Extra Part

3 2 0
                                    


Sudah beberapa bulan sejak Elsa pergi. Devin masih terjebak dalam kenangan masa lalu, tetapi kehidupan terus berjalan. Namun, meski ia mencoba melanjutkan hidup, bayang-bayang Elsa tidak pernah benar-benar hilang dari pikirannya.

Suatu sore, saat Devin sedang berjalan tanpa tujuan di keramaian kota, tiba-tiba seseorang menabraknya. Seorang wanita berambut panjang dan lebat, dengan kulit putih bersih dan tatapan dingin. Ada jepit rambut kecil berwarna perak yang terselip di rambutnya, sesuatu yang sangat akrab di mata Devin. Dia mengenali gaya itu. Elsa selalu memakai jepit yang sama.

Namun, wanita ini berbeda. Wajahnya lebih keras, dan tatapannya penuh ketidakpedulian, seolah dunia di sekitarnya tidak penting.

"Eh, hati-hati," kata Devin, sedikit terkejut.

Wanita itu tidak meminta maaf. Sebaliknya, dia hanya menatap Devin sejenak dengan ekspresi datar. "lo yang ngalangin jalan," katanya dengan suara yang begitu dingin dan tidak peduli, lalu berjalan pergi tanpa menoleh lagi.

Devin mematung sejenak. Ada sesuatu yang sangat aneh dengan wanita itu—tatapan dan sikap dinginnya terasa begitu familier. Itu mengingatkannya pada Elsa pada awal mereka bertemu,. Tapi wanita ini... terasa jauh lebih dingin, lebih tajam.

Beberapa hari kemudian, saat Devin duduk di sebuah kafe kecil, mencoba menenangkan pikirannya, dia melihat sosok yang sangat dikenalnya. Wanita itu—Liora, duduk sendirian di sudut kafe, tenggelam dalam pikirannya.

Devin merasa terdorong untuk mendekati. Ada sesuatu tentang wanita itu yang membuatnya penasaran, meskipun sikap dingin dan cueknya jelas membuat Devin ragu.

"Boleh gue duduk?" tanya Devin saat berdiri di depan mejanya.

Liora hanya meliriknya sekilas, matanya masih datar dan tidak menunjukkan emosi. "Terserah," jawabnya singkat, seolah kehadiran Devin tidak berarti apa-apa.

Devin duduk dan memperkenalkan dirinya. "gue Devin," katanya, mencoba memulai percakapan.

Liora hanya mengangkat bahu. tanpa sedikitpun menunjukkan minat ."Hm."

Devin merasa aneh. Sikap dingin Wanita ini mengingatkannya begitu kuat pada Elsa, meskipun cara bicaranya lebih tajam dan acuh tak acuh. Ada sesuatu yang tidak bisa ia jelaskan—sebuah perasaan bahwa ia pernah bertemu wanita ini sebelumnya, meskipun secara logis itu tidak mungkin.

"lo selalu gini?" tanya Devin akhirnya, sedikit frustrasi dengan sikap dinginnya. "Begitu cuek dan tidak peduli?"

Liora menatapnya dengan tatapan kosong. "Mungkin. Atau mungkin gue memang gak peduli pada hal-hal yang tidak penting," jawabnya dingin.

Devin terdiam. Ada sesuatu yang lebih dalam di balik sikap dingin itu, tapi Liora jelas tidak ingin memperlihatkannya. Dan yang paling aneh, jepit rambut kecil perak yang dipakai Liora semakin mengingatkannya pada Elsa—itu seperti barang yang sama.

Sebelum Devin bisa bertanya lebih jauh, Dinar tiba-tiba muncul di kafe. Matanya langsung tertuju pada Liora, dan kali ini ada kilatan kemarahan di wajahnya. Dia berjalan cepat mendekati Devin dan Liora.

"Devin, lo harus menjauh dari dia," kata Dinar dengan nada tegas. "Liora bukan orang yang kamu pikirkan."

Devin bingung. "Apa maksud lo, Dinar? Dan lo kenal dia?"

Dinar tidak menjawab langsung. Sebaliknya, dia menatap Liora dengan pandangan yang penuh kebencian, dan Liora hanya menatap balik dengan tatapan dingin yang sama, seolah-olah mereka sudah sering melalui situasi ini.

"Kamu selalu berusaha Mengganggu, Dinar.," kata Liora dengan suara rendah dan tajam, senyumnya tipis tapi penuh tantangan. "Kamu pikir aku akan diam seperti dulu? Kamu salah."

Devin menoleh dari satu ke yang lain, kebingungan dengan ketegangan yang jelas di antara mereka.

"Kalian saling kenal?" tanya Devin, suaranya penuh kebingungan.

Dinar akhirnya menjawab dengan suara rendah. "Kami lebih dari sekadar kenal. Kami adalah musuh lama, Devin. Dan gue tahu apa yang dia inginkan."

Liora hanya tertawa kecil, tawa yang dingin dan tanpa emosi. "Kamu terlalu melebih lebihkan, Dinar."

Devin merasa semakin bingung dan terperangkap di antara dua pihak yang jelas-jelas saling membenci. Dia menoleh ke Liora, yang tetap tenang meski Dinar jelas sangat marah padanya.

"Siapa lo sebenarnya?" tanya Devin, mencoba mencari jawaban.

Liora menatapnya, dan untuk pertama kalinya sejak mereka bertemu, ada kilatan perasaan yang samar di balik tatapan dinginnya—sebuah kesedihan yang dalam. "Seseorang yang lo kenal, mungkin," katanya singkat. "Tapi itu bukan sesuatu yang perlu lo ketahui sekarang."

Dinar melangkah maju, mencoba menghentikan Liora, tapi wanita itu bergerak cepat, bangkit dari tempat duduknya dan berjalan keluar dari kafe tanpa memberikan kesempatan lebih lanjut untuk Devin atau Dinar mengejarnya.

"Jangan percaya padanya," kata Dinar dengan nada serius. "Dia berbahaya."

Devin hanya bisa menatap pintu tempat Liora menghilang, sementara hatinya dipenuhi dengan pertanyaan yang tak terjawab. Mengapa sikap dingin dan tatapan misterius Liora terasa begitu akrab? Dan kenapa jepit rambut itu begitu mirip dengan milik Elsa?

Memey, yang baru saja masuk ke kafe, menyaksikan ketegangan itu dari jauh. Dia melangkah mendekat dan menatap Devin dengan khawatir. "Lo baik-baik aja, Dev?"

"Ada yang aneh sama dia," jawab Devin pelan. "Dan gue nggak tahu kenapa, tapi dia... dia ngingetin gie sama Elsa."

Memey terdiam, sementara Dinar hanya menatap tajam ke luar kafe, wajahnya tegang. Mereka semua tahu bahwa pertemuan ini bukanlah akhir dari segalanya, dan rahasia di balik Liora mungkin jauh lebih besar daripada yang mereka kira.

In The Grip Of Darkness ( END )Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang