9. Bertahanlah!

111 24 0
                                    

“Kisa! Ikut saya ke ruangan!”

Jantung Kisa berdetak tidak karuan. Pasti ini perihal masalah kemarin. Demi Tuhan itu bukan salah Kisa. Setelah diamati baik-baik, catatan pribadi Kisa tidak salah. Pasti ada seseorang yang mengubah selama prosesnya.

Namun apalah dikata. Semua orang percaya bahwa Kisa lah yang salah! Kisa tidak mau mengakui kesalahan yang bukan miliknya. Setidaknya lakukan mediasi sebelum memutuskan Kisa yang salah.

Sedangkan ini?

Penjelasan Kisa dimentahkan oleh karena Kisa tidak punya power untuk melawan. Katanya perusahaan ini menerapkan kesetaraan bukan? Kalau begitu, Kisa akan memperjuangkan keadilan!

“Ada yang bisa dibantu Pak?” ujar Kisa. Ia berhadapan dengan Pak Rudi. Kepala bagian Administrasi.

“Bagaimana kelanjutan masalah tiga puluh karyawan itu?!”

“Saya akan menanganinya Pak. Sebelum itu, bisakah Bapak berikan izin untuk memanggil Kak Angel kemari? Saya tidak dibolehkan melihat laporan hasil yang saya kerjakan. Bukankah itu mencurigakan? Jika tidak ada yang dirubah, Kak Angel tidak mungkin keberatan menyerahkannya.”

“Jadi kamu curiga Angel merubah laporan mu?”

“Iya Pak!” jawab Kisa yakin.

“Biar ku tanya. Untuk apa Angel merubah laporannya? Coba kamu pikir. Angel juga kerepotan atas kesalahan mu ini! Bagaimana kamu—“ Rudi memegang lehernya seraya mengernyit. “Astaga, kenapa kamu bebal sekali! Sudahlah akui saja itu kesalahan mu! Tidak usah memperpanjang masalah sampai melibatkan bagian accounting juga!” 

“Saya tidak mau dirugikan Pak. Masalah ini terasa janggal. Demi Tuhan saya tidak salah input Pak. Tolong percaya pada saya. Saya tidak pernah melakukan kesalahan sefatal ini. Tolong pang—“

BRAK!

Pundak Kisa terjengit. Gebrakan meja itu sukses membungkam mulutnya.

“Kamu tau? Gara-gara kamu saya dipermalukan di rapat internal tadi. Itu pun saya masih membela mu, mengingat kamu sudah lama bekerja di sini. Tapi kamu malah tidak tau diri. Kamu yang salah, saya yang kena batunya! Lebih baik kamu keluar saja! Saya tidak sudi menerima bawahan tidak becus seperti mu!”

Tuhan, sakit sekali dikatai seperti itu. Dua tahun mengabdi rupanya tak cukup dipercaya oleh atasan. Harus mencari kemana lagi bentuk keadilan itu? Menentang seorang diri tanpa jabatan berarti sama saja bunuh diri. Kisa masih membutuhkan pekerjaan ini untuk mencari rezeki. Pun ia tak bisa meminjam tabungan Handika untuk mengganti rugi.

Air mata itu lolos begitu saja. Ah, dunia kerja memang sekeras ini. Tidak ada yang peduli. Saling menjatuhkan. Selalu dipenuhi tekanan.

Tapi… beginilah dunia bekerja. Kisa belum boleh kehilangan pekerjaan.
Dengan tubuh yang dipaksakan. Kisa membungkuk. Memohon dengan sangat agar ucapan barusan ditarik.

“Sa-saya akan bertanggung jawab. Tolong berikan saya waktu untuk mengurusnya.” Butiran air mata luruh ke lantai. Getar suaranya ketika mengungkapkan.

“Pergilah! Melihat mu bikin saya tambah pusing! Masalah itu harus selesai hari ini juga!”

Suara derak pintu terdengar. Setelah benar-benar keluar dari ruangan yang seakan mencekik jiwa, Kisa luruh ke lantai. Hal itu mengundang tanya dari rekan kerja lainnya. Siska pun mendekat dan bertanya, “Ada apa?”

Namun, Kisa tetaplah Kisa. Ia adalah orang tertutup yang sesumbar bisa menyelesaikan masalahnya sendiri.

“Tidak ada apa-apa. Aku hanya dapat teguran. Emh… Kak, boleh minta lembar cancel pengupahan?”

“Hum. Aku kirim,” jawab Siska. Ia turut prihatin dengan masalah yang menimpa Kisa. Namun, ia pun tak bisa apa-apa jika menyangkut hal seperti ini. Siska membiarkan Kisa memperbaiki kesalahan seorang diri.

***

Sejumlah lembaran berkas dirangkum dalam satu map berwarna merah maroon. Kisa berjalan menuju lift dengan perasaan kacau. Mentalnya benar-benar diuji kala ini. Rembasan air mata tak kunjung reda semenjak Kisa meninggalkan ruang administrasi untuk menuju lantai dua puluh satu. Tempat laki-laki yang darahnya mengalir di janin ini.

“Ugh….” Kisa mendesis. Berhenti sejenak seraya memegangi perut. Kisa tidak pernah lupa dirinya sedang hamil muda. Setiap menitnya, janin ini terus menunjukkan eksistensinya walau tidak secara langsung.

Mual. Ingin makan sesuatu yang segar. Dan mood yang hampir setiap hari anjlok dadakan. Janin ini berusaha hidup di dalam rahimnya.

“Kamu ini! Jangan membuat Mama mual. Yang tenang ya. Mama akan membeli lemon tea setelah ini.”

Entahlah, fase nyidam ini sangat berkebalikan dengan sehari-hari Kisa. Yang tadinya suka makanan manis. Sekarang malah lebih suka buah masam. Yang lebih ekstrim lagi, tiba-tiba Kisa ingin memiliki tas branded yang dipajang di gerai merek terkenal. Padahal seumur-umur, Kisa tidak pernah punya niatan membeli tas mahal harga puluhan bahkan ratusan juta.

“Fix! Kamu memang anak Pak Ginan!” gumam Kisa. Ia menghirup nafas dalam-dalam. Berharap mual hilang, nyatanya perut Kisa semakin tidak karuan. Tak perlu aba-aba. Kisa langsung lari ke kamar mandi. Memuntahkan sarapan yang tadi pagi ia konsumsi.

“Ugh…kamu nakal banget. Memang kamu tau Mama mau ketemu Papa mu sampai kamu exited gini?”

“Hueek.” Kisa muntah lagi. Perutnya benar-benar kosong hingga yang keluar hanya air saja. Ia mengusap bulir keringat di keningnya. Matanya sayu padam. Astaga, Kisa tak pernah begini sebelumnya. Janin ini seolah ingin memberitahu Ayahnya bahwa dirinya ada.

“Kamu tidak boleh diketahui laki-laki itu sekarang. Mama janji akan memberitaunya. Tapi tidak sekarang.”

Tidak boleh begini. Kisa harus menyelesaikan masalah dulu. Walau rasanya tidak karuan. Bertahanlah! Kisa menarik nafas dalam-dalam sebelum melangkah keluar. Ia harus dapat tanda tangan itu sekarang.

Bunyi lift terdengar. Beberapa lantai telah dilalui dan kini Kisa berada di lantai di mana Ginan berada. Ruangannya mentereng apik di sana. Tulisan Chief Executive Officer terpampang nyata. Lalu jantung Kisa mulai berdetak tidak normal.

Di dalam sana mungkin ada Adipati Ginan Hartama. Seseorang yang memecahkan selaput dara berharga milik Kisa. Pria brengsek yang tanpa malu mengambil kesempatan ketika Kisa sedang mabuk.

“Tenangla Kisa. Tenang. Kamu hanya perlu bersikap biasa.”

“Ayo.”

Sebenarnya, jika kondisi Kisa tidak sedang down seperti ini. Ia tidak akan sungkan berhadapan dengan Ginan. Jika saja Kisa diberi waktu sedikit lebih lama oleh Pak Rudi, mungkin tubuhnya tidak akan gemetar dan pandangannya jadi semakin berkunang.

Padahal baru tiga langkah Kisa keluar dari lift. Namun sekitarnya seakan berbayang. Kisa tertatih. Memegangi dinding sebagai pegangan agar tubuhnya tak jatuh. Sudah sampai sini. Pun Kisa sangat terhimpit di mana ia tak punya kesempatan untuk memulihkan diri.

Ah tidak bisa! Tubuh Kisa tak mampu bersandiwara lebih jauh. Membohongi diri bahwa sedang baik-baik saja padahal remuk di dalam.

“To…long.” Suara Kisa mulai sirna. Digantikan dengungan hebat menyita indra pendengaran. Bersamaan dengan itu, koridor ini tampak berputar.

Ya Tuhan! Kisa akan jatuh.

PLUK!

Samar Kisa bisa merasakan pegangan tangan seseorang memapah dirnya. Samar juga Kisa mendengar suaranya yang tampak khawatir. Ah, Kisa juga dapat melihat sosok lelaki. Namun penglihatan Kisa terlalu buruk untuk menangkap siapa orang baik yang menolong Kisa.

Syukurlah. Setidaknya Kisa tidak berakhir menyedihkan di lantai. Kesadaran Kisa pun menghilang.





Sapa tuuh yg nolong Kisa? Tebak yuukk.

A. Ginan
B. NPC
C. Karakter Tambahan
D. Heru

Hidden Wife Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang