"Dan demikianlah, para masyarakat sekalian yang saya cintai. Semoga insiden yang melanda kota kita sebelumnya dapat dijadikan pelajaran bagi kita semua; bahwa emosi kadang-kadang dapat mempengaruhi apa yang kita kerjakan dan pikirkan."
Gemuruh suara tepuk tangan mengudara di seluruh penjuru kota. Juga di dalam rumah-rumah penduduk. Pidato yang disampaikan oleh Mas Gun benar-benar luar biasa - dan mengena di hati mereka.
Yah, waktu berlalu sejak insiden mengerikan itu. Mati-matian Neo Tokarta berusaha untuk mempertahankan diri mereka dari serangan Voidwalkers yang ternyata hanya tipuan - yang terasa begitu nyata. Dan sekarang semuanya kembali normal. Kantor-kantor kembali dibuka, juga sekolah-sekolah baik swasta maupun negeri. Kondisi kota kembali seperti semula, bahkan lebih baik lagi.
Aku menjalani kesibukanku seperti biasa. Ada banyak kasus yang menunggu untuk didata - hanya itu yang kubenci dari pekerjaanku sebagai detektif siber. Reiko memutuskan untuk kembali menjadi reporter, Arif akhirnya menerima ajakan kami sebelumnya untuk menjadi komedian - dan akhirnya dia mendapatkan penghasilan dari profesinya tersebut - dan Daisuke terbang ke Amerika Serikat satu minggu kemudian untuk mengunjungi temannya. Sementara Rendra, Kazumi, Kohane dan Ayu, mereka kembali bekerja di NexCorp, fokus dengan divisi masing-masing. Martin dan Goro? Mereka kembali ke kota Depok-53, menetap disana.
And it was the best day ever. It's not everyday you could see some politicians being arrested at once. After the incident, I mean.
Pagi itu, sehari setelah insiden penghancuran Neo Tokarta, aku hadir di Kediaman Fujimoto dengan pakaian serba hitam-abu lengkap dengan dasi kupu-kupu yang senada dengan jasku. Bersama dengan Arif, Ayu, Sayuri dan Daisuke. Demi mengantarkan Hiroshi ke tempat peristirahatan terakhirnya.
Aku menunduk, berusaha menahan air mataku agar tidak keluar secara tiba-tiba. Kepergian seseorang seperti Hiroshi, yang sudah bagaikan adik untuk Mas Gun, tentu sangat menyesakkan. Apalagi dia dikenal sebagai pribadi yang baik sekali.
"Ryo?" Arif mengelus punggungku pelan. "Lu nangis?"
Aku mendongak, menyeka air mataku yang menggenang. "Hampir."
Hanya sampai disitu percakapan kami. Seisi ruangan - upacara pemakaman ini diadakan di dalam mansion kepunyaan keluarga Fujimoto - langsung hening setelahnya, tanda sesi doa sudah dimulai.
Setelah sesi doa, ada sesi dimana kerabat atau sahabat terdekat orang yang meninggal mengucapkan sepatah dua kata untuk yang meninggal tersebut.
Mas Gun - yang tentu saja mengenakan setelan khusus untuk menyamarkan wajah aslinya - maju nomor tiga, setelah istri Hiroshi dan istrinya sendiri.
"Hiroshi-san adalah sahabatku. Tak peduli apa yang orang lain katakan kepada kami, kami selalu bersama apapun yang terjadi." Mas Gun mengerutkan hidungnya, mencoba untuk tetap tegar. "Tapi naasnya, apapun yang terjadi, pada akhirnya Tuhan sendiri yang menjemputnya, menyuruhnya pulang. Dan dia tidak bisa menolak."
"Tidak banyak yang ingin kukatakan padanya. Aku hanya ingin berpesan, agar dia tetap aman dan tenang di atas sana. Ditempatkan di tempat dimana dia seharusnya berada - surga. Selamat jalan, sahabatku. Semoga kau tenang dan bahagia, dimanapun kau berada sekarang."
Tepuk tangan menghiasi suasana di dalam ruangan itu.
Mungkin dua hingga tiga orang kemudian, tiba giliranku untuk maju sebagai penutup - ini atas permintaan dari Mas Gun sendiri.
"Aku tidak terlalu mengenal Hiroshi, setidaknya tidak sebaik sahabatnya atau keluarganya sendiri. Tapi dalam lubuk hatiku yang paling dalam, aku menganggapnya seperti seorang mentor. Yang mengajariku banyak hal tentang kehidupan." Aku menyeka ujung mataku yang berair. "Aku masih ingat betul salah satunya. 'Dulu kita bisa mengutarakan kesedihan kita hanya dengan menangis, tapi sekarang kita harus membuang itu jauh-jauh, pendam perasaan itu.'"
"Dimanapun dia sekarang, aku harap dia bahagia. Selamat jalan, Hiroshi, semoga dosa-dosamu selama hidup diampuni oleh Tuhan dan semoga kau tenang di alam sana."
Suara tepuk tangan sekali lagi bergemuruh di udara. Aku langsung pergi dari podium tempat para pengunjung menyampaikan salam perpisahan.
Usai acara selesai dilangsungkan, hampir semua tamu kembali ke rumah masing-masing. Menyisakan aku dan Mas Gun yang masih menatap peti mati yang menyimpan tubuh kaku Hiroshi, hendak dibawa ke tempat pemakaman.
"Hiroshi-san..." Mas Gun menghela napas.
Aku mengusap leherku perlahan, merapatkan bibirku.
"Ini baru satu hari, dan rasanya benar-benar menyesakkan."
"Benar, kan? Tapi untukku, itu tidak mengherankan. Aku sudah menganggapnya seperti adik sendiri, sudah lebih dari empat puluh tahun sejak pertama kalinya bertemu."
Aku mengangguk.
Mas Gun menyeka air matanya, menatap sekitar, memastikan tidak ada yang mendengar kami berbicara - secara tiba-tiba.
"Ryo, ada sesuatu yang harus kubicarakan padamu." Suaranya terdengar serius.
Aku mengedipkan mataku. "I'm all ears."
"Jadi, Hiroshi pernah berkata bahwa aku berencana untuk melakukan proyek ekspansi Elysium. Sepertinya itu saat ada yang menyamar menjadi diriku dan berusaha menjatuhkan kita semua, jadi itu tidak benar. Belum."
Aku memiringkan kepalaku.
"Maka sekarang, aku hendak membuatnya menjadi kenyataan. Dan aku bahkan tidak akan melakukan proyek ini ke Elysium sendiri - melainkan sebagai penghubung antara dunia kita dengan dunia virtual."
Mas Gun menyerahkan sebuah tablet padaku. Tablet berisi cetak biru yang membuat mataku membesar.
"Ini...kota di udara?"
Mas Gun mengangguk. "Dan seperti yang kukatakan, perantara penghubung antara Neo Tokarta dan Elysium."
"Apa nama proyek ini?"
Mas Gun diam sebentar, menatapku sambil tersenyum.
"Skybound. Dan nama kotanya akan menjadi Aurapolis."
"Era baru Neo Tokarta, Ryo. Aurapolis."
Aku hanya menatap Mas Gun termangu.
Lengang.
KAMU SEDANG MEMBACA
Cybernetica: Embrace The Future [IN REVISION]
Ficção Científica"Selamat datang. Yakin kau memiliki keberanian dan keyakinan untuk membaca karya ini? Kalau ya, persiapkan dirimu." 2056, Neo Tokarta. Jakarta semakin canggih saja. Sekarang bahkan berani memadukan canggihnya peradaban Tokyo, melahirkan Neo Tokarta...