Lily tersenyum puas, matanya berbinar-binar.
"Nah, gitu dong. Sekarang dunia tahu kita punya ikatan kuat, dan nggak akan pernah hilang."Razel tersenyum mendengar kata-kata itu, tawa mereka pun menyatu, seolah dunia hanya milik mereka berdua. Senyum ceria Lily mengisi ingatannya dengan hangat, tawa renyahnya terpantul di air danau yang tenang. Saat itu adalah momen yang sempurna, momen yang tidak ingin Razel lupakan. Namun, kenangan itu perlahan memudar, membawa Razel kembali pada kenyataan yang suram di hadapan nisan Lily.
Air mata jatuh perlahan di pipinya, tak bersuara, hanya menyisakan isak tertahan yang ia coba sembunyikan. Matanya memandangi nisan dengan tatapan sedih, bibirnya gemetar saat ia berbisik,
"Janji yang kita buat saat itu... sepertinya kita sudah mengingkarinya, Lana."
Ia menarik napas panjang, menguatkan diri untuk melanjutkan kata-katanya, meski rasa sakit itu terasa begitu menyesakkan.
"Kita berjanji... untuk tidak akan meninggalkan satu sama lain... dan kita akan selalu melindungi satu sama lain. Tapi... sekarang..."
Razel terdiam, suaranya bergetar menahan perih. "Kamu pergi ninggalin aku. Kamu gagal menjaga janji itu... Namun aku juga sama, Lana. Aku gagal melindungimu. Padahal waktu itu aku berkata akan melindungi kamu... tapi kenyataannya, justru kamulah yang melindungiku, seperti yang pernah kamu katakan dulu."
Angin menerpa lembut wajahnya, membawa kenangan yang semakin menyakitkan. Ia menunduk, memejamkan mata sejenak, membiarkan air mata jatuh dengan deras, tak lagi tertahan.
"Ketakutan terbesar ku pada akhirnya terjadi, Lana. Orang yang paling ku sayangi pergi meninggalkanku... sendirian. Tapi itu juga yang membuat ketakutan terbesarmu..."
Razel terdiam, suara seraknya nyaris tak terdengar lagi di antara isak tangisnya. "Ketakutan terbesarmu... kamu nggak perlu memikirkannya lagi, Lana. Dunia sudah damai sekarang. Dan itu semua berkat kamu." Suaranya pecah di akhir kalimat, seolah-olah ada sesuatu di dalam hatinya yang ikut hancur bersama kata-kata itu.
Ia menunduk, air matanya tak terbendung lagi, jatuh deras di atas tanah yang dingin.
"Kamulah pahlawan di sini, Lana... Jadi kamu nggak perlu memikirkan itu lagi. Kamu nggak perlu memikirkan ketakutan terbesarmu lagi. Dan kamu juga nggak perlu memikirkan janji itu lagi... karena kita berdua sama-sama gagal."Razel menghapus air matanya dengan punggung tangan, meski tak ada gunanya karena lebih banyak yang datang menggantikannya.
"Dan aku berterima kasih, Lana... Terima kasih sudah membuat hari-hariku berwarna." Ia mengangkat wajahnya, menatap langit yang tampak sendu, seakan langit pun merasakan apa yang ia rasakan.
"Kuharap kamu tenang di sana..."
Tiba-tiba, sepotong ingatan muncul, seolah membawa Razel kembali ke saat itu. Suara lembut Lily terdengar jelas di benaknya, penuh kehangatan dan harap.
"Razel... sekali saja, aku ingin dengar kamu memanggil namaku dengan benar."
Lily mengatakannya dengan senyum di wajahnya, tepat setelah mereka mengaitkan jari kelingking, sebelum melanjutkan perjalanan kembali ke kastil. Suara Lily bergema, seolah-olah ia masih di sana, bersama Razel, dan permintaan sederhana itu kini menembus hatinya, membuat air matanya mengalir semakin deras.
Razel menunduk lagi, memejamkan matanya dengan perasaan yang begitu berat, dan akhirnya ia berbisik, suaranya pelan namun penuh makna,
"Lily... terima kasih untuk segalanya."
Ia berdiri di sana dalam keheningan, membiarkan dirinya meresapi perasaan kehilangan yang mendalam itu. Tidak ada lagi suara Lily yang menjawab, hanya keheningan yang menemani, namun di hatinya, ia tahu bahwa janji mereka tetap ada, tak pernah benar-benar hilang.
KAMU SEDANG MEMBACA
MAGIC HOUR:The mystery of lost history
FantasyMenceritakan tentang tiga orang sahabat yang menjadi murid di salah satu sekolah sihir bernama akademi farency yang dimana sekolah itu menyimpan penuh misteri serta teka-teki sejak awal berdirinya sekolah tersebut. mampukah ketiga murid tersebut men...