5. Rumah Utama

75 14 0
                                    

Kolam yang cukup dangkal itu memperlihatkan betapa si pemiliknya sangat menyayangi ikan warna-warni penghuni kolam. Desainnya klasik, ada air terjun buatan. Di sampingnya ada tumbuh-tumbuhan hias. Hanya ada satu jenis ikan dan ukurannya besar.

Kolam ini berada di samping rumah. Dekat dengan kolam renang dan gazebo bersantai. Jangan ditanya berapa luas rumah ini. Cukup tercengang jika dijabarkan. Tingginya saja sudah cukup membuat mata silau.

Di sini adalah rumah utama di mana Ginan dibesarkan. Banyak kenangan masa kecil yang tersimpan di setiap bingkai dinding. Teman baiknya adalah ikan koi emas yang ia beri nama Panglima Hartama atau sering dipanggil tama.

Untuk seekor ikan, Tama punya perlakuan khusus. Tak lain dan tak bukan karena Ginan sangat menyayanginya. Dia adalah teman Ginan dari kecil. Bayangkan saja sudah berapa tahun umurnya. Mengingat tahun ini Ginan akan menginjak usia tiga puluh.

"Hei, Tam. Sudah lama tidak bertemu." Disebarnya pakan ikan itu. Masih dengan jasnya, Ginan tak langsung ke kamar. Ia lebih rindu pada Tama.

"Dua tahun ku tinggal. Kau masih sama saja." Sekarang Ginan menurunkan tangannya ke air. Memberi makan langsung dari tangan.

"Maaf ya bukannya aku tidak mau menjenguk mu. Aku disibukan dengan banyak hal. Haaah, kalau tau begini aku tidak akan pergi lama. Perusahaan benar-benar kacau. Internal acak-acakan. Banyak toleransi yang membuat mereka manja dan bertindak sewenang-wenang."

"Kamu tau? Belum cukup di situ. Ada wanita gila yang menjebak ku. Tck! Sialan! Padahal belum genap sebulan pulang, aku sudah bermasalah dengan wanita. Demi Tuhan aku tidak akan menerimanya walau dia mengaku telah mengandung anak ku."

"Tck bajingan kecil itu. Lihat saja nanti!"

"M-maaf mengganggu Tuan." Suara wanita menginterupsi. Ginan menoleh ke belakang dan mendapati Bibi Sari. Salah satu pembantu rumah ini.

"Ada apa?"

"Mulai sekarang, apa Tuan akan menetap di sini?"

Ditatapnya lama wanita paruh baya ini. Dia tampak canggung. Padahal Ginan ingat betul bagaimana dia merawat Ginan dengan tulus. Ya! Dia adalah baby sitter yang mengasuh Ginan sejak kecil. Dan kini, dia mengelola rumah ini dengan baik. Menggantikan pemiliknya yang tak ada di rumah.

Karena suatu kejadian, orangtua Ginan memilih tinggal di Amerika. Mereka tinggal di cluster Atherton California. Berniat menghabiskan masa tua di sana. Yaah, lagian mereka lebih suka di sana ketimbang Indonesia. Ada banyak hal yang membuat mereka memilih menetap di sana dan meninggalkan rumah sejuta kenangan ini.

"Aku akan menetap di Indonesia. Tapi...." Ginan menatap lekat Bi Sari. "Sepertinya aku akan merepotkan Bibi untuk menjaga rumah ini kembali. Semua ini terlalu besar untuk ku seorang diri. Aku akan tinggal di apartemen. Dekat juga dengan kantor."

Binar bahagia di tatapan itu perlahan padam. Bi Sari memang sangat menyayangi Ginan seperti anak sendiri. Mendengar pengakuan barusan pasti membuatnya kecewa.

Ginan maju. Tersenyum cerah. "Bibi tenang saja. Kali ini aku pasti akan sering pulang. Jaraknya tidak sejauh Amerika Indonesia. Jadi jangan lupa siapkan sop ayam buatan Bibi ya? Dari sekian banyak makanan di Amerika. Tidak ada seenak masakan Bibi."

"Iya Tuan. Bibi cuma bisa doakan yang terbaik. Semoga rumah ini bisa ramai kayak dulu lagi."

"Malam ini aku menginap Bi."

"Bibi siapkan kamar dulu."

Wanita baya itu kembali ke dalam rumah. Ginan masih setia di tempat ia berdiri. Berpikir jauh ke depan oleh sebab perkataan si Bibi tadi.

Bisa jadi itu sindiran agar Ginan cepat mempersunting wanita. Ah, Ginan tak tau harus mulai dari mana. Dengan wanita ia tak punya kenangan indah. Satu wanita di masa lalu sudah cukup membuat Ginan trauma.

Entah di mana dan dengan siapa akhirnya Ginan berjodoh. Yang jelas, dalam waktu dekat, ia tak mau menjalin hubungan dengan siapa pun. Menikah sudah pasti. Mungkin lima tahun ke depan. Ginin masih ingin memperbaiki sistem kerja di perusahaannya.

"Mandi dulu," gumamnya seraya menyebar sisa pakan ikan. Kemudian ia beranjak ke dalam.

Di sisi lain, ada seseorang yang tengah bergelut dengan pikiran. Tangannya begitu lihai mengetik laporan. Percayalah, Kisa adalah salah satu orang yang ketika jam pulang sudah dekat. Ia akan bersiap-siap duluan.

Tapi hari ini berbeda. Jam dinding sudah menunjukan angka setengah empat sore. Seperti halnya aturan yang mengatakan bahwa setiap pekerja JH Group harus menepati jam kerja minimal tujuh jam.

Tadi pagi Kisa sudah seperti orang kesetanan supaya bisa absen wajah lebih awal. Karena nanti ia akan pergi kencan dengan Handika ke event taman kota. Di sana tersedia banyak stand jajanan. Surga bagi Kisa yang penyuka kulineran.

Namun, rencana tetaplah rencana. Sudah jamnya pulang, Kisa justru terjebak dengan masalah kerjaan.

Tadi Kisa dipanggil ke ruang kepala bagian. Kisa diberitahu kalau ada kesalahan input data yang mengakibatkan sejumlah pekerja marketplace tidak terbayar. Hal yang paling dihindari seorang admin akhirnya terjadi juga pada Kisa. Resikonya, Kisa harus membayar ganti rugi atau mengurusnya ke atasan.

Percayalah, butuh banyak tanda tangan sehingga kadang lebih baik menggantinya kontan. Namun masalah Kisa justru semakin besar karena yang tak terbayar bukan satu dua orang. Ada tiga puluh dan kini mereka menagih haknya.

"Bagaimana kamu akan mengatasi ini, Kisa? Satu dua orang tidak masalah. Ini tiga puluh. Gaji saya saja tidak cukup mengganti mereka. Apalagi gaji kamu!" cecar kepala bagian administrasi. Pak Rudi.

"Ma-maaf Pak. Saya yakin sudah menginputnya semua."

"Yakin? Lalu bagaimana kamu menjelaskan tiga puluh orang ini? Tidak mungkin kan data yang kamu input tiba-tiba menghilang sendiri."

"S-saya juga tidak tau kenapa jadi begini. Saya sudah--"

"Aaah, sudah! Gantinya, kamu harus menyelesaikan ini sendiri."

"Maksudnya Pak?"

"Ganti kontan atau minta persetujuan  ke Pak Ginan."

DEG!

Tidak! Kisa belum menyiapkan hati untuk bertemu.

"I-iya Pak." Terpaksa Kisa meng-iya-kan. Aslinya ia gemetar hebat sampai kaki ini terasa tak mampu memijak.

Getar handphone terasa. Kisa melihat sebuah notifikasi dari Handika.

"Aku sudah boleh jemput belum?"

Lesu. Binar bahagia yang dipertahankan oleh sebab ajakan kencan, sekarang padam tak bersisa. Pekerjaan benar-benar menghancurkan moodnya.

"Maaf Han. Aku lagi ada problem."

Tak disangka pesan itu langsung dibaca dan Dibalas.

"No problem sayang. Kalau gitu aku mau cuci motor saja."

Kisa merasa tak enak hati. Begitupun Handika yang terus meminta kekasihnya punya sedikit waktu untuk bersama.

Handika mengembalikan kembali handphone-nya ke meja. Ia menatap pantulan dirinya di kaca. Outfit yang ia pilih untuk bertemu Kisa terpaksa dilepas dan digantikan dengan baju biasa.

"Tidak apa-apa Han. Maklumi dia," gumamnya dengan tatapan sayu.




Kadang dunia kerja ada yang sekejam itu. 😥

Sabar ya Kisa.

Vote komen yaak

Hidden Wife Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang