part 1

78 6 0
                                    

Aiden melangkah ke dalam kelas dengan langkah malas, menyusuri koridor kampus yang ramai. Sejak pagi, langit telah diselimuti awan kelabu, dan hawa dingin merayap masuk ke dalam jaketnya. Ia meraba-raba dalam saku, mencari kunci mobilnya yang selalu ia lupakan di tempat yang sama. Suara gelak tawa dan percakapan teman-temannya menggema di sekelilingnya, tetapi perhatiannya melayang jauh dari kehidupan sosial yang seharusnya dia nikmati.

Sekolah sudah berlangsung setengah semester, tetapi Aiden merasa seolah terjebak dalam rutinitas yang monoton. Setiap hari, ia menghadiri kuliah, mengerjakan tugas, dan hanya sesekali berkumpul dengan teman-temannya. Sejak kematian ayahnya setahun yang lalu, hidupnya terasa hampa. Kesehariannya hanya diisi dengan buku-buku, laptop, dan kopi pahit yang ia buat sendiri. Mengingat perasaan kehilangan yang menyelimutinya, Aiden merasa seolah terkurung dalam dunia yang kelabu, tanpa warna dan tanpa harapan.

Aiden duduk di bangku belakang kelas, membuka buku catatannya, tetapi pikirannya melayang ke tempat lain. Dia memikirkan impiannya untuk menjadi penulis. Ia selalu mengagumi penulis yang mampu menciptakan dunia baru hanya dengan kata-kata. Dia ingin menulis cerita yang bisa mengubah hidup seseorang, tetapi impian itu terasa semakin jauh. Ia merindukan inspirasi yang dulu mengalir deras, tetapi kini seakan terhenti. Setiap kali ia mencoba menulis, kata-kata tak pernah cukup untuk mengungkapkan apa yang ada di dalam hatinya.

Kuliah berakhir, dan Aiden bergegas keluar dari kelas, berusaha menghindari kerumunan. Dia merasa seolah berusaha bersembunyi dari pandangan orang-orang di sekitarnya. Saat berjalan ke mobilnya, dia melirik ke arah buku catatan yang dia pegang. Di halaman terakhir, terdapat coretan yang mulai terlihat pudar: "Di dunia ini, kita adalah penulis cerita hidup kita sendiri." Aiden menghela napas, berusaha meyakinkan dirinya bahwa dia masih bisa mencapai impiannya, meskipun dalam hatinya dia meragukan kemampuannya.

Mobil Aiden meluncur di jalan raya, melawan hujan yang mulai turun. Dia membuka jendela sedikit, merasakan udara segar yang berusaha menembus aroma mesin dan debu. Musik dari radio mengalun lembut, tetapi pikirannya terlalu berat untuk menikmati nada-nada yang indah itu. Ia teringat momen-momen berharga bersama ayahnya, saat mereka berdua duduk di teras rumah, berbagi cerita dan tawa. Ayahnya adalah orang yang selalu mendukung impian Aiden, tetapi kini semuanya terasa sepi tanpa kehadirannya.

Hujan semakin deras saat Aiden melaju di jalanan yang licin. Dia tidak menyadari betapa cepatnya dia melaju, terperangkap dalam pikirannya sendiri. Tiba-tiba, lampu merah menyala di depannya. Aiden menginjak rem, tetapi sudah terlambat. Dalam sekejap, dia merasakan benturan yang mengerikan, tubuhnya terhempas ke depan. Semuanya menjadi gelap.

Ketika Aiden membuka matanya, dia merasakan rasa sakit di seluruh tubuhnya. Namun, yang lebih mengejutkan adalah lingkungan di sekelilingnya. Dia tidak lagi berada di dalam mobilnya, melainkan di sebuah kamar yang luas, dikelilingi oleh dinding batu yang tampak kuno. Lampu-lampu minyak menyala, menciptakan suasana remang-remang yang aneh. Aiden menggosok matanya, berusaha memahami apa yang sedang terjadi.

"Di mana aku?" pikirnya, mencoba mengingat kejadian terakhir. Ketika ia mencoba bangkit, tubuhnya terasa berat dan lemah. Lalu, dia melihat bayangannya di cermin—wajahnya terlihat sama, tetapi pakaian yang ia kenakan sangat berbeda. Dia mengenakan jubah panjang dengan hiasan yang rumit, seolah-olah dia adalah seorang pangeran.

Aiden berusaha berdiri, tetapi rasa sakit membuatnya terjatuh kembali. Dia merasakan ketakutan menyelimuti dirinya. "Ini pasti mimpi," gumamnya, berusaha meyakinkan diri sendiri. Namun, saat ia melirik ke luar jendela, pandangannya disambut oleh pemandangan yang tak pernah ia bayangkan. Sebuah kerajaan megah terbentang di depannya, lengkap dengan menara tinggi, taman indah, dan bendera berkibar di angin.

Suara langkah kaki mendekat, dan pintu kamar terbuka. Seorang pria muda dengan rambut gelap dan mata tajam memasuki ruangan. Ia mengenakan pakaian ksatria, dan tatapannya seolah menilai Aiden dengan saksama. "Pangeran Alaric," ucapnya dengan suara tegas, "Anda sudah bangun."

"Apa... apa maksudmu?" Aiden tergagap, mencoba mencerna situasi yang tidak mungkin ini. "Siapa aku? Di mana aku?"

Pria itu mengerutkan dahi, terlihat bingung dengan pertanyaan Aiden. "Anda adalah Pangeran Alaric, putra Raja Arlen. Kita sedang menghadapi ancaman dari kerajaan sebelah. Kami memerlukan pemimpin yang kuat di saat-saat seperti ini."

Aiden merasakan dunia di sekelilingnya berputar. "Aku bukan pangeran," katanya, suaranya bergetar. "Aku hanya seorang mahasiswa biasa."

Pria itu menatap Aiden dengan intens, seolah mencari jawaban di mata Aiden. "Kamu adalah Alaric. Dan kita tidak punya waktu untuk membahas ini. Kerajaan kita dalam bahaya. Kita harus bersiap untuk perang."

Aiden merasa terjebak dalam labirin yang tidak bisa dia pahami. Dalam sekejap, hidupnya yang monoton berubah menjadi sesuatu yang luar biasa dan berbahaya. Semua yang ia ketahui tentang dirinya seolah lenyap, dan ia kini harus mengambil peran yang tidak diinginkannya.

Ketika pria itu mulai menjelaskan situasi di kerajaan, Aiden merasa hatinya bergetar. Dia mungkin tidak tahu siapa Alaric, tetapi ia merasakan tekanan besar di pundaknya. Dalam sekejap, dia harus belajar menjadi pemimpin, melindungi orang-orang di sekitarnya, dan mencari jalan untuk pulang ke dunia yang pernah ia kenal.

Saat percakapan berlanjut, Aiden merasakan gelombang emosi yang campur aduk. Di satu sisi, dia merindukan hidupnya yang lama, tetapi di sisi lain, ada sesuatu yang menarik tentang dunia baru ini. Sebuah tantangan yang membangkitkan rasa petualang dalam dirinya, meskipun itu menakutkan.

Aiden tahu bahwa dia harus mempersiapkan diri. Dia tidak bisa terus bersembunyi dalam ketidakpastian. Dia harus menemukan cara untuk menjalani hidup baru ini dan mencari tahu siapa dirinya yang sebenarnya—sebagai Alaric, sang pangeran.

Saat malam tiba dan bintang-bintang mulai bersinar di langit, Aiden berdiri di jendela, menatap ke luar dengan penuh harapan dan rasa takut. Dunia ini mungkin berbeda, tetapi di sinilah dia sekarang, dan dia bertekad untuk menjalani petualangan ini dengan sepenuh hati. Dia tidak tahu apa yang menantinya di depan, tetapi satu hal pasti—hidupnya tidak akan pernah sama lagi.


tbc

Mencari Cinta di Dunia Baru [AND]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang