. Apa susahnya membuka suara?!"
Aku menghela napas pelan. Dadaku terasa sesak, jantungku berdebar kencang, kepalaku mulai berdenyut sakit, dan lebih parahnya lagi, setitik air mataku jatuh ke lantai - dari tadi aku berusaha untuk menguatkan diri, tapi apa dayaku.
Hiroshi berdecak. "Apa kau menangis?"
Aku menundukkan kepalaku, tetap diam. Kedua mataku hendak memejam, tapi Hiroshi mengangkat wajahku, memaksa untuk melihat.
"Bahkan pria sepertimu bisa menangis juga, hah? Aku benar-benar harus merevisi buku persahabatan kita."
Aku berusaha untuk tetap tenang - sebelum tangisanku tidak bisa ditahan lagi. "Lepaskan. Aku mohon. Aku sangat memohon, Hiroshi-san."
Hiroshi memicingkan matanya, perlahan menarik kembali tangannya.
"Suaramu bergetar." Suaranya melunak.
Aku mengangguk. "Aku benar-benar menyesali keputusanku, Hiroshi-san. Aku seharusnya tidak pernah menjadi walikota jika akhirnya akan seperti ini."
"Semua ini...semua ini salahku, Hiroshi-san. Sepenuhnya salahku. Karenaku, kau merasa terasing, terkhianati. Aku..." Suaraku menghilang sebentar saat aku menangkup wajahku dengan kedua telapak tangan, masih berusaha menahan tangisan. "Aku benar-benar bodoh."
KAMU SEDANG MEMBACA
Cybernetica: Embrace The Future [IN REVISION]
Bilim Kurgu"Selamat datang. Yakin kau memiliki keberanian dan keyakinan untuk membaca karya ini? Kalau ya, persiapkan dirimu." 2056, Neo Tokarta. Jakarta semakin canggih saja. Sekarang bahkan berani memadukan canggihnya peradaban Tokyo, melahirkan Neo Tokarta...