Slice of life: A Canvas of us

29 7 1
                                    


Pagi itu, alarm berbunyi pada pukul enam. Zoro menarik tangan dari bawah selimut, mematikan alaramnya dengan satu sentuhan malas. Matanya masih berat, tubuhnya terasa enggan bergerak dari tempat tidur yang hangat. Tapi suara gemerisik di dapur—suara yang sudah akrab di telinganya—memaksanya membuka mata.

Di dapur, Nami sudah mulai menyiapkan sarapan. Rambutnya diikat seadanya dengan ikat rambut yang longgar, kaos oblong yang kebesaran menggantung dengan santai. Dia bergerak lincah, seperti sudah hafal setiap sudut dapur kecil mereka. Zoro memandang dari pintu dapur, senyum kecil muncul di wajahnya saat ia mengamati pemandangan yang sangat akrab itu. Baginya, pagi paling sempurna adalah melihat Nami, dengan segala rutinitas kecil yang ia ciptakan.

"Pagi, Sayang," sapa Zoro sambil berjalan mendekat. Ia menempatkan dagunya di pundak Nami, mengintip isi wajan yang sedang menggoreng roti.

"Pagi, Zo," jawab Nami, tersenyum tanpa berbalik. "Mau sarapan apa hari ini? Aku buat roti panggang, bisa tambah telur kalau mau."

Zoro mengangguk dan mencium pipinya singkat. "Roti panggang cukup. Bagaimana tidurmu tadi malam?" Ia melepaskan pelukan dan duduk di kursi dapur, memperhatikan Nami yang sibuk dengan Teflonnya.

"Cukup baik," jawab Nami, melempar pandangan sekilas padanya. "Kecuali pas kamu narik selimut sampai aku kedinginan tadi malam."

Zoro tertawa kecil. "Maaf, aku gak sadar hehehe."

Nami mendengus, tapi tak bisa menahan senyumnya. Beberapa menit kemudian, Nami selesai dengan roti panggangnya, meletakkan sepiring roti di meja, lalu duduk di samping Zoro. Mereka mulai sarapan dalam keheningan yang nyaman—suatu bentuk keheningan yang penuh dengan bahasa mereka sendiri.

Zoro memandang Nami, memperhatikan rambutnya yang sedikit berantakan dan wajahnya yang tanpa riasan. Ia selalu merasa beruntung setiap kali menatapnya. Nami bukan tipe yang menyukai kejutan besar atau hal-hal romantis berlebihan, tapi ada banyak hal kecil dalam dirinya yang selalu membuat Zoro jatuh cinta lagi dan lagi. Cara dia memejamkan mata saat menyeruput kopi, cara dia menggoyangkan kaki saat senang, bahkan cara dia tersenyum ketika membahas hal yang ia sukai—semua hal itu membuat Zoro merasa bahwa Nami adalah satu-satunya orang yang ia butuhkan.

"Kenapa ngeliatin aku gitu?" tanya Nami tiba-tiba, mengangkat alis.

Zoro tersentak dari lamunannya. "Cuma suka ngeliatin aja. Setiap hari selalu ada yang baru buat kusukai."

Nami menatapnya, lalu tertawa kecil. "Jangan sok romantis pagi-pagi begini, Zo," katanya sambil melanjutkan sarapan.

Zoro hanya mengangkat bahu. Ia tahu Nami berusaha menyembunyikan rona merah di pipinya. Mereka melanjutkan sarapan dengan tawa ringan, membicarakan hal-hal kecil seperti cuaca hari itu atau rencana mereka nanti malam.

**

Hari terus berjalan. Zoro bekerja di depan rumah sebuah dojo kecil, merawat pedangnya dan melakukan latihan, sementara Nami pergi ke kota untuk bekerja. Mereka memiliki dunia masing-masing di luar sana, tetapi saat bersama, mereka menjadi dua bagian yang tak terpisahkan. Saat jarum jam menunjuk pukul lima sore, Nami akhirnya pulang.

Pintu depan terbuka perlahan, dan Zoro menoleh dari sofa. "Selamat datang, istriku sayang," katanya dengan senyum di wajah.

Nami tersenyum kecil sambil menutup pintu. "Hari ini capek banget. Kamu ngapain aja seharian?" Dia melepas sepatunya dan berjalan ke arah Zoro, meletakkan tasnya di sofa.

Zoro mengangkat cangkir kopinya yang sudah kosong. "Latihan, tidur siang, mikirin kamu, ulang lagi."

Nami menggelengkan kepala, tertawa kecil. Ia duduk di sebelah Zoro, bersandar dengan punggungnya yang terasa pegal. "Kamu selalu tahu caranya bikin aku tersenyum, ya? Ada makan malam nggak?"

Zoro bangkit dan menarik tangan Nami. "Ayo, aku udah siapkan sesuatu untukmu."

Mereka berjalan menuju dapur, dan Nami melihat meja makan yang sudah tertata rapi. Ada nasi goreng buatan Zoro, ditemani segelas jus jeruk. Menu sederhana, tapi cukup untuk membuat Nami merasa dihargai.

"Kamu masak ini sendiri?" tanya Nami, matanya berbinar.

Zoro mengangguk. "Tentu saja. Spesial untukmu"

Mereka makan malam bersama, bercerita tentang hari mereka masing-masing. Nami bercerita tentang pekerjaannya yang sibuk, masalah yang dihadapi dengan beberapa klien, juga tentang teman-temannya yang menyenangkan. Zoro berbicara tentang latihan yang ia lakukan, disertai lelucon ringan yang selalu berhasil membuat Nami tertawa.

Malam itu, setelah makan malam dan mencuci piring bersama, mereka duduk di sofa. Zoro sedang membersihkan pedangnya, sementara Nami sibuk dengan ponselnya. Suara televisi mengisi kesunyian di antara mereka, namun itu adalah keheningan yang nyaman.

Tiba-tiba, Nami bersandar pada Zoro, meletakkan kepalanya di bahu suaminya. "Zo, apa kamu pernah merasa kalau hidup kita terlalu biasa?" tanyanya pelan, suaranya seperti bisikan di antara keramaian.

Zoro menoleh, menatap Nami. "Biasa? Apa maksudmu?"

Nami menatap lurus ke depan, pandangannya kosong. "Aku kadang berpikir, hidup kita ini mungkin gak seperti yang orang-orang impikan. Gak ada kejutan besar, gak ada hal dramatis. Kadang aku takut kita jadi terlalu nyaman dengan rutinitas ini."

Zoro terdiam sejenak, lalu meraih tangan Nami, menggenggamnya erat. "Nami, aku gak butuh hidup yang penuh kejutan atau hal-hal besar. Buat aku, hidup kita sempurna karena ada kamu. Kita mungkin gak punya petualangan besar setiap hari, tapi tiap hari yang aku habiskan sama kamu itu udah cukup berharga."

Nami menatapnya, senyum kecil muncul di bibirnya. "Kamu selalu tahu apa yang harus dikatakan."

Zoro mengangguk pelan. "Karena aku selalu melihat kebahagiaanku di matamu, Nami. Bahkan dalam hari-hari yang paling biasa."

Nami terdiam, merasakan kehangatan dari kata-kata Zoro. Dia memejamkan mata, merasa tenang dalam pelukan Zoro. Di tengah dunia yang penuh kesibukan dan ketidakpastian, Zoro adalah rumahnya—tempat di mana dia selalu merasa diterima dan dicintai.

"Kamu tahu, Zoro?" kata Nami tiba-tiba. "Mungkin aku gak butuh kejutan besar. Mungkin yang aku butuhkan cuma momen kayak gini—bersama kamu."

Zoro tersenyum, menarik Nami ke dalam pelukannya. "Kamu adalah kejutan terbaik dalam hidupku, Nami. Setiap hari, setiap waktu."
Zoro tahu, di balik setiap rutinitas yang sederhana, ada kebahagiaan kecil yang selalu menunggu untuk ditemukan. Dan bagi mereka berdua, kebahagiaan itu tidak ada di petualangan besar atau kejutan mendebarkan, tetapi dalam momen-momen kecil yang mereka habiskan bersama.

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Oct 10 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

Zoro x Nami Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang