29

3 0 0
                                    

Pagi datang dengan langit yang mendung, seakan menyembunyikan matahari di balik lapisan awan tebal. Aiden dan Kael berkemas dengan cepat, siap melanjutkan perjalanan mereka. Meski lelah, tidak ada waktu untuk beristirahat terlalu lama. Kegelapan yang Aiden rasakan semakin mendekat, seperti ancaman yang tidak bisa dihindari.

"Aiden, kau yakin kita menuju tempat yang tepat?" tanya Kael dengan nada ragu, melihat sekeliling hutan yang mulai terasa mencekam.

Aiden mengangguk perlahan. "Aku tidak bisa menjelaskan kenapa, tapi ada sesuatu di sana yang memanggilku. Aku harus pergi. Kita harus pergi."

Kael memandangnya dengan tajam, seolah mencoba mencari sesuatu di dalam mata Aiden yang bisa memberinya kepastian. Namun, dia tahu bahwa sejak insiden di kota hancur itu, Aiden telah berubah. Ada sesuatu yang berbeda dalam dirinya—lebih berat, lebih misterius, dan lebih sulit dipahami.

"Baiklah," akhirnya Kael menyerah, meskipun ada sedikit kekhawatiran di suaranya. "Tapi apa pun yang terjadi, kita hadapi ini bersama."

Aiden tersenyum tipis mendengar komitmen Kael. "Aku tahu. Kau selalu ada di sisiku. Dan itu membuatku lebih kuat." Kata-kata itu keluar dengan ketulusan yang membuat Kael merasakan detak jantungnya berdegup lebih cepat.

Mereka melanjutkan perjalanan menyusuri hutan, semakin dalam ke arah selatan. Langit semakin gelap seiring waktu berlalu, membuat suasana terasa berat dan penuh ketegangan. Semak belukar dan ranting-ranting liar mulai menutup jalan mereka, namun mereka terus maju dengan tekad kuat.

Namun, tak lama kemudian, sesuatu yang tidak diinginkan terjadi. Tanah di bawah kaki mereka tiba-tiba bergetar, diikuti oleh suara gemuruh dari kejauhan. Aiden merasakan dorongan kuat yang aneh, seperti ada kekuatan tak terlihat yang menariknya ke arah sumber suara itu.

"Aiden, berhenti!" Kael menarik lengan Aiden dengan cemas. "Kau tidak merasa ada yang salah dengan tempat ini?"

Aiden terhenti sejenak, mencoba mendengarkan kata-kata Kael. Tapi dorongan itu begitu kuat. "Aku... aku harus pergi ke sana," jawabnya, suaranya terdengar seperti di luar kendali. "Ada sesuatu di sana, Kael. Sesuatu yang... aku butuhkan."

Kael menggeleng, cemas dan bingung. "Kau butuh? Ini kedengarannya seperti jebakan. Jangan biarkan dirimu dikendalikan oleh kekuatan yang tidak kita pahami."

Aiden meremas tangannya, mencoba melawan dorongan aneh yang menguasai dirinya. Dia tahu Kael benar. Tetapi kegelapan di dalam dirinya semakin kuat, dan suara yang pernah muncul dalam mimpinya kini bergema di pikirannya.

"Datanglah... datanglah kepadaku, Aiden..."

Dengan tarikan napas panjang, Aiden akhirnya menyerah. "Aku harus ke sana, Kael. Jika aku tidak melakukannya, sesuatu yang lebih buruk akan terjadi."

Kael terlihat frustrasi, tapi dia tahu bahwa memaksa Aiden tidak akan menyelesaikan apapun. "Baiklah. Aku akan ikut denganmu, apa pun yang terjadi."

Mereka melanjutkan perjalanan, kali ini lebih cepat, mengikuti getaran dan suara gemuruh yang semakin keras. Setelah beberapa saat, mereka sampai di sebuah lembah yang dalam. Di bawah mereka, terlihat reruntuhan kuno—bangunan besar yang tampak sudah ditelan waktu, dipenuhi oleh simbol-simbol misterius yang terpahat di dinding-dinding batu.

Aiden berhenti, tatapannya terpaku pada reruntuhan itu. "Ini tempatnya," bisiknya. "Ini tempat di mana semuanya akan dimulai."

Kael menatap reruntuhan itu dengan cemas. "Aiden, apa kau yakin? Tempat ini... terasa salah."

Aiden mengangguk, meskipun hatinya penuh keraguan. "Aku tidak tahu kenapa, tapi aku harus melakukannya. Di sana, di bawah reruntuhan itu, ada jawaban."

Mereka turun ke lembah dengan hati-hati, setiap langkah diiringi oleh ketegangan yang semakin kuat. Saat mereka mendekati pintu masuk reruntuhan, Aiden merasakan aura gelap yang begitu kuat menyelimuti tempat itu, seperti racun yang mengendap di udara.

"Berhati-hatilah," Kael memperingatkan, tangannya menggenggam erat senjata yang selalu ia bawa di sisi. "Aku punya firasat buruk tentang ini."

Namun, sebelum mereka bisa bergerak lebih jauh, pintu besar reruntuhan itu tiba-tiba terbuka dengan sendirinya, mengeluarkan suara gemuruh yang membuat mereka terkejut. Angin dingin berhembus keluar dari dalam, seolah mengundang mereka masuk.

Aiden melangkah maju tanpa berpikir dua kali, seolah ditarik oleh kekuatan yang lebih besar. "Aiden!" Kael memanggil, namun Aiden sudah berada di ambang pintu, masuk ke dalam kegelapan.

Ruangan di dalam reruntuhan itu luas dan megah, dengan pilar-pilar besar yang menjulang tinggi, meskipun sebagian besar sudah runtuh. Cahaya redup datang dari obor-obor di dinding, menimbulkan bayangan aneh di lantai batu.

Di tengah ruangan, ada sebuah altar besar. Di atasnya, sebuah cermin hitam yang sama persis dengan yang Aiden lihat dalam mimpinya. Tubuhnya membeku saat melihat cermin itu, napasnya terhenti. Ini adalah momen yang telah ia takutkan—momen di mana mimpi-mimpinya menjadi kenyataan.

"Aiden, apa itu?" Kael bertanya dengan suara rendah, matanya terfokus pada cermin yang berkilauan dalam cahaya redup.

"Aku... aku tidak tahu," jawab Aiden dengan suara yang nyaris tak terdengar. "Tapi ini yang memanggilku."

Kael melangkah mendekat, ragu-ragu. "Jangan sentuh apapun. Ini pasti jebakan. Tempat ini... terasa salah. Sangat salah."

Namun, seolah tidak mendengar peringatan Kael, Aiden perlahan-lahan mendekati altar itu. Tangannya terulur, seolah-olah ada sesuatu yang menariknya untuk menyentuh permukaan cermin hitam tersebut. Kael bergegas maju untuk menghentikannya, tapi semuanya terjadi terlalu cepat.

Saat jari Aiden menyentuh cermin itu, sebuah kekuatan besar meledak dari dalamnya. Angin kencang berhembus, mengguncang seluruh ruangan, sementara cahaya ungu yang menyilaukan memancar dari cermin, menelan tubuh Aiden sepenuhnya.

"Aiden!" Kael berteriak, mencoba mendekat, tapi kekuatan dari cermin itu terlalu kuat. Tubuhnya terhempas ke belakang, jatuh ke lantai dengan keras.

Di dalam cahaya itu, Aiden merasakan tubuhnya ditarik oleh kekuatan yang sangat besar. Dia tidak bisa melihat apapun selain kilatan-kilatan cahaya ungu yang menyilaukan, tapi di tengah-tengah kegelapan itu, dia mendengar suara yang sudah akrab di telinganya.

"Sudah waktunya, Aiden. Terimalah takdirmu."

Aiden mencoba melawan, tapi tubuhnya tidak bisa bergerak. Kegelapan itu semakin mendekat, menyelubunginya sepenuhnya. Rasa takut mulai menguasai dirinya, dan untuk sesaat, dia merasa akan hilang dalam kekosongan itu.

Namun, di saat yang sama, sebuah suara lain muncul. Suara yang lembut, penuh kasih sayang. Suara yang selalu menjadi sumber kekuatan baginya.

"Aiden... aku di sini. Aku selalu di sini."

Itu adalah suara Kael, meskipun samar dan jauh, tapi cukup kuat untuk menembus kegelapan yang menyelimuti dirinya. Mendengar suara itu, Aiden merasakan sesuatu di dalam dirinya bangkit. Sebuah kekuatan yang sudah lama ia lupakan—kekuatan dari cinta dan harapan.

Dengan sekuat tenaga, Aiden melawan kegelapan itu. Dia tahu apa yang harus dia lakukan. Dia tidak bisa membiarkan dirinya tenggelam dalam kegelapan ini, tidak saat ada seseorang yang mencintainya, yang mempercayainya.

"Kael..." bisiknya. "Aku... aku tidak akan menyerah."

Dengan dorongan kuat, Aiden memfokuskan seluruh kekuatannya, mencoba menarik dirinya keluar dari cengkraman kegelapan. Cahaya ungu yang menyilaukan mulai memudar, digantikan oleh cahaya terang yang bersinar dari dalam dirinya. Kegelapan itu mundur, dan seketika, Aiden terlempar keluar dari cermin, jatuh ke lantai dengan napas terengah-engah.

Kael segera berlari mendekat, menarik Aiden ke dalam pelukannya. "Aiden! Apa kau baik-baik saja?"

Aiden mengangguk pelan, meskipun tubuhnya lelah dan pikirannya masih bingung. "Aku... aku berhasil melawannya," katanya, suaranya lemah tapi penuh keyakinan. "Tapi, Kael, ini baru permulaan."

Kael memeluk Aiden lebih erat, seolah ingin memastikan bahwa dia masih ada di sana, masih hidup. "Aku akan selalu ada di sini, Aiden. Kita akan menghadapi ini bersama."

Aiden tersenyum tipis, meskipun ada banyak ketakutan yang masih mengganggu pikirannya. Dia tahu bahwa perjalanan mereka belum berakhir. Tapi sekarang, dengan Kael di sisinya, dia merasa sedikit lebih kuat untuk menghadapi apapun yang akan datang.

tbc

Mencari Cinta di Dunia Baru [AND]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang