Cinta Memang Rumit

9 2 0
                                    

Hani menutup matanya karena kaget dan mengira akan terjatuh. Tapi, tangan kekar Lief melingkar erat di pinggangnya meraih tubuh Hani agar tidak terjatuh ke lantai atau ke meja kaca yang berada dibelakang mereka. Hani yang merasa jatuh ke tempat yang aman membuka matanya perlahan. Sepasang mata hitam kelam menatapnya dengan dalam. Hani melebarkan matanya kaget, Hani tersadar bahwa hal ini tidak boleh terjadi. Keadaan ini benar-benar gawat. Tangan Lief yang melingkar erat di pinggang Hani, rambut Hani yang sedikit tergerai lalu posisi Hani yang merapat ke tubuh Lief. " Maafkan aku. " Hani menjauhkan dirinya dari tubuh Lief cepat tapi tangan Lief yang masih berada di pinggangnya menahan pergerakan Hani.

Hani reflek menjauhkan wajahnya dari Lief lebih tepatnya bibirnya yang hampir bersentuhan dengan bibir Lief. " Kenapa kau menarikku lagi, sih?? " Tanya Hani sok galak yang sebenarnya untuk menutupi kegugupannya. Hani melepaskan paksa tangan Lief dari pinggangnya tapi tangan Lief yang bebas malah beralih menarik tangan Hani cepat dan memutar posisi hingga akhirnya Hani lah yang berada dibawah Lief.

" Heii!! Aku belum memaafkan tindakanmu tadi lalu apalagi ini??!! Cepat menyingkir. " Gertak Hani memukul pelan dada bidang Lief.

" Dari dulu aku selalu bingung, jika dipikirkan kembali rasanya tidak mungkin aku menyukaimu tapi kenapa selama bertahun-tahun aku selalu teringat tentangmu? " Tanya Lief pelan.

Hani menelan ludahnya berat, hembusan nafas Lief di dekat lehernya cuku memberikan reaksi aneh pada dirinya. " Aku tidak mengerti apa maksudmu, tapi sebaiknya hentikan ini semua. Aku tidak ingin mereka yang berada di luar ruanganmu salah paham padaku karena berada diruanganmu cukup lama. "

Lief terkekeh, " Sepertinya kau lupa, hari ini pukul 2 ada pertemuan dengan Pak Rian untuk membicarakan pencapaian penjualan makanan manis. Dan untuk dirimu, aku sudah mengatakan pada Rian bahwa kau akan rapat denganku. "

Hani menatap Lief tidak percaya, " Apa kau mencoba mencoreng nama baikku 8 tahun ini dengan rumor buruk yang akan kau ciptakan. "

Lief menggeleng sambil tersenyum miring, " Tidak juga, jika banyak rumor buruk antara kita akan kuwujudkan semuanya hingga itu semua akan menjadi kenyataan bulan lagi rumor. "

Hani mendengus kesal, " Sepetinya kau mabuk, Lief. Minggir sekarang. " Hani mendorong kuat tubuh Lief namun nihil kedua tangan kekar itu malah semakin mengurungnya. " Lief, ayolah. Jangan begini. Jika kau kesal dengan calon mantan istrimu jangan lampiaskan padaku. "

" Aku sama sekali tidak mabuk, Hani. Tapi perlu kuakui bertemu Margareth tadi membuatku sadar bahwa selama ini ada suatu hal yang selalu menjanggal dalam diriku. Dan akhirnya aku tahu itu. " Kata Lief kembali menatap mata Hani dalam. " Di hari saat kau mabuk, aku ingat kamu menanyakan apa aku pernah menyukaimu? Lalu masalah ciuman yang hampir terjadi saat itu. "

Hani menggigit bibir bawahnya gugup, " Jangan bahas itu lagi. Itu kan kejadian lama. Aku juga tidak butuh jawaban untuk kejadian yang terjadi dalam benak ingatan kita itu. "

" Bagaimana jika kita coba melanjutkan yang waktu itu? " Tanya Lief dengan nada rendah.

" A..app..aapa maksudmu sih, menyingkirlah sekarang dariku. " Hani mendorong kuat dada Lief hingga akhirnya Hani terbebas dari dekapan Lief, " Jangan jadikan aku tempat pelarianmu, Lief. Kita mungkin memang teman, tapi jangan sampai pemikiranku terhadapmu berubah. " Hani bangkit dari duduknya, " Untuk beberapa hari kedepannya jangan ajak aku bicara selain pekerjaan. " Kata Hani datar beranjak keluar dari ruangan Lief.

Sebelum Hani sempat menyentuh kenop pintu, Lief meraihnya terlebih dahulu. " Maafkan aku. Tindakanku berlebihan. "

Hani tidak berani untuk membalikkan badannya ke arah Lief, " Mungkin di pikiranmu aku terlihat mudah karena pernah menyukaimu, bukan? Karena itulah kau berbuat seperti tadi. "

Lief memejamkan matanya sebentar lalu meraih tangan Hani lembut, " Aku minta maaf jika tindakanku membuatmu berpikir seperti itu. Tapi baik dulu maupun sekarang aku tidak pernah memandangmu seperti itu Hani. Yang terjadi barusan, itu terjadi begitu saja. Selama ini aku selalu mengabaikan isi hatiku dan malah menuruti isi otakku yang selalu berasumsi bahwa kau akan tetap menjadi teman sejatiku. Tapi setelah bersama dengan beberapa wanita, aku tidak bisa merasakan perasaan seperti aku bersamamu. "

Hani membalikkan badannya perlahan lalu menatap Lief, " Tapi sayangnya aku sama sekali tidak berpikir hal yang sama padamu. Mungkin kamu salah mengartikan perasaanmu padaku, Lief. Kita sudah lama tidak bertemu lalu saat kita bertemu itu bertepatan ketika hatimu sedang patah dan membutuhkan tempat untuk persinggahan. " Kata Hani menghirup nafas panjang, " Aku akan menganggap ini semua tidak terjadi, jadi mari kita bersikap seperti biasa dan jangan ada pembicaraan tentang ini lagi. " Setelah mengatakan kalimat terakhir itu, Hani mengambil langkah cepat keluar dari ruangan Lief sebelum pria itu menghalanginya. Benar saja, keadaan di ruangan tim kosong karena masih rapat di lantai 7. Hani meraih tas kerja dan mematikan monitor komputernya. Sebaiknya Hani segera pulang hari ini. Lagipula jadwal terakhir Hani hari ini hanya rapat bersama dengan Lief, meskipun itu tidak berjalan lancar. Keadaannya sudah begini, tidak mungkin bagi Hani untuk melanjutkan rapat dengan Lief.

🌿

Hani mengusap kepalanya lembut ketika sudah
berada di dalam lift, " Bagus Hani, untung saja kamu tadi tidak terbawa suasana. "

TINGSebuah pesan masuk di ponsel Hani, seperti biasa pesan dari Rossie. " Lagi-lagi dia tidak pulang, dasar wanita nakal. " Hani menggeleng tidak percaya membaca pesan Rossie yang lagi-lagi akan pergi berkencan. " Kuharap ia akan setia pada satu orang. " Decak Hani memasukkan kembali ponselnya kedalam tas.

Lief menatap Hani yang berjalan pulang dari ruang kerjanya, " Seharusnya aku tidak melakukan itu tadi. Jika begitu aku bisa mengantarnya pulang." Lief mengacak rambutnya frustasi. " Kenapa kau mau dikuasai oleh nafsu, Lief??? Dasar cowok bajingan. " Keluh Lief meninju udara dengan wajah frustasi. " Kenapa!!! Kenapa kulakukan!! Wajar saja ia bingung, aku sendiri yang menolaknya dulu...aaakkhh..  "

Lief duduk di kursinya menatap buku harian usang yang ditemuinya dulu di taman belakang sekolah, buku itu berada didalam tas Hani yang tertinggal karena gadis itu sudah berlari pulang. " Aku yang bodoh, padahal buku ini sudah ditinggalkan untukku dari dulu kenapa baru kubaca seminggu yang lalu. " Sesal Lief.  Buku usang itu adalah buku harian yang berisi perasaan Hani terhadap Lief, buku itu sudah ada di tangan Lief sejak 13 tahun yang lalu. Dulu Lief berpikir mungkin isinya hanya cinta monyet Hani padanya jadi Lief hanya menyimpan buku itu di gudang selama ini. Saat kembali ke sini lagi, barulah Lief membaca isinya dan Lief terharu membaca isi buku itu. Semuanya berisi tentangnya bahkan dirinya yang dewasa tahu itu bukanlah sebatas cinta sesaat atau sekedar cinta monyet. Ketulusan Hani bahkan dapat dirasakan hanya dengan membaca isi buku itu. " Maafkan aku. " Lirih Lief mengusap wajahnya sedih.

Hani menatap langit jingga keemasan dari jendela kereta. " Indah sekali. " Lirih Hani pelan, ia kembali memikirkan kata-kata Lief tadi. Mungkin jika tidak mendengarkan otaknya, Hani sudah memeluk erat Lief yang berada sangat dekat dengannya apalagi pria itu mengatakan mungkin saja selama ini, dia menyukai Hani lebih dari teman. Munafik jika Hani bilang hatinya tidak goyah. Hanya saja, Hani tidak ingin semuanya berjalan secepat kereta cepat ini. Hani tidak ingin sebodoh dulu. Hani tidak ingin menjadi gadis lugu yang malah memejamkan matanya menunggu ciuman karena sang pria saat itu sedang galau. Sesuka dan secinta apapun Hani pada Lief, Hani tidak ingin lagi mengorbankan perasaannya untuk mendapatkan cinta Lief. Jika pria itu memang jodohnya, biarkanlah waktu yang menjawab semua ini. Untuk mencapai itu, Hani berharap Tuhan akan selalu memberikannya ketenangan dan hati yang kuat.  " Perjalanan cintaku terasa amat rumit. " Hani memejamkan matanya sebentar dan membukanya kembali dengan perlahan, " Kumohon jangan sampai goyah, Hani.  " Bathin Hani.

The First and The Last Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang